Archive for November 2014

Mini Story: "Kehilangan atau Kematian" (Part 3)


Cornela Rahwana

Rasanya jantungku tak henti-henti waswas untuk mendengarkan alasan dibalik syarat terakhir dari cowok yang baru saja selesai dengan urusan menutup lubang galian—bekas semalam yang katanya lubang tersebut digunakan untuk menguburkan potongan kucing dari loker temannya. Menurutku, bukan hanya syarat ketiga yang aneh, tapi syarat pertama dan syarat kedua juga tak kalah anehnya. Orang ini juga lebih-lebih aneh dibanding ketiga syaratnya itu. Mungkin syarat pertama untuk tak boleh jauh-jauh dari Ren dan syarat kedua yang mengharuskanku menyelidiki kasus setahun lalu masih bisa kuusahakan. Namun, bagiku sulit sekali untuk mengikuti syarat terakhir, berani taruhan aku pasti kesulitan untuk menjauhi kakakku disamping sifatnya yang overprotektif padaku. Bisa-bisa baru mundur beberapa jarak darinya, aku langsung dimarahi abis-abisan atau bahkan sampai dilarang memiliki teman yang serupa dengan Ren—bukan berarti aku menganggap Ren adalah temanku, tapi Kak Davin pasti mengira begitu.

“Karena……”, aku tersadar dari lamunanku. Ren sedang melanjutkan kalimat terputusnya.

“Karena apa?”, tanyaku ragu sambil mengepal tanganku. Hal yang selalu kulakukan tatkala menenangkan diri dari ketegangan serta kegugupan.

“Lo harus menghindari kakak lo karena itu demi keselamatan lo”, apa aku terlihat sangat lemah? Apa cowok pembawa cangkul ini beserta penghuni seluruh dunia tidak tahu walaupun aku anak pendiam dan jauh dari kata ‘sosialisasi’, tapi aku sangat hobi tinju yang menjadi rahasiaku bahkan dari Ibu dan Kakakku? Tambahan lagi aku sangat menyukai rata-rata mainan anak cowok (contohnya mobil tamiya, gasing, kelereng bahkan aku mengidolakan seorang artis dari dunia smack down, siapa lagi kalau bukan John Seena? Nyahahaha dia itu keren keterlaluan, sungguh! Aku jadi ingin membanting lawanku seperti aksinya tapi mustahil), ketimbang mainan masak-masakan  atau boneka barbie ala anak cewek. Tapi faktanya, aku juga masih memiliki sifat cewek. Terbukti dengan hobiku mengoleksi benda-benda imut seperti jam tangan digital, karet rambut yang lucu-lucu, kesukaanku pada kucing (tentu saja aku masih shocked jika mengingat potongan kaki kucing semalam), serta ketertarikanku pada makhluk imut bernama bayi.

“Memangnya keselamatanku terancam banget, ya?”, nada suaraku terdengar setenang mungkin—padahal aku juga takut, apalagi kalau aku akan kehilangan nyawaku? Haduh amit-amit!
“Lo inget surat kaleng di dalam loker kakak lo? Apa isinya?”,

“Oh, isinya nggak terlalu penting. Kakakku mendapat gosip kalo dia adalah tukang adu domba. Padahal, kami tidak memelihara domba di rumah kami, apalagi mengadu domba dengan domba yang lain. Memang masih ada ya kegiatan mengadu domba?”, ini pertama kalinya aku mengatakan pemikiranku semalam pada seseorang mengenai gosip kakakku dan domba-domba yang diadu.

“Bwahahahahaha lo bego’ atau emang nggak tau artinya, Corn?”, aku kaget mendengar tawa cowok ini yang sangat puas. Apa aku sedang mengatakan hal yang lucu? Sempat-sempatnya cowok—yang untuk kesekian kalinya selalu memegang cangkul tapi kali ini dengan seragam yang dibuka dan hanya menampakkan kaos T-shirt berwarna putih—tertawa disaat pembicaraan sedang serius.

“Ada yang lucu, ya?”, tanyaku dengan tampang tak mengerti yang tak dibuat-buat.

“Iya. Lo mengira adu domba itu mengadu domba sama yang lain?”, nada suaranya kembali datar dan lempeng-lempeng lagi.

“Bener kan…. itu artinya?”, tanyaku meragukan diri sendiri.

“Bukan. Lo tuh sekarang hidup di masa yang udah canggih. Tapi otak lo sama aja kayak otak udang! Arti adu domba aja nggak tau! Hmppffhhttt”, dasar mulut kurang ajar. Ia seperti berniat tertawa meledak-ledak lagi! Secara tak langsung aku dibilang bodoh olehnya (harus kuakui dalam pelajaran aku memang masih di urutan lima belas besar, tapi tidak bodoh-bodoh amat kok!).

“Oke terima kasih telah mengingatkan bahwa aku bodoh. Terus apa hubungannya adu domba dengan keselamatanku?”,

“Lo pasti lupa sama kalimat setelah kalimat adu domba di surat kaleng itu. Gue yakin banget isinya sama persis kayak kalimat terakhir di surat ancaman yang diterima Theo, temen gue. Yang sebelum gue buang gue baca dulu suratnya”, katanya dengan nada serius. “intinya, keselamatan orang disekitar penerima surat teror itu akan terancam. Termasuk gue…..”, “….dan elo!”, sambungnya sambil mengacungkan telunjuknya ke depan wajahku setelah mengucapkan kata ‘elo’ padaku. Demi seluruh bayi imut di nusantara! Sungguh orang ini tidak tahu kesopanan! Menunjuk orang lain dengan jari telunjuk pasti dicap tidak sopan! Apa maksud keselamatanku akan terancam? Aku tidak mengerti. Bukankah keselamatan kita sudah diatur oleh Tuhan?

Baiklah, aku akan ikutin semua syarat darimu”, aku menyingkirkan jari telunjuknya dari depan wajahku. “Apa kamu ingin aku mengatakan kalimat itu? Yang bener aja! Aku bahkan belum bisa percaya pada orang yang baru kukenal semalam! Aku tidak percaya semua ucapan anehmu! Dan kamu nggak perlu mengatur keselamatanku! Tuhan lah yang sudah mengaturnya!”, aku mengatakan kalimat itu dengan menggebu-gebu. Baru kali ini aku menunjukkan kemarahanku pada orang lain. Malu sekali rasanya. Gawat, wajahku jadi merah dan tanganku yang sedari tadi kukepal mulai memanas, ingin kutinju orang ini. Berhubung aku malu sekali saat ini, rasanya lebih menguntungkan jika aku bisa melenyapkan diri ke dasar bumi.

Hening yang sangat lama. Baru kusadari Ren berdiri dihadapanku sejak tadi, setelah selesai menutup galian itu. Ren menatap kosong ke arah langit pagi yang mulai terang. Aku mengamatinya diam-diam. Tingginya lebih tinggi—walau hanya sedikit—daripada Kakakku dan wajahnya memang lebih keren dibanding Kak Davin. Sifatnya bahkan lebih overprotektif dari Kak Davin. Tiba-tiba ia berbalik dan mengerahkan jurus tatapan setajam sinar laser padaku.

“Gue………”, dia mengatakan kalimat yang gagap, terdengar getir seraya berpose tubuh yang kaku layaknya patung dihadapanku. “Gue kenal Lo udah sejak lama, Corn”, setelah mendengar ucapannya itu. Aku terkejut dan sangat tidak percaya. Siapa sih dia? Aku mundur perlahan lalu berlari pelan. Dan berniat berlari sejauh mungkin dari sini, namun upayaku gagal. Aku mendengar kalimat lain darinya. Lalu aku malah bersembunyi dibalik dinding di sisi kiri lokasi tadi.

“Terserah lo mau percaya atau nggak. Gue tau lo masih ada dibalik dinding itu! Gue cuma mau bilang…..”, nada suara Ren benar-benar serius dan sangat menikamku perlahan! (mungkin kata menikam agak berlebihan atau istilah barunya lebay, tapi begitulah yang kurasakan), “Davin kayak nyembunyiin sesuatu dari lo, juga dari orang tua kalian. Gue dikasih tau sama ibu lo! Jadi, minimal lo nggak boleh jauh-jauh dari gue!”, ucapannya berakhir tapi aku masih membekap mulutku. Kak Davin tidak mungkin menyembunyikan sesuatu dari Ibu. Kalaupun memang menyembunyikan sesuatu dari ibu, dia pasti memberitahu rahasianya padaku bukannya malah menutup rapat mulutnya yang bawel itu! Aaaaaaaaaaaaa! Kenyataan memang pahit. Tenang, Nela itu baru dugaannya dan ibu saja, kok. Belum ada bukti.
Aku refleks berlari menjauh dari lokasi Ren, aku berlari, berlari dan terus berlari. Jantungku sakit sekali. Bukan hanya karena kaget mendengar ucapannya yang tak terduga itu hingga rasanya jantungku akan melonjak keluar dari rongganya, juga akibat melarikan diri darinya bagaikan tak tahu dimana garis finish yang harus kutuju. Aku meninggalkan cowok itu di halaman belakang sekolah. Aku tidak peduli dengan keselamatanku yang terancam atau omong kosongnya. Aku memutuskan untuk kembali ke kelasku di lantai tiga gedung B.

Jika aku mau, aku bisa mencari tahu sendiri pelaku dibalik surat acaman keji di dalam loker kakakku. Sekaligus aku akan berusaha semampuku juga untuk mencari pelaku yang lebih jahat, yang telah menuliskan ancaman kematian padaku di cermin. Serta aku akan mencari tahu kebenaran bahwa kakakku tidak menyembunyikan apapun! Tentu saja tanpa campur tangan Ren si pembawa cangkul yang sok mengenalku! Dan mengapa ibuku malah berpihak pada Ren? Sudahlah, aku jadi makin pusing memikirkan hal ini terus.

Biar kuberitahu, aku mungkin tidak memiliki kelebihan dalam hal pelajaran teori. Namun, untuk hal olahraga atau khususnya atletik lari, aku sangat handal. Aku bahkan pernah mengikuti lomba olahraga lari marathon dan mendapat juara kedua. Jadi tidak sulit bagiku untuk cepat sampai di kelasku dengan berlari bagai dikejar anjing, berhubung jarak halaman belakang sekolah di dekat parkiran—lokasiku tadi—dengan kelasku yang lumayan jauh.

Setelah sampai di kelasku X-C, aku menjadi pusat perhatian. Aku menuju tempat persinggahanku, bangku paling pojok belakang. Sendirian. Aku merasa mata seluruh siswa di sini mengintimidasi menuju ke arahku. Apa penampilanku—setelah bertengkar dengan Ren—berantakan dan merusak pemandangan? Lalu aku mendengar segelintir orang mengatakan cemooh dan sindiran dari arah barisan paling ujung di seberang sana. Semua kalimat yang dilontarkan mereka itu menyakitkan telinga sekaligus hatiku. Oh Tuhan! Benarkah aku sebegitu menjijikan? Aku tidak berusaha menarik perhatian Kakakku ataupun Ren sama sekali!

“Eh, tadi gue liat Cornela sama Kak Ren di halaman belakang! Hebat ya bisa mendapat dua cowok paling keren di sekolah kita!”

“Halah, paling dia pake pelet atau mungkin menggoda tiap cowok kece. Hahahahaha”

“Cih. Coba lihat deh, tampangnya aja nggak cantik, penyendiri, suram banget deh!”

“Ssstttt…. Nanti orangnya dengar! Kalo ngadu sama ketua osis sang kakak tersayangnya atau Kak Ren sang ketua klub jurnalistik, habislah riwayat kita!”, diam-diam aku menguping sindiran mereka. Oke, aku baru tahu kalau Ren adalah ketua klub jurnalistik.

“Biarin aja! Gue malah mau dia denger! Pffttt tapi mending udahan deh, ntar ada yang nangis di pojok sana! Hahahaha”

Sungguh aku bisa mendengar semua kalimat menyakitkan itu dengan jelas! Salahku apa, sih? Awalnya kukira menjadi penyendiri lebih baik daripada menjadi orang terkenal. Dan sebagai cara terbaik yang bisa kulakukan untuk tidak dibenci atau sekadar menghindari bersosialisasi. Serta melindungi diriku dari orang-orang yang terlihat akan menghancurkan diriku seperti kelima gadis populer tadi. Tapi ternyata aku salah, dalam hidup pasti ada saja yang membenci kita tak peduli kita jelek atau cantik, bodoh atau pintar, penyendiri atau populer.

Aku membenturkan wajahku ke meja. Menundukkan kepala serta meletakkan buku sejarah di pangkuanku. Mataku menatap buku itu. Tanganku kubuat seperti benteng yang menyembunyikan wajahku dari orang di luar sana. Aku lupa kalau hari ini ulangan sejarah di jam pertama! Sedangkan keadaanku sedang tidak mood. Terpaksa aku membaca kalimat-kalimat yang kian lama kian memudar. Semuanya terganti dengan pertanyaan dalam batinku; Sejak kapan Ren mengenalku? Benarkah Kak Davin menyembunyikan sesuatu? Dan apa orang sepertiku juga pantas mendapat orang yang membenciku sedangkan aku tak memiliki teman disisiku?
---000---

Akhirnya jam istirahat tiba! Aku merindukan detik-detik kebebasanku seperti saat ini. Mengingat semua yang terjadi hari ini sangat menjengkelkan, aku berjalan santai menuju kolam ikan di dekat kantin, di lantai satu gedung A. Kolam kecil dengan miniatur bebatuan bagai air terjun. Hanya dengan melihat air mengalir sudah bisa menetralisir kekesalanku. Aku memakan bekal roti bakar berisi selai kacang dan selai coklat yang dibuatkan ibuku pagi tadi—tentu saja sebelum aku bangun tidur ibuku sudah menyiapkannya. Disaat tenang, tentram dan damai begini tiba-tiba ada sebuah tangan yang menceburkanku ke dalam kolam. Aku menoleh ke belakangku. Tangan seorang cewek, ya tangan milik Endah teman sekelasku. Ternyata kelima cewek yang tadi pagi mengejekku. Tere, Lia, Rani, Siska, dan Endah. Berdiri menatapku lekat dan nanar dari pinggir kolam.

“Bawa dia ke tempat tersembunyi!”, perintah Tere si cantik selaku ketua geng mereka yang memang sangat populer.

“Yoii Tere cantik”, kemudian Lia yang paling imut dan polos mengulurkan tangannya padaku sambil tersenyum ceria. Saat aku hampir menerima ulurannya, Endah si cewek tak banyak omong menarik tangan Lia dari jangkauanku.

“Lia! Lo lembek banget sih! Nggak usah pake bantuin dia keluar dari situ! Kotor dan Jijik tau!”, ketus Rani si cewek paling anti kotor.

“Cih. Cepet keluar dari kolam! Dasar cewek suram kurang ajar!”, Siska hampir menendang tanganku yang meraih pinggiran kolam. Cewek ini memiliki mulut kasar yang berlebihan!

Baju seragamku basah kuyup. Tere sang ketua geng, melepaskan lalu melemparkan jaket hitamnya yang ia pakai kepadaku.

“Untuk apa?”, tanyaku sungkan.

“Jelas buat lo pake lah! Emang lo mau seragam lo yang basah itu menjiplak kulit lo terus diliatin orang?”, ups, meskipun nadanya ketus tapi Tere sedikit pengertian sebagai sesama cewek. Aku mengikuti mereka dengan pasrahnya. Tanganku digenggam kencang oleh Siska agar aku tidak melarikan diri. Sampailah kami di toilet cewek di lantai tiga gedung C. Jarang sekali ada yang masuk ke toilet ini. Selain gedung C yang paling jauh dari lobby sekolah, juga memang agak jarang digunakan.

Aku dibawa masuk ke dalam bilik toilet paling ujung. Lalu Siska menghimpitku hingga aku terjebak tak bisa mundur lagi pada pojok dinding.

“Heh cewek suram! Lo  ada hubungan apa sama Kak Ren??”, tanya Siska.

“Lo siapanya Kak Davin??”, tanya Rani.

 “Kita adalah fans fanatiknya siswi yang menjadi korban peristiwa satu tahun yang lalu. Dia adalah idola kami sejak SMP dan kami mengikuti jejaknya untuk bisa bersekolah disini juga. Tapi saat kami berhasil masuk ke sekolah ini, SMA Pusaka, dia malah hilang secara misterius.”, Lia mengatakan itu hingga menangis. Aku jadi tak tega melihat gadis imut sepertinya menangis begitu. Demi semua keindahan tiap tetesan air mata menggemaskan dari para bayi orang barat di luar sana! Aku jadi ingin mencubit pipi Lia! Baiklah, aku memang tidak melihat kondisiku saat ini yang lebih menyedihkan.

“Biar gue yang ngomong deh. Kalian melenceng dari yang seharusnya kita jelasin ke dia. Seperti kata Lia, kami fansnya siswi yang menghilang setahun lalu”, sambung Tere. “Kami terlalu terobsesi pada Kak Jennifer dan segala hal tentangnya. Kami benci pada Kak Davin yang menjadi penghalang persahabatan antara Kak Jennifer dan Kak Risa. Kami juga benci sama cewek yang terlalu dekat dengan Kak Davin. Karena menurut kami, Kak Davin hanya untuk Kak Jennifer. Lo nggak akan ada kesempatan menjadi adek tersayang, atau menjadi orang spesial bagi Kak Davin yang kenyataannya kalian nggak ada hubungan darah sebagai keluarga! Pokoknya lo harus jauhin Kak Davin! Atau lo akan tau akibatnya dari kami! Kami nggak akan segan-segan melakukan hal yang lebih parah dari ini!”, memang sudah rahasia umum kalau aku adalah adik angkat Kak Davin.

Baru-baru aku sudah di serang banyak pertanyaan yang memusingkan. Aku akan menelaah semua informasi ini perlahan. Kakakku menjadi penghalang persahabatan? Apa maksud mereka adalah adu domba seperti yang tertulis di surat ancaman untuk Kakakku? Lagipula siapa Jennifer dan Risa? Apa hubungannya kakakku dengan kedua cewek yang namanya baru ku dengar itu?

“Siapa Jennifer dan Risa?”, setelah mengucapkan pertanyaan itu, aku mendapat tinju dari Siska yang masih saja memojokkan tubuhku pada dinding toilet. Aku tak ingin diam saja, aku balas meninjunya (sudah kubilang kan, aku ingin beraksi seperti petinju atau artis smack down!).

“Jaga sikap Lo, Siska! Kita nggak boleh main tangan!”, celetuk Endah yang sedari tadi diam saja.

“Habisnya dia songong banget manggil Kak Jennifer nggak pake embel-embel ‘kak’!”, Siska menahan emosinya.

“Bukan salah Cornela juga kok. Dia kan emang nggak tau siapa Kak Jennifer dan Kak Risa. Dan apa hubungan kakaknya dengan mereka.”, sela Rani yang berjarak paling jauh dari toilet—mungkin jijik karena takut kotor.

“Iya, gue emang nggak tau. Apa kalian yang mengirim surat ancaman untuk kak Davin…. dan pake motong kaki kucing segala?”, tanyaku dengan mengepal tangan serta-merta wajah yang ragu-ragu, “dan juga surat ancaman untuk Theo, sahabatnya Ren?”, sambungku lagi.

Kali ini Endah mendekatkan wajahnya pada wajahku. Orang yang biasanya diam seperti Endah, jika sedang marah sangat menyeramkan! Oh Tuhan! Oh Ibu! Almarhumah suzana sang ratu film horror yang ibuku idolakan saja kalah dengannya!

“Tolong lebih sopan dan panggil kakak kelas lo pake ‘kak’ ya, cewek penyendiri nan suram!”, gila horror banget kalimatnya yang berbisik di telingaku itu!

“Endah, cukup! Hanya karena lo naksir parah sama Kak Theo, nggak usah bawa perasaan pribadi juga!”, perintah Tere, “Iya memang benar kami yang menulis surat ancaman murahan itu pake pulpen merah untuk Kak Theo dan Kak Davin, tapi sungguh kami nggak pake motong-motong kucing untuk menakuti kalian, Nel. Hampir kami semua alergi dan takut kucing, kecuali Siska yang meski dia cewek kasar tapi suka banget sama kucing. Tapi kami bahkan nggak sudi motong binatang peliharaan macam kucing atau sejenisnya, dan kami baru tau setelah lo bilang tadi, kalo bersamaan dengan surat ancaman dari kami kemaren ada potongan kucing di loker Kak Davin.”, sambung Tere. Aku bisa melihat semua teman-temannya juga memasang tampang kaget dan wajah yang berubah pucat mendengar kata potongan kucing. Sekali lagi aku bertanya pada diriku sendiri, apa aku harus percaya pada ucapan dan ekspresi terkejut mereka?

“Untuk sementara gue berusaha percaya sama kalian. Tapi perkataan kalian nggak ada bukti yang akurat juga, tau? Hmm oke, lalu siapa Kak Jennifer dan Kak Risa? Apa hubungan mereka dengan Kak Davin dan Kak Theo?”, tanyaku menggebu-gebu karena penasaran. Akhirnya aku mendapat banyak informasi secara cuma-cuma tanpa harus mencari susah payah dengan bertanya kesana-kemari pada semua orang. Tapi satu hal yang tidak berani kutanyakan; apakah mereka juga yang menulis surat ancaman di cermin untukku?

“Terserah lo aja deh mau percaya atau nggak, Cornela!”, jawab Siska,

“Kak Jennifer dan Kak Risa adalah siswi yang menghilang secara misterius setahun lalu. Pihak sekolah sih bilangnya mereka pindah sekolah ke Luar Negeri. Mengingat Kak Jennifer memang anak orang kaya, dan mungkin memang pindah ke luar negeri, tapi soal Kak Risa kami nggak tahu latar belakangnya.  Disamping itu Kak Davin emang deket banget sama Kak Jennifer, faktanya mereka saling suka. Dan sedikit rumor mengatakan Kak Risa juga menyukai Kak Davin, tapi nggak tau juga deh bener atau nggak. Tentang Kak Risa ataupun Kak Theo, kami nggak tahu-menahu terlalu banyak.”, jelas Rani.

Oh kini aku mendapat beberapa fakta; Fakta pertama, Jennifer dan Risa adalah siswa X dan siswa Y yang sering dibicarakan orang-orang(tapi bukankah tidak ada yang tahu bahwa jenis kelamin mereka adalah perempuan? Yah, namanya juga kekuatan gosip, pasti menyebar cepat hanya dari beberapa orang saja). Kedua, Kak Davin dan Jennifer pernah dekat atau istilah gaulnya (yang sering kudengar dari anak-anak kelasku yang hobi menggosip) PDKT. Atau KDRT ya? Yah, intinya dekat. Ketiga, mereka adalah fans fanatik Jennifer dan yang mengirimkan surat teror ancaman untuk Kakakku dan Theo. Keempat, kakakku terlibat dengan insiden setahun yang lalu. Atau bisa dibilang kakakku adalah seorang yang begitu dekat dengan kedua siswi yang menjadi korban dalam kasus ini; Jennifer dan Risa—katanya Kak Davin sebagai pengadu domba keduanya. Fakta terakhir yang paling membuatku bertanya-tanya: Yang melakukan hal tidak terpuji, memotong kaki kucing dan meletakkannya ke loker Kak Davin dan Theo bukanlah kelima gadis yang mengelilingiku saat ini. Lalu siapa pelakunya?

Saat aku tengah melamun memikirkan semua fakta itu, tiba tiba saja rambutku yang diikat kuda serta basah-lepek ditarik-tarik oleh Lia. Sungguh aku terkejut! Cewek paling imut dan polos ini sangat ingin membuat kepalaku botak, ya?

“Aaaaaaaaaaaaa!! Sakit!”, teriakku pada Lia.

“Lia! Lo apa-apaan sih? Jangan kayak anak kecil!”, tanya Tere dengan nada ketus sambil mencoba menyingkirkan Lia dariku.

“Plis Tere, biarin gue kayak gini! Gue juga suka sama Kak Ren! Kami tetangga dari kecil! Jadi, Nela, tolong JANGAN REBUT DIA DARI GUE!”, aku mendadak ikut menangis mendengar teriakan suara penuh rasa sakit hati dari Lia. Aku memang mudah tersentuh—tambahan, aku merasa sakit sekali lantaran rambutku seakan bisa terlepas dari kepalaku akibat tarikan dari tangannya yang sangat panas dan seperti penuh dendam. Tapi aku sama sekali tidak ada sedikitpun hasrat untuk mendekati atau merebut Ren si cowok penuh persyaratan gila itu!

Lagipula (ini selalu kusimpan seorang diri), aku sangat menyayangi Kak Davin (bukankah sulit untuk menyukai orang lain disaat kau sudah memiliki orang yang kau sukai?). Bukan sebagai adik dengan kakaknya, melainkan perasaan seorang cewek pada cowok. Aku tulus menyayanginya. Tapi, aku harus tahu diri. Aku hanya akan menjadi adiknya selamanya, meski status adik angkat sangat menyiksaku teramat parah. Aku tak selalu bisa melihatya sebagai seorang kakak, terkadang ada kalanya aku bermimpi bisa menjadi pasangan hidupnya. Dasar tukang mimpi! Aku menghapus air mataku. Tak apalah, selama Kak Davin masih berada disisiku dan aku masih disayangi olehnya walau hanya sebatas adik angkat.

Lalu tanpa ada angin, pintu induk toilet ini dibanting dan terbuka lebar. Dan menampakkan sosok tinggi besar dengan napas yang terengah-engah. Tidak lain dan tidak bukan, adalah Ren. Untuk apa cowok itu kesini? Apa dari sekian banyak toilet di gedung A dan B sudah penuh hingga dia datang ke toilet cewek pula, apalagi di gedung C yang jauh dari peradaban di lantai tiga ini? Baru kusadari tangan kanan cowok itu membawa tempat makanku yang berwarna ungu yang tidak sempat kuselamatkan saat tenggelam di kolam ikan. Dia berjalan perlahan mendekatiku dan Lia yang tinggal kami berdua di dalam bilik toilet.

“Corn, gue cari kemana-mana tapi lo nggak ada. Ternyata lo disini sama temen-temen lo. Lagi pada ngapain?”, Ren menatap satu persatu kelima cewek di sekelilingku. Mendadak mereka langsung menunduk, terkecuali Lia. Dia masih belum melepaskan tangannya dari rambutku—kini tangannya sudah tidak menarik-narik dengan ganas rambutku. Tapi dia masih menangis tersedu. Sedangkan aku hanya ternganga melihat kedatangan Ren dengan baju seragam yang basah sama sepertiku.

“Lia, gue tau kok dari dulu lo naksir banget sama gue. Maaf, sampe sekarangpun gue nggak bisa bales perasaan lo. Dan, gue kurang suka cara lo memperlakukan sesama cewek kayak gini, apalagi dia temen sekelas lo. Emang lo mau di jambak sampe rambut lo botak sama salah seorang temen lo kayak yang lo lakuin pada Corn?”, Ren menarik perlahan tangan Lia dari kepalaku.

“Eng….. Enggak! Aku nggak mau!”, Lia yang malang! Malah diomeli oleh Ren, padahal perasaan Lia sangat tulus. Namun dalam hatiku sungguh berterima kasih pada Ren, telah menyelamatkan rambutku dari ancaman kebotakan!

“Corn, ayo pergi dari sini. Bentar lagi bel masuk”, tanpa memedulikan kelima cewek yang tertegun, Ren menarik tanganku sambil berlari. Bodohnya aku malah menurutinya! Untuk sepersekian detik aku lupa tentang kejadian tadi pagi di halaman sekolah. Tadi pagi aku meninggalkannya dan melarikan diri. Jelas aku marah padanya hingga membentak-bentakinya lumayan kasar! Mengapa dia malah mencariku hingga ke toilet di ujung lantai tiga gedung C dengan baju basah begini? Apa dia basah-basahan demi mengambil kotak makanku?

“Lepasin tanganku! Kamu mau apa sih, Ren? ”, tanyaku sebal. Baru kusadari aku masih memakai jaket milik Tere tepat sebelum aku terkejut melihat kulit tanganku yang berubah menjadi berwarna hitam.

Ren malah memarahiku habis-habisan seperti ibu-ibu yang menghukum anaknya yang nakal, “Dasar bego! Gue nggak mau apa-apa! Nih gue cuma mau ngasih kotak makanan lo… Tapi kan udah  gue bilang jangan jauh-jauh dari gue kalo di sekolah! Lo malah marah sepagian ini. Gue sms ke nomor lo nggak terkirim, gue misscall juga nggak aktif! Lo dibully kan sama mereka?”, rasanya lucu juga kami berlari dari toilet di ujung lantai tiga gedung C hingga ke depan kelasku di lantai tiga gedung B dan kami sama-sama basah seperti orang bodoh dalam sinetron yang tiba-tiba hujan lokal lalu kehujaan! Lagipula, ponselku kuletakkan di dalam tas. Jadi, mana kutahu kalau dia terus menghubungiku, kan?

“Pfffftttt aku mau ketawa. Hahahaha hahahaha lihat tampangmu! Lihat bajuku dan bajumu basah! Lucu banget!”, entah kenapa aku hanya ingin tertawa untuk melupakan semua kejadian yang menimpaku bertubi-tubi ini, beberapa detik kemudian aku menundukkan kepala dan menghempaskan tangannya yang masih saja melingkar di pergelangan tanganku, “iya, aku dibully. Tapi itu bukan urusanmu! Maaf, tolong jangan deket-deket aku lagi! Aku juga bakal jaga jarak dengan kakakku. PUAS? JADI TOLONG JANGAN SOK KENAL LAGI DENGANKU!!”, aku berteriak dan membentaknya, hingga membuat banyak orang menontoni kami. Sekali lagi aku sangat malu—pertama kalinya aku mempermalukan diri di depan umum. Sementara kalimat dari Ren pagi tadi mulai bergema lagi ‘Gue udah kenal lo sejak lama, Corn.’ Dan aku kembali dihantui rasa bersalah jika mengingat nada suaranya yang getir. Aku masuk ke kelasku. Tanpa peduli lagi dengan para penonton tadi. Tanpa peduli bajuku masih basah.

---000---

Jam pulang sekolah. Untung aku membawa baju olahraga, meskipun Pak Yono tidak masuk, tapi baju  itu bisa kujadikan sebagai baju ganti. Karena baju seragam batik dan rok abu-abuku basah semua. Dan kubungkus baju-baju basahku dengan plastik yang kini kubawa di tangan kiriku. Hari ini adalah hari paling menyebalkan selama sejarah hidupku! Mengapa aku merasa seperti pecundang yang tidak mengetahui banyak hal  dan kesepian begini? Oh Tuhan, semoga aku bisa mengatasi masalahku dan mengungkap insiden setahun yang lalu. Aamiin.

Aku berjalan menuruni tangga dari lantai tiga, kelasku. Kini aku sudah berada di pinggir taman yang menjadi penghubung di tengah ketiga gedung di sekolahku. Aku mendadak merasa seperti seorang artis yang baru naik daun. Saat aku lewat di depan orang-orang, mereka berbisik-bisik seolah-olah aku berita terhangat saat ini! Mungkin kejadian di depan kelas antara aku dan Ren sebelum bel masuk setelah istirahat tadi, menarik perhatian besar. Baru kuingat, reputasi Ren sama cemerlangnya dengan Kak Davin. Ketua klub jurnalistik itu memang terkenal. Tapi aku tidak peduli dengannya lagi. Aku sudah menegaskan padanya bahwa aku tidak ingin terlibat dengan ketiga syaratnya yang membingungkan dan tentu saja dengan dirinya yang mengganggu, sok mengaturku sekali!

Dari ekor mataku, aku melihat ada sesosok bayangan memakai pakaian serba hitam. Serta topi pet yang sering kugunakan! Kak Davin? Apa yang dia lakukan dengan mengendap-endap disini? Bukankah dia sedang demam di rumah? Mungkin juga bukan Kakakku, kan?
Rasa penasaranku memuncak, aku harus menyeledikinya sendiri. Kak Davin menuju ke gedung A. Sepertinya aku makin mirip maling, soalnya aku ikut mengendap-endap juga. Dari gelagatnya, aku bisa menilai kalau kakakku mencurigakan! Apa Kak Davin tidak takut reputasinya sebagai ketua OSIS yang super berwibawa dan keren itu akan tercemar bagai terkena virus polusi udara jika kelakuannya seperti ini? Aku bersembunyi di balik tong sampah berukuran jumbo. Ya, dimana lagi kalau bukan di kantin yang memiliki tong sampah sebesar tubuh kecilku? Semua warung jajanan sudah tutup. Para pedagang di kantin sekolah kami memang memiliki kebiasaan menutup warungnya lebih cepat dari hari biasa pada hari Kamis. Entah jalanku yang terlalu lambat atau sosok itu yang kelewat ngibrit. Tapi saat aku mengulurkan leherku seperti kura-kura, aku kehilangan jejak kakakku! Oh Tuhan, Kemana dia melenyapkan diri?


~Bersambung~
--------------------------------------------------------------------------------------------------------  Hai hai hai!! ^o^ Huaawww rasanya bersalah banget nih bikin cerita yang kelewat panjang gini apalagi seharusnya minggu ini udah sampe part 4, maaf banget baru sampe part 3 :| Tapi bagi pembaca yang udah menunggu part 3 ini selama dua minggu, pasti enggak keberatan dong ya bacanya :v

Aku enggak tahu kenapa jadi males dan kekurangan ide banget nulis part ini>_< Yah, apa boleh buat emosi lagi kurang stabil hoho~~~


Selamat membaca!

Dan seperti biasa jangan kepo banget yaww, selamat menunggu lanjutannya!

See you next time!

Sincerely,

Airayase Shiina ^^

Mini Story: "Kehilangan atau Kematian" (Part 2)



Cornela Rahwana

       Jarakku dengan sosok ini hanya satu meter. Kini badanku kembali gemetar. Aku menahan napas akibat ketakutanku yang menjadi-jadi. Siapa sosok ini? Tukang kebun, kah? Atau mungkin hantu penunggu sekolah ini? Postur tubuhnya memang sangat mirip setan yang sangat populer; gondoruwo. Bisa saja kemungkinan lainnya. Oh! Mungkinkah sosok hantu penasaran siswa X yang meminta pertolongan padaku agar insiden setahun lalu yang melibatkannya segera ditelusuri? Kalau bukan siswa X, pasti siswa Y. Saat ini si gondoruwo tidak bergerak sedikitpun. Apa yang ia inginkan dariku? Aku bahkan tidak tahu soal riwayat hidupnya sebagai siswa X atau siswa Y. Oke, singkirkan semua dugaan konyol itu.
Cangkul di tangannya menempel serpihan-serpihan tanah yang masih basah lalu tanah-tanah itu berjatuhan ke lantai. Memangnya dia habis melakukan apa? Hingga cangkulnya dipenuhi tanah begitu? Gawat, suasana jadi semakin mencekam. Aku yakin, wajahku tidak imut lagi dalam situasi-aku-sedang-berada-seperti-di tengah-film-horor- ini.
Oh tidak. Semoga saja dugaanku yang ini salah. Sosok ini bukan makhluk astral atau sejenis keluarga gondoruwo, melainkan adalah pembunuh bayaran! Aaaaaaaaa rasanya aku ingin berteriak sekeras mungkin jika dugaanku ini benar seratus persen. Tapi sebaiknya aku diam, tenang dan melihat sekelilingku. Lantai ruangan ini jadi kotor karena tanah yang dibawa oleh sosok ini, juga darah kucing yang sempat menempel di sepatuku. Ruangan kelas XI-A (nama lain dari kelas XI-IPA 1, di sekolahku memang memakai nama lain untuk tiap kelas, biar lebih mudah diucapkan.) lumayan luas dengan pajangan slogan-slogan penyemangat belajar, patung alat pencernaan manusia, serta jendela di sisi kanan dan kiri ruangan ini. Aha! Bisa saja aku melarikan diri melalui jendela itu—jendela yang berada tepat di atas kepala kakakku yang belum juga sadar. Tapi aku tidak akan kuat menggendong kakakku meloncati jendela. Apalagi kalau sampai sosok aneh di depanku ini bisa menangkapku bisa gawat. Bagaimana ini?
Gondoruwo di depanku masih saja tidak bergerak. Apa sosok ini menungguku sedikit lengah, lalu aku akan Blassss! Dihantam, dibunuh lalu dimutilasi hingga menjadi potongan kecil-kecil seperti kaki kucing tadi dengan cangkulnya? Kemudian potongan tubuhku akan ada di supermarket dan dijual dengan harga yang sama dengan daging ikan salmon? Tidak mungkin. Aku tidak akan membiarkan semua khayalan mengerikan itu terwujud. Potongan tubuhku akan mirip seperti apa ya? Daging ayam atau daging sapi? Oh tidak pasti mengerikan. Mengapa aku sudah berpikir seperti apa dagingku nantinya? Aku sangat frustasi. Masalahnya adalah saat ini aku tidak tahu cara untuk melarikan diri selain melalui jendela. Aku melihat jam digitalku; 18:30. Oh ibu, maafkan aku pulang telat. Saat ini aku sedang dalam situasi mengerikan, Bu. Tolong jemput kami di sekolah sekarang, kakak pingsan. Andai aku bisa menulis sms agar bisa keluar dari jebakan sang pembunuh ini, hanya saja aku memang pelupa. Aku tidak membawa handphoneku. Musnah sudah harapanku untuk terbebas dari kondisi sangat menyeramkan ini.
Demi semua potongan daging ikan salmon! Aku jadi sangat kepingin buang air kecil (Rupanya sejak menunggu kakakku di taman tadi, aku memang menahan hasrat membuang air kecil). Sungguh memalukan jika aku meminta sosok ini menemaniku ke toilet, kan? Baiklah akan kutahan saja hingga sampai di rumah. Meski aku sendiripun tidak tahu sampai kapan aku akan berada disini.
Hening. Dalam kegelapan akibat mati lampu, kami bertiga yang berada di dalam ruangan ini hanya saling diam. Aku mengamati sosok di hadapanku dengan mataku yang melotot. Aku hendak membuka mulutku—setidaknya untuk berteriak meminta tolong kepada siapapun yang masih ada di area sekolah atau meminta agar sosok ini tidak membunuhku.
“To-to-tolong ja-ja-ja-jangan bunuh saya pak gondoruwo!”, aku bukannya berteriak meminta tolong malah mengucapkan kalimat pertamaku padanya! Ternyata aku bisa seberani ini.
“Untuk apa gue ngebunuh lo? Kurang kerjaan. Lo lagi ngapain disini?”, mengejutkan, tiba-tiba sosok itu mengeluarkan suaranya yang terdengar seperti cowok normal—agak berat dan bass. Bagaimana aku menjawabnya? Aku kan tidak tahu cara mengobrol dengan orang lain selain keluargaku dan guru di kelas tentu saja. Kalau yang tadi hanya kenekatanku saja untuk memulai percakapan. Habis, hening sekali suasananya. Asal tahu saja, tidak enak ber-hening-hening-ria seperti tadi. Hawa disini juga semakin dingin saja.
“Emmm…. Sem-sem-bu….nyi”, jawabku terbata-bata. Sosok ini meletakkan cangkulnya di dinding belakangku. Aku bisa mencium bau sosok ini. Benar-benar bau tanah.
“Sembunyi dari apa? Tolong jawab sedetail mungkin.”, apa dia tidak sadar aku bersembunyi karena dia datang dari lantai dua dengan cara mistis dan cukup ajaib? Dia juga seenaknya saja menyuruhku bercerita panjang lebar! Tambahan, nada suaranya itu benar-benar datar. Dia menyuruhku menjelaskan secara detail, tapi dia terlihat tenang seperti sudah mengetahui apa yang terjadi padaku dan kakakku. Siapa dia? Untuk apa dia menginterogasiku? Mencurigakan. Aku ingat nasihat orang bijak: Jangan mudah percaya pada orang yang baru kau temui, penampilan bisa saja menipu. Yang terlihat baik, mungkin saja jahat. Begitupun sebaliknya. Tapi aku hanya seorang Cornela Rahwana. Aku tidak bisa menilai seseorang dari luarnya—apalagi mengenalnya lebih jauh untuk tahu sifat aslinya karena aku belum pernah berteman sebelumnya.
Singkatnya, aku tidak bisa menyimpulkan orang ini dalam kategori penampilan baik atau penampilan buruk, kepribadian baik atau buruk. Apalagi dia sangat misterius. Baiklah akan aku jelaskan padanya. Semuanya. Ini akan menjadi langkah awalku untuk berkomunikasi dengan orang lain. Saat aku akan mulai bercerita, orang ini menyela terlebih dulu.
“Sorry, gue perkenalin diri dulu biar lo percaya. Nama gue Ren. Gausah takut lagi ya adek kecil, gue bukan ‘pak gondoruwo’. Gue manusia normal sama kayak lo.”,  kata ‘pak gondoruwo’ ditekankan olehnya dengan nada mengejekku. Oh Tuhan, aku merasa bersalah telah mengira sosok ini gondoruwo ataupun pembunuh. Namun, aku tidak terima dipanggil adik kecil olehnya! Memangnya sejak kapan aku menjabat sebagai adiknya?
“Aku bukan adek kecilmu! Aku punya nama juga! Namaku Corne--”, tiba-tiba saja dia memotong ucapanku lagi. Menjengkelkan!
“Tidak penting siapa namamu. Cepat ceritakan detailnya.”, baiklah aku memang manusia yang tidak penting, bahkan orang yang baru saja mendapat gelar ‘orang asing pertama yang aku ajak berkomunikasi’ ini tidak sudi mendengarku mengucapkan namaku. Darimana aku harus bercerita? Aku tidak perlu menceritakan sejak menunggu kakakku kan? Ya, tentu saja tidak perlu.
“Di loker kakakku terdapat dua potong kaki kucing yang masih mengalirkan darah segar, lalu kakakku pingsan setelah melihatnya. Dia seorang hematophobia”, apa ini terlalu singkat, ya? Aku ingin melihat reaksi orang ini terlebih dulu. Ren duduk di depanku, lalu hanya mengangguk-anggukan kepalanya sambil mengamati dan memeriksa keadaan tubuh kakakku yang terbaring.
“Hanya segitu kemampuanmu dalam bercerita? Tolong lebih lengkap, Corn.”, Ada apa dengan namaku? Jadi terdengar sangat lucu dipanggil begitu. Corn dalam bahasa Inggris kan artinya jagung. Aku seperti jagung? Dasar cowok tukang kebun, hanya tahu tentang jagung dan teman-teman si jagung! Hahahaha aku jadi ingin tertawa!
“Tadi saat aku menunggu kakakku setelah rapat osis, tiba-tiba mati lampu dan aku sangat ketakutan. Ketika kakakku datang, ia terlihat sangat pucat dan ia bilang di lokernya terdapat tumpukan surat ancaman yang ditulis dengan tinta merah. Saat kami periksa, ada dua kaki kucing yang terpotong dan darahnya mengalir dari lokernya.”,  akhirnya aku menceritakan padanya sejak menunggu kakakku. Aku menyelesaikan ceritaku seperti dikejar-kejar kereta. Mau bagaimana lagi? Ini tidak bisa ditahan lagi. Aku kepingin buang air kecil. Sudah di ujung tanduk! Sudah kebelet kalau kata adikku.
“Gausah ngebut ceritanya, bisa ga sih?”, cowok ini sangat sok memerintah! Ia tidak paham kondisiku.
“Ma-maap deh kalo kecepetan, bisa minta tolong?”, Ibu maafkan aku, aku tidak bisa menikah lagi kalau meminta ditemani cowok asing ke toilet. Tapi aku sudah tak kuat menahannya. Aku pasti ketakutan jika harus ke toilet sendirian saat gelap begini. Haduuuhh memalukan sekali kamu, Nela!
“Apa? Jangan merepotkan gue!”, jawabnya sadis.
“Yaudah aku sendiri aja. Tolong jaga kakakku!”, aku segera berlari menuju toilet di dekat tangga. Bagaimana kalau ada hantu yang sesungguhnya? Kalaupun terjadi, aku akan melempar hantu itu dengan gayung! Aku sudah tiba di depan toilet perempuan. Gelap. Aku harus berani.
“Corn, lo berani ngga?”, tiba-tiba saja suara Ren mengagetkanku. Bagiku, kejujuran adalah hal yang paling utama. Aku sangat takut masuk ke toilet yang hitam tak bercahaya di dalam sana.
“Engga.”, jawabku malu-malu.
“Nih, gue bawa senter. Ambil, buat pencahayaan di dalem toilet…”, apa orang ini selalu siap sedia? Sampai-sampai membawa senter tepat di saat mati lampu begini.
“Makasih. Kamu bisa kembali ke ruang XI-A dan menjaga Kak Davin”,
“Oke.”, kemudian aku langsung masuk ke dalam toilet. Aku menyalakan senter. Disini, toilet perempuan (mungkin) lebih bersih daripada toilet laki-laki—aku pernah mendengar dari Kak Davin kalau toilet laki-laki sangat kotor dan bau—atau memang dimanapun seperti itu, ya? Ada empat bilik toilet. Aku masuk ke dalam bilik toilet paling dekat dengan pintu masuk (Aku kan takut kalau memilih bilik toilet paling ujung, katanya di bilik itu sering menjadi lokasi bullying dan cukup angker). Aku buang air kecil. Lalu aku keluar dari bilik toilet. Aku mengarahkan senter untuk penerangan jalanku. Dan tanpa sengaja, aku melihat cermin besar yang ada di ruangan ini; ada sebuah tulisan! Berwarna merah dan berbau anyir seperti…… Darah? Sungguh kakiku lemas setelah membaca ini. Aku hanya bisa menahan ketakutanku.
Hai korbanku yang tercinta! Kau akan mati. Pilih: jadi korban pertama atau terakhir? Jangan beritahu tulisan ini pada siapapun.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”, aku berteriak. Siapa yang menuliskan kalimat mengerikan itu? Apa salahku? Aku menutup mataku, lalu menangis perlahan.
“Lo kenapa di dalem, Corn? Ada kecoa?”, suara Ren menyadarkanku dari luar toilet perempuan. Aku tidak ingin menjawab pertanyaannya. Tunggu, apa sedari tadi orang itu menungguku di depan toilet? Kalau tidak, bagaimana ia bisa mendengar teriakanku yang tidak terlalu kencang?
“Gue masuk kesana boleh ngga? Gue cuma mau meriksa keadaan lo aja”, sepertinya orang ini benar-benar tidak tahu area khusus perempuan, ya? Ini kan toilet perempuan! Aku semakin malas menanggapi omongannya. Kemudian dia langsung berada di dalam toilet! Masa bodolah. Dia langsung melihatku yang sedang berdiri kaku. Ups. Tulisannya belum kuhapus. Dia mungkin melihat tulisannya. Karena aku masih mengarahkan senter ke tembok di belakang cermin—kalau aku mengarahkan langsung ke cermin akan memantul dan membuat silau mata, kan?
“Ngapain pake acara takut sama kecoa? Corn, lo kok diem aja?”, dia seperti orang gila yang melakukan pembicaraan sendirian sambil marah-marah. Ia membaca tulisan itu.
“Hai korbanku yang tercinta! Kau akan mati. Pilih: jadi korban pertama atau terakhir? Jangan beritahu tulisan ini pada siapapun. Tulisan apa ini?? Lo pasti shocked abis baca tulisan ini. Gue mau bersihin tulisan ini terus bersihin bercak darah di kelas kakak lo.”, katanya sambil membawa gayung berisi air. Ia menyiram cermin itu. Tulisan disana langsung lenyap. Aku takut ancaman dalam tulisan itu benar-benar terjadi. Kalau dipikir-pikir lagi, aku mendapat teror ancaman sama seperti kakakku. Hanya saja bagiku, ancaman untukku lebih mengerikan. Di dalam toilet perempuan dan ditulis di cermin dengan kata-kata yang lebih kasar! Aku menghadapinya seorang diri tadi. Tentu saja aku kaget dan tidak menyangka. Sedangkan kakakku menghadapinya bersamaku. Tapi kakakku juga tak kalah terkejut daripada aku, hingga pingsan.
“Pu-pulang. Tolong antarkan aku dan kakakku pulang. Kumohon…..”, aku memohon pada orang ini demi keselamatanku dan kakakku. Ibu dan ayah kami pasti khawatir jika kami pulang lebih malam lagi.
“Oke. Dengan satu syarat.”,
“Apa?”, aku seperti masuk ke dalam misteri yang terpancar dari orang yang baru kukenal ini.
“Besok datang ke sekolah lebih awal, sebelum jam setengah enam.”,
“Hah? Memangnya aku tukang sapu sekolah?”,
“Pffffttttt huahahahahaha huahahaha. Bukan lah. Kalo lo emang mau nyapu ya silakan aja. Tapi ini beneran penting.”, nada suaranya jadi serius setelah tertawa terbahak-bahak.
“Oke. Sebaiknya kita keluar dari toilet ini.”, kataku dengan suara hampir habis. Mungkin aku lelah, letih, lesu, lunglai—apa lagi ya L yang terakhir?. Intinya lima L itu membuat suaraku sampai serak begini.
Akhirnya kami keluar dari toilet. Dan berjalan bersebelahan menuju depan kelas kakakku. Ren membawa ember hitam beserta dengan gayung biru. Orang ini membuka loker kakakku. Lalu tanpa izin ia langsung membuang surat ancaman ke dalam tong sampah. Aku bahkan belum membaca semuanya! Jangan salah paham, aku bukannya menyukai semua teror surat-surat ancaman tak jelas itu, aku hanya sangat menyukai membaca surat. Oh iya, aku belum tahu cowok ini siswa kelas berapa.
“Kak, kamu kelas berapa?”,
“Gue kelas XII-B. Jangan nanya dulu, gue lagi repot”, oh ternyata dia anak kelas XII-IPA 2.
“Ups, maap”, jawabku bersalah.
Lalu kami masuk ke dalam ruangan kelas kakakku. Kak Davin masih pingsan. Lama sekali sih pingsannya? Aku duduk di lantai disamping kakakku. Sedangkan Ren mulai menyapu bekas tanah dari cangkulnya tadi, juga jejak sepatuku yang menginjak darah kaki kucing. Ia menyiramnya dengan air yang tadi dibawa dari toilet. Bersih. Hanya dalam waktu sepuluh menit sudah bersih. Ren membawa semua peralatan kebersihannya ke tempat semula. Kini ia sudah kembali ke ruangan ini. Oh Tuhan, akhirnya aku bisa pulang.
“Mana handphone lo?”, dia menyodorkan tangannya padaku. Apa aku sedang ditodong?
“Gue mau masukin nomor gue. Bukan yang lain!”, dia tahu saja pikiranku tadi.
“Aku lupa membawa hapeku”, lalu dia mengeluarkan ponselnya dari saku seragamnya.
“Nih. Masukin nomor hape lo.”, Ia menyodorkan ponselnya kepadaku. Untuk apa dia meminta nomor ponselku? Nanti aku juga akan tahu untuk apa. Aku langsung saja mengetik nomor ponselku.
“Arigatou”, dia berbicara apa? Kemudian ia langsung mengangkat ponselnya. Menelpon ke nomorku? Bagaimana kalau ayah yang mengangkat dan langsung memarahinya karena berpikir Ren menculikku, mungkin?
“Halo. Selamat malam. Maaf mengganggu tante. Saya Ren temannya Corn. Davin pingsan. Banyak hal yang terjadi. Mereka akan saya antar pulang. Hmm, iya. Baiklah. Saya akan mengantarkan dengan selamat.”, dia menyebutku Corn pada ibu? Omagaatt. Apa ibu langsung mengerti kalau Corn adalah aku? Nada bicara Ren sangat kaku dan banyak jeda. Telepon sudah ditutup. Padahal aku ingin menyapa ibuku.
“Ibu lo bilang, gue harus cepetan nganterin kalian berdua pulang.”
“Berangkat sekarang?”
“Ya.”
“Bagaimana dengan kakakku yang pingsan?”, tanyaku ingin tahu kami pulang dengan motor atau yang lain. Tidak muat kan bonceng tiga di motor?
“Gue bawa motor. Tapi tenang, temen gue bawa mobil. Biar gue yang jadi supir mobil, dan temen gue bawa motor gue pulang.”, teman? Sedari tadi ia tidak memberitahuku kalau ia sedang bersama temannya. Lagipula, dimana temannya sejak tadi?
“Temen? Apa temenmu juga orang baik?”, sungguh pertanyaan yang polos sekali! Kami membopong kakakku keluar dari ruang kelas XI-A. Lalu melewati taman dan keluar melewati lobby. Akhirnya kami sampai di latar parkir.
“Orang yang baik tidak akan menyebut dirinya baik, kan? Lo harus percaya kita engga punya niat jahat sedikitpun.”, Ren dan aku masih membopong kakakku menuju mobil sedan dengan merk Corolla. Temannya sudah duduk menunggu di atas bagasi mobilnya.
“Bro, bawa motor gue pulang! Gue nganterin mereka pulang dulu.”, kemudian temannya berbisik pada Ren. Aku tidak bisa mendengarnya.
“Oke Ren. Cewek lo ini mirip sama masa lalu gue, ya?”, temannya mengarahkan matanya padaku. Hah? Aku tidak mengerti. Tanpa menjawab ocehan temannya, Ren langsung mengangkat Kak Davin ke jok belakang mobil. Aku masuk ke dalam jok di samping supir. Sepanjang jalan kami hanya diam. Aku mengantuk sekali.
—000—
Tiba-tiba saja aku sudah berada di kamarku. Apa aku ketiduran? Apa Ren sudah pulang?
“Kata Ren semalam, kamu harus bangun pagi kan Nel?”, ibuku menepuk-nepuk kakiku. Aku dibangunkan oleh ibu. Semalam? Apa sekarang sudah pagi? Aku melihat ke jam bekerku. 05:10. Gawat gawat gawat. Aku hanya punya waktu dua puluh menit untuk bersiap-siap. Aku sudah janji pada Ren untuk datang ke sekolah sebelum jam setengah enam. Aku langsung berlari ke kamar mandi hanya mandi bebek. Setelah sepuluh menit mandi, aku berpakaian. Aku langsung bergegas menuju halte bis. Menunggu bis sekolah. Sayang sekali, bis sekolah datang lebih siang. Sepertinya aku harus menaiki angkot dan melewati rute yang terjebak macet. Akhirnya aku sampai di sekolah. Telat sepuluh menit dari waktu awal aku berjanji dengan Ren. Aku menunggu di pinggir lapangan, dekat dengan gerbang sekolah. Dia datang. Bagaimana bisa orang yang menyuruhku datang pagi, justru ia yang lebih terlambat?
“Ikut gue Corn.”, tanpa tahu kemana ia akan membawaku, aku berjalan di belakangnya.
“Iya.”, aku dibawa ke halaman belakang sekolah. Ada pohon mangga yang tinggi dan……………….  Lubang galian kecil. Padahal halaman belakang sekolah kami banyak dipenuhi rerumputan. Tapi mengapa ada lubang galian yang belum ditutup?
“Itu semalem gue yang menggali. Buat nguburin potongan tubuh kucing. Inget kan gue bawa cangkul penuh tanah semalem?”, Ren menunjuk lubang galian itu. Potongan tubuh kucing? Apa Ren mengalami teror yang sama seperti Kak Davin? Omong-omong, hari ini Kakakku tidak sekolah. Badannya panas demam sejak semalam. Makanya aku berangkat sekolah sendiri. Tambahan, kalau Kak Davin tahu aku berkomunikasi seperti ini dengan orang lain, ia pasti berlagak sangat sok protektif padaku.
“Aku inget. Tapi Ren, apa kamu juga diteror kayak kakakku?”, tanyaku menyelidik.
“Bukan gue yang diteror, tapi temen gue yang semalem itu. Terornya mirip banget kayak teror yang kakak lo dapet. Dan gue langsung lari dari lantai dua ke lantai satu setelah denger lo teriak minta tolong”, oh ternyata temannya yang mendapatkan teror. Sekarang aku tahu, semalam ia berlari dari lantai dua karena mendengar teriakan minta tolongku. Sekadar info, tata ruangan kelas sepuluh, sebelas dan dua belas tidak berurutan. Kelas sepuluh berada di lantai tiga. Kelas sebelas berada di lantai satu. Sedangkan kelas dua belas berada di lantai dua. Aneh bukan?
“Kalo temenmu yang kena teror kenapa kamu yang menguburkannya?”, aku memperhatikannya yang sedang menutup lubang tersebut dengan tangannya.
“Temen gue alergi kucing. Itu sebabnya gue yang bantuin dia. Dia anak kelas XII-B juga, sekelas sama gue.”, cowok ini benar-benar setia kawan.
“Kamu mau ngasihtau aku tentang hal apa?”, seperti biasa, rambutku diikat kuda dengan karet rambut berwarna hijau. Sedangkan cowok ini rambutnya seperti artis Vidi Aldiano.
“Gue tahu siapa yang ngasih kakak lo surat ancaman. Tapi gue ngga tau siapa yang menulis ancaman buat lo pake darah di cermin toilet cewek.”, ia menjelaskan sambil mencuci tangan di keran yang menempel pada dinding pembatas antara halaman belakang sekolah dengan rumah penduduk.
“Tolong kasihtau aku. Siapa pelakunya!”, tanyaku menuntut.
“Dengan beberapa syarat lagi.”, dasar cowok pembawa cangkul yang terlalu penuh persyaratan! Dia bahkan mengatakan itu dengan nada datar.
“Kenapa pake syarat terus?”, aku mulai kesal.
“Kalau ngga mau yaudah. Terserah lo.”, Oh Tuhan! Apa orang sejenis dia sangat banyak di dunia ini? Pasti merepotkan jika ingin mengetahui sesuatu harus dengan syarat tertentu. Aku mengalah lagi, demi mengetahui pelaku iseng dibalik surat ancaman untuk kakakku aku siap menerima syaratnya.
“Aku akan ikutin syaratnya. Apa?”, entah kenapa perasaanku mendadak jadi tak enak begini.
“Syarat pertama, jangan jauh-jauh dari gue kalo di area sekolah. Karena mungkin lo bisa celaka seperti yang dituliskan di cermin semalem. Kedua, lo harus bantuin gue mengungkap misteri dibalik insiden setahun lalu. Dan yang terakhir……….”, sungguh syarat yang terlalu banyak dan sulit untuk kujalani! Tiga syarat, bayangkan jika kalian yang mengalami ini! Orang yang baru kalian kenal langsung menyuruh seenaknya. Hanya demi sepatah informasi yang ia punya! Memangnya dia siapa? Temanku? Sahabatku? Kakekku? Dia lebih mirip nenek-nenek tukang mengatur!
Karma memang ada, kemarin aku baru saja bersumpah dalam hati kalau aku tidak ingin mencari tahu tentang insiden setahun lalu yang misterius itu. Mengapa sekarang aku justru terjebak ke dalamnya?? Mengapa hidupku penuh liku-liku seperti jalanan di pegunungan?
“A-Apa syarat yang terakhir?”, tanyaku dengan jantung yang meloncat-loncat karena takut mendengar syarat yang satu ini.
“Yang terakhir, lo harus jaga jarak sama kakak lo kalo di sekolah. Karena.………..”, wusshhh setelah ia mengatakan kalimat terputusnya itu, seperti ada angin yang menghantamku bertubi-tubi. Memang karena apa?


~Bersambung~

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Halo halo halooooooo pembaca dimanapun kamu berada! ^o^
Maaf ya bagi yang udah nungguin kelanjutan mini story-ku. Agak macet tanggal rilisnya, soalnya aku baru sembuh dari sakit demam selama lima tahun! *Astaghfirullah engga lah* Cuma lima hari kok :D
Selamat membaca part kedua ya! Kalo kepanjangan harap maklum, aku lagi haus menulis hoho :p 

Seperti biasa tolong tinggalkan jejak di kolom komentar!
Terima kasih~ See you next part!

Sincerely,
Airayase Shiina ^^

- Copyright © 2013 Rain Fairy's Words - Airayase - Modified by BioSphere - Designed by Djogzs -