- Back to Home »
- MiniStory »
- Mini Story: "Kehilangan atau Kematian" (Part 3)
Posted by : Airayase Shiina
27 Nov 2014
Cornela Rahwana
Rasanya jantungku tak
henti-henti waswas untuk mendengarkan alasan dibalik syarat terakhir dari cowok
yang baru saja selesai dengan urusan menutup lubang galian—bekas semalam yang
katanya lubang tersebut digunakan untuk menguburkan potongan kucing dari loker
temannya. Menurutku, bukan hanya syarat ketiga yang aneh, tapi syarat pertama
dan syarat kedua juga tak kalah anehnya. Orang ini juga lebih-lebih aneh
dibanding ketiga syaratnya itu. Mungkin syarat pertama untuk tak boleh
jauh-jauh dari Ren dan syarat kedua yang mengharuskanku menyelidiki kasus
setahun lalu masih bisa kuusahakan. Namun, bagiku sulit sekali untuk mengikuti
syarat terakhir, berani taruhan aku pasti kesulitan untuk menjauhi kakakku
disamping sifatnya yang overprotektif padaku. Bisa-bisa baru mundur
beberapa jarak darinya, aku langsung dimarahi abis-abisan atau bahkan sampai
dilarang memiliki teman yang serupa dengan Ren—bukan berarti aku menganggap Ren
adalah temanku, tapi Kak Davin pasti mengira begitu.
“Karena……”, aku
tersadar dari lamunanku. Ren sedang melanjutkan kalimat terputusnya.
“Karena apa?”, tanyaku
ragu sambil mengepal tanganku. Hal yang selalu kulakukan tatkala menenangkan
diri dari ketegangan serta kegugupan.
“Lo harus menghindari
kakak lo karena itu demi keselamatan lo”, apa aku terlihat sangat lemah? Apa
cowok pembawa cangkul ini beserta penghuni seluruh dunia tidak tahu walaupun
aku anak pendiam dan jauh dari kata ‘sosialisasi’, tapi aku sangat hobi tinju
yang menjadi rahasiaku bahkan dari Ibu dan Kakakku? Tambahan lagi aku sangat
menyukai rata-rata mainan anak cowok (contohnya mobil tamiya, gasing, kelereng
bahkan aku mengidolakan seorang artis dari dunia smack down, siapa lagi kalau bukan John Seena?
Nyahahaha dia itu keren keterlaluan, sungguh! Aku jadi ingin membanting lawanku
seperti aksinya tapi mustahil), ketimbang mainan masak-masakan atau
boneka barbie ala anak cewek. Tapi faktanya, aku
juga masih memiliki sifat cewek. Terbukti dengan hobiku mengoleksi benda-benda
imut seperti jam tangan digital, karet rambut yang lucu-lucu, kesukaanku pada
kucing (tentu saja aku masih shocked jika mengingat potongan kaki kucing
semalam), serta ketertarikanku pada makhluk imut bernama bayi.
“Memangnya
keselamatanku terancam banget, ya?”, nada suaraku terdengar setenang
mungkin—padahal aku juga takut, apalagi kalau aku akan kehilangan nyawaku? Haduh amit-amit!
“Lo inget surat kaleng
di dalam loker kakak lo? Apa isinya?”,
“Oh, isinya nggak
terlalu penting. Kakakku mendapat gosip kalo dia adalah tukang adu domba.
Padahal, kami tidak memelihara domba di rumah kami, apalagi mengadu domba
dengan domba yang lain. Memang masih ada ya kegiatan mengadu domba?”, ini
pertama kalinya aku mengatakan pemikiranku semalam pada seseorang mengenai
gosip kakakku dan domba-domba yang diadu.
“Bwahahahahaha lo bego’
atau emang nggak tau artinya, Corn?”, aku kaget mendengar tawa cowok ini yang
sangat puas. Apa aku sedang mengatakan hal yang lucu? Sempat-sempatnya
cowok—yang untuk kesekian kalinya selalu memegang cangkul tapi kali ini dengan
seragam yang dibuka dan hanya menampakkan kaos T-shirt berwarna putih—tertawa
disaat pembicaraan sedang serius.
“Ada yang lucu, ya?”,
tanyaku dengan tampang tak mengerti yang tak dibuat-buat.
“Iya. Lo mengira adu
domba itu mengadu domba sama yang lain?”, nada suaranya kembali datar dan
lempeng-lempeng lagi.
“Bener kan…. itu
artinya?”, tanyaku meragukan diri sendiri.
“Bukan. Lo tuh
sekarang hidup di masa yang udah canggih. Tapi otak lo sama aja kayak otak
udang! Arti adu domba aja nggak tau! Hmppffhhttt”, dasar mulut kurang ajar. Ia
seperti berniat tertawa meledak-ledak lagi! Secara tak langsung aku dibilang
bodoh olehnya (harus kuakui dalam pelajaran aku memang masih di urutan lima
belas besar, tapi tidak bodoh-bodoh amat kok!).
“Oke terima kasih
telah mengingatkan bahwa aku bodoh. Terus apa hubungannya adu domba dengan
keselamatanku?”,
“Lo pasti lupa sama
kalimat setelah kalimat adu domba di surat kaleng itu. Gue yakin banget isinya
sama persis kayak kalimat terakhir di surat ancaman yang diterima Theo, temen
gue. Yang sebelum gue buang gue baca dulu suratnya”, katanya dengan nada
serius. “intinya, keselamatan orang disekitar penerima surat teror itu akan
terancam. Termasuk gue…..”, “….dan elo!”, sambungnya sambil mengacungkan
telunjuknya ke depan wajahku setelah mengucapkan kata ‘elo’ padaku. Demi seluruh bayi imut di
nusantara! Sungguh orang ini
tidak tahu kesopanan! Menunjuk orang lain dengan jari telunjuk pasti dicap
tidak sopan! Apa maksud keselamatanku akan terancam? Aku tidak mengerti.
Bukankah keselamatan kita sudah diatur oleh Tuhan?
“Baiklah, aku akan
ikutin semua syarat darimu”, aku
menyingkirkan jari telunjuknya dari depan wajahku. “Apa kamu ingin aku
mengatakan kalimat itu? Yang bener aja! Aku bahkan belum bisa percaya pada
orang yang baru kukenal semalam! Aku tidak percaya semua ucapan anehmu! Dan
kamu nggak perlu mengatur keselamatanku! Tuhan lah yang sudah mengaturnya!”,
aku mengatakan kalimat itu dengan menggebu-gebu. Baru kali ini aku menunjukkan
kemarahanku pada orang lain. Malu sekali rasanya. Gawat, wajahku jadi merah dan
tanganku yang sedari tadi kukepal mulai memanas, ingin kutinju orang ini. Berhubung
aku malu sekali saat ini, rasanya lebih menguntungkan jika aku bisa melenyapkan
diri ke dasar bumi.
Hening yang sangat
lama. Baru kusadari Ren berdiri dihadapanku sejak tadi, setelah selesai menutup
galian itu. Ren menatap kosong ke arah langit pagi yang mulai terang. Aku
mengamatinya diam-diam. Tingginya lebih tinggi—walau hanya sedikit—daripada
Kakakku dan wajahnya memang lebih keren dibanding Kak Davin. Sifatnya bahkan
lebih overprotektif dari Kak Davin. Tiba-tiba ia berbalik
dan mengerahkan jurus tatapan setajam sinar laser padaku.
“Gue………”, dia
mengatakan kalimat yang gagap, terdengar getir seraya berpose tubuh yang kaku
layaknya patung dihadapanku. “Gue kenal Lo udah sejak lama, Corn”, setelah
mendengar ucapannya itu. Aku terkejut dan sangat tidak percaya. Siapa sih dia? Aku mundur perlahan lalu berlari
pelan. Dan berniat berlari sejauh mungkin dari sini, namun upayaku gagal. Aku
mendengar kalimat lain darinya. Lalu aku malah bersembunyi dibalik dinding di
sisi kiri lokasi tadi.
“Terserah lo mau percaya
atau nggak. Gue tau lo masih ada dibalik dinding itu! Gue cuma mau bilang…..”,
nada suara Ren benar-benar serius dan sangat menikamku perlahan! (mungkin kata
menikam agak berlebihan atau istilah barunya lebay, tapi begitulah yang kurasakan),
“Davin kayak nyembunyiin sesuatu dari lo, juga dari orang tua kalian. Gue
dikasih tau sama ibu lo! Jadi, minimal lo nggak boleh jauh-jauh dari gue!”,
ucapannya berakhir tapi aku masih membekap mulutku. Kak Davin tidak mungkin
menyembunyikan sesuatu dari Ibu. Kalaupun memang menyembunyikan sesuatu dari
ibu, dia pasti memberitahu rahasianya padaku bukannya malah menutup rapat
mulutnya yang bawel itu! Aaaaaaaaaaaaa!
Kenyataan memang pahit. Tenang, Nela itu baru dugaannya dan ibu saja, kok.
Belum ada bukti.
Aku refleks berlari
menjauh dari lokasi Ren, aku berlari, berlari dan terus berlari. Jantungku
sakit sekali. Bukan hanya karena kaget mendengar ucapannya yang tak terduga itu
hingga rasanya jantungku akan melonjak keluar dari rongganya, juga akibat melarikan
diri darinya bagaikan tak tahu dimana garis finish yang harus kutuju. Aku
meninggalkan cowok itu di halaman belakang sekolah. Aku tidak peduli dengan keselamatanku yang terancam atau omong kosongnya. Aku memutuskan
untuk kembali ke kelasku di lantai tiga gedung B.
Jika aku mau, aku bisa
mencari tahu sendiri pelaku dibalik surat acaman keji di dalam loker kakakku.
Sekaligus aku akan berusaha semampuku juga untuk mencari pelaku yang lebih
jahat, yang telah menuliskan ancaman kematian padaku di cermin. Serta aku akan
mencari tahu kebenaran bahwa kakakku tidak menyembunyikan apapun! Tentu saja
tanpa campur tangan Ren si pembawa cangkul yang sok mengenalku! Dan mengapa
ibuku malah berpihak pada Ren? Sudahlah, aku jadi makin pusing memikirkan hal
ini terus.
Biar kuberitahu, aku
mungkin tidak memiliki kelebihan dalam hal pelajaran teori. Namun, untuk hal
olahraga atau khususnya atletik lari, aku sangat handal. Aku bahkan pernah
mengikuti lomba olahraga lari marathon dan mendapat juara kedua. Jadi tidak
sulit bagiku untuk cepat sampai di kelasku dengan berlari bagai dikejar anjing,
berhubung jarak halaman belakang sekolah di dekat parkiran—lokasiku tadi—dengan
kelasku yang lumayan jauh.
Setelah sampai di
kelasku X-C, aku menjadi pusat perhatian. Aku menuju tempat persinggahanku,
bangku paling pojok belakang. Sendirian. Aku merasa mata seluruh siswa di sini
mengintimidasi menuju ke arahku. Apa penampilanku—setelah bertengkar dengan
Ren—berantakan dan merusak pemandangan? Lalu aku mendengar segelintir orang
mengatakan cemooh dan sindiran dari arah barisan paling ujung di seberang sana.
Semua kalimat yang dilontarkan mereka itu menyakitkan telinga sekaligus hatiku. Oh Tuhan! Benarkah aku sebegitu
menjijikan? Aku tidak
berusaha menarik perhatian Kakakku ataupun Ren sama sekali!
“Eh, tadi gue liat
Cornela sama Kak Ren di halaman belakang! Hebat ya bisa mendapat dua cowok
paling keren di sekolah kita!”
“Halah, paling dia
pake pelet atau mungkin menggoda tiap cowok kece. Hahahahaha”
“Cih. Coba lihat deh,
tampangnya aja nggak cantik, penyendiri, suram banget deh!”
“Ssstttt…. Nanti
orangnya dengar! Kalo ngadu sama ketua osis sang kakak tersayangnya atau Kak
Ren sang ketua klub jurnalistik, habislah riwayat kita!”, diam-diam aku menguping sindiran mereka. Oke, aku baru tahu kalau
Ren adalah ketua klub jurnalistik.
“Biarin aja! Gue malah
mau dia denger! Pffttt tapi mending udahan deh, ntar ada yang nangis di pojok
sana! Hahahaha”
Sungguh aku bisa
mendengar semua kalimat menyakitkan itu dengan jelas! Salahku apa, sih? Awalnya
kukira menjadi penyendiri lebih baik daripada menjadi orang terkenal. Dan
sebagai cara terbaik yang bisa kulakukan untuk tidak dibenci atau sekadar
menghindari bersosialisasi. Serta melindungi diriku dari orang-orang yang
terlihat akan menghancurkan diriku seperti kelima gadis populer tadi. Tapi
ternyata aku salah, dalam hidup pasti ada saja yang membenci kita tak peduli
kita jelek atau cantik, bodoh atau pintar, penyendiri atau populer.
Aku membenturkan
wajahku ke meja. Menundukkan kepala serta meletakkan buku sejarah di
pangkuanku. Mataku menatap buku itu. Tanganku kubuat seperti benteng yang
menyembunyikan wajahku dari orang di luar sana. Aku lupa kalau hari ini ulangan
sejarah di jam pertama! Sedangkan keadaanku sedang tidak mood. Terpaksa aku membaca
kalimat-kalimat yang kian lama kian memudar. Semuanya terganti dengan
pertanyaan dalam batinku; Sejak
kapan Ren mengenalku? Benarkah Kak Davin menyembunyikan sesuatu? Dan apa orang
sepertiku juga pantas mendapat orang yang membenciku sedangkan aku tak memiliki
teman disisiku?
---000---
Akhirnya jam istirahat
tiba! Aku merindukan detik-detik kebebasanku seperti saat ini. Mengingat semua
yang terjadi hari ini sangat menjengkelkan, aku berjalan santai menuju kolam
ikan di dekat kantin, di lantai satu gedung A. Kolam kecil dengan miniatur
bebatuan bagai air terjun. Hanya dengan melihat air mengalir sudah bisa
menetralisir kekesalanku. Aku memakan bekal roti bakar berisi selai kacang dan
selai coklat yang dibuatkan ibuku pagi tadi—tentu saja sebelum aku bangun tidur
ibuku sudah menyiapkannya. Disaat tenang, tentram dan damai begini tiba-tiba
ada sebuah tangan yang menceburkanku ke dalam kolam. Aku menoleh ke belakangku.
Tangan seorang cewek, ya tangan milik Endah teman sekelasku. Ternyata kelima
cewek yang tadi pagi mengejekku. Tere, Lia, Rani, Siska, dan Endah. Berdiri
menatapku lekat dan nanar dari pinggir kolam.
“Bawa dia ke tempat
tersembunyi!”, perintah Tere si cantik selaku ketua geng mereka yang memang
sangat populer.
“Yoii Tere cantik”,
kemudian Lia yang paling imut dan polos mengulurkan tangannya padaku sambil
tersenyum ceria. Saat aku hampir menerima ulurannya, Endah si cewek tak banyak
omong menarik tangan Lia dari jangkauanku.
“Lia! Lo lembek banget
sih! Nggak usah pake bantuin dia keluar dari situ! Kotor dan Jijik tau!”, ketus
Rani si cewek paling anti kotor.
“Cih. Cepet keluar
dari kolam! Dasar cewek suram kurang ajar!”, Siska hampir menendang tanganku
yang meraih pinggiran kolam. Cewek ini memiliki mulut kasar yang berlebihan!
Baju seragamku basah
kuyup. Tere sang ketua geng, melepaskan lalu melemparkan jaket hitamnya yang ia
pakai kepadaku.
“Untuk apa?”, tanyaku
sungkan.
“Jelas buat lo pake
lah! Emang lo mau seragam lo yang basah itu menjiplak kulit lo terus diliatin
orang?”, ups, meskipun nadanya ketus tapi Tere sedikit pengertian sebagai
sesama cewek. Aku mengikuti mereka dengan pasrahnya. Tanganku digenggam kencang
oleh Siska agar aku tidak melarikan diri. Sampailah kami di toilet cewek di lantai
tiga gedung C. Jarang sekali ada yang masuk ke toilet ini. Selain gedung C yang
paling jauh dari lobby sekolah, juga memang agak jarang digunakan.
Aku dibawa masuk ke
dalam bilik toilet paling ujung. Lalu Siska menghimpitku hingga aku terjebak
tak bisa mundur lagi pada pojok dinding.
“Heh cewek suram!
Lo ada hubungan apa sama Kak Ren??”, tanya Siska.
“Lo siapanya Kak
Davin??”, tanya Rani.
“Kita adalah
fans fanatiknya siswi yang menjadi korban peristiwa satu tahun yang lalu. Dia
adalah idola kami sejak SMP dan kami mengikuti jejaknya untuk bisa bersekolah
disini juga. Tapi saat kami berhasil masuk ke sekolah ini, SMA Pusaka, dia
malah hilang secara misterius.”, Lia mengatakan itu hingga menangis. Aku jadi
tak tega melihat gadis imut sepertinya menangis begitu. Demi semua keindahan tiap tetesan
air mata menggemaskan dari para bayi orang barat di luar sana! Aku jadi ingin mencubit pipi Lia!
Baiklah, aku memang tidak melihat kondisiku saat ini yang lebih menyedihkan.
“Biar gue yang ngomong
deh. Kalian melenceng dari yang seharusnya kita jelasin ke dia. Seperti kata
Lia, kami fansnya siswi yang menghilang setahun lalu”, sambung Tere. “Kami
terlalu terobsesi pada Kak Jennifer dan segala hal tentangnya. Kami benci pada
Kak Davin yang menjadi penghalang persahabatan antara Kak Jennifer dan Kak
Risa. Kami juga benci sama cewek yang terlalu dekat dengan Kak Davin. Karena
menurut kami, Kak Davin hanya untuk Kak Jennifer. Lo nggak akan ada kesempatan
menjadi adek tersayang, atau menjadi orang spesial bagi Kak Davin yang
kenyataannya kalian nggak ada hubungan darah sebagai keluarga! Pokoknya lo
harus jauhin Kak Davin! Atau lo akan tau akibatnya dari kami! Kami nggak akan
segan-segan melakukan hal yang lebih parah dari ini!”, memang sudah rahasia
umum kalau aku adalah adik angkat Kak Davin.
Baru-baru aku sudah di
serang banyak pertanyaan yang memusingkan. Aku akan menelaah semua informasi
ini perlahan. Kakakku menjadi penghalang persahabatan? Apa maksud mereka adalah adu domba seperti yang tertulis di surat
ancaman untuk Kakakku? Lagipula siapa Jennifer dan Risa? Apa hubungannya
kakakku dengan kedua cewek yang namanya baru ku dengar itu?
“Siapa Jennifer dan
Risa?”, setelah mengucapkan pertanyaan itu, aku mendapat tinju dari Siska yang
masih saja memojokkan tubuhku pada dinding toilet. Aku tak ingin diam saja, aku
balas meninjunya (sudah kubilang kan, aku ingin beraksi seperti petinju atau
artis smack down!).
“Jaga sikap Lo, Siska!
Kita nggak boleh main tangan!”, celetuk Endah yang sedari tadi diam saja.
“Habisnya dia songong
banget manggil Kak Jennifer nggak pake embel-embel ‘kak’!”, Siska menahan
emosinya.
“Bukan salah Cornela
juga kok. Dia kan emang nggak tau siapa Kak Jennifer dan Kak Risa. Dan apa
hubungan kakaknya dengan mereka.”, sela Rani yang berjarak paling jauh dari
toilet—mungkin jijik karena takut kotor.
“Iya, gue emang nggak
tau. Apa kalian yang mengirim surat ancaman untuk kak Davin…. dan pake motong
kaki kucing segala?”, tanyaku dengan mengepal tangan serta-merta wajah yang
ragu-ragu, “dan juga surat ancaman untuk Theo, sahabatnya Ren?”, sambungku lagi.
Kali ini Endah
mendekatkan wajahnya pada wajahku. Orang yang biasanya diam seperti Endah, jika
sedang marah sangat menyeramkan! Oh
Tuhan! Oh Ibu! Almarhumah suzana sang ratu film horror yang ibuku idolakan
saja kalah dengannya!
“Tolong lebih sopan
dan panggil kakak kelas lo pake ‘kak’ ya, cewek penyendiri nan suram!”, gila
horror banget kalimatnya yang berbisik di telingaku itu!
“Endah, cukup! Hanya
karena lo naksir parah sama Kak Theo, nggak usah bawa perasaan pribadi juga!”,
perintah Tere, “Iya memang benar kami yang menulis surat ancaman murahan itu
pake pulpen merah untuk Kak Theo dan Kak Davin, tapi sungguh kami nggak pake motong-motong
kucing untuk menakuti kalian, Nel. Hampir kami semua alergi dan takut kucing,
kecuali Siska yang meski dia cewek kasar tapi suka banget sama kucing. Tapi
kami bahkan nggak sudi motong binatang peliharaan macam kucing atau sejenisnya,
dan kami baru tau setelah lo bilang tadi, kalo bersamaan dengan surat ancaman
dari kami kemaren ada potongan kucing di loker Kak Davin.”, sambung Tere. Aku
bisa melihat semua teman-temannya juga memasang tampang kaget dan wajah yang
berubah pucat mendengar kata potongan
kucing. Sekali lagi aku bertanya pada diriku sendiri, apa aku harus percaya
pada ucapan dan ekspresi terkejut mereka?
“Untuk sementara gue
berusaha percaya sama kalian. Tapi perkataan kalian nggak ada bukti yang akurat
juga, tau? Hmm oke, lalu siapa Kak Jennifer dan Kak Risa? Apa hubungan mereka
dengan Kak Davin dan Kak Theo?”, tanyaku menggebu-gebu karena penasaran.
Akhirnya aku mendapat banyak informasi secara cuma-cuma tanpa harus mencari
susah payah dengan bertanya kesana-kemari pada semua orang. Tapi satu hal yang
tidak berani kutanyakan; apakah mereka juga yang menulis surat ancaman di
cermin untukku?
“Terserah lo aja deh
mau percaya atau nggak, Cornela!”, jawab Siska,
“Kak Jennifer dan Kak
Risa adalah siswi yang menghilang secara misterius setahun lalu. Pihak sekolah
sih bilangnya mereka pindah sekolah ke Luar Negeri. Mengingat Kak Jennifer
memang anak orang kaya, dan mungkin memang pindah ke luar negeri, tapi soal Kak
Risa kami nggak tahu latar belakangnya. Disamping itu Kak Davin emang deket
banget sama Kak Jennifer, faktanya mereka saling suka. Dan sedikit rumor
mengatakan Kak Risa juga menyukai Kak Davin, tapi nggak tau juga deh bener atau
nggak. Tentang Kak Risa ataupun Kak Theo, kami nggak tahu-menahu terlalu
banyak.”, jelas Rani.
Oh kini aku mendapat
beberapa fakta; Fakta pertama, Jennifer dan Risa adalah siswa X dan siswa Y
yang sering dibicarakan orang-orang(tapi bukankah tidak ada yang tahu bahwa
jenis kelamin mereka adalah perempuan? Yah, namanya juga kekuatan gosip, pasti
menyebar cepat hanya dari beberapa orang saja). Kedua, Kak Davin dan Jennifer
pernah dekat atau istilah gaulnya (yang sering kudengar dari anak-anak kelasku
yang hobi menggosip) PDKT. Atau KDRT ya? Yah, intinya dekat.
Ketiga, mereka adalah fans fanatik Jennifer dan yang mengirimkan surat teror
ancaman untuk Kakakku dan Theo. Keempat, kakakku terlibat dengan insiden
setahun yang lalu. Atau bisa dibilang kakakku adalah seorang yang begitu dekat
dengan kedua siswi yang menjadi korban dalam kasus ini; Jennifer dan Risa—katanya
Kak Davin sebagai pengadu
domba keduanya. Fakta terakhir yang paling membuatku bertanya-tanya: Yang
melakukan hal tidak terpuji, memotong kaki kucing dan meletakkannya ke loker
Kak Davin dan Theo bukanlah kelima gadis yang mengelilingiku saat ini. Lalu siapa
pelakunya?
Saat aku tengah
melamun memikirkan semua fakta itu, tiba tiba saja rambutku yang diikat kuda
serta basah-lepek ditarik-tarik oleh Lia. Sungguh aku terkejut! Cewek paling
imut dan polos ini sangat ingin membuat kepalaku botak, ya?
“Aaaaaaaaaaaaa!!
Sakit!”, teriakku pada Lia.
“Lia! Lo apa-apaan
sih? Jangan kayak anak kecil!”, tanya Tere dengan nada ketus sambil mencoba
menyingkirkan Lia dariku.
“Plis Tere, biarin gue
kayak gini! Gue juga suka sama Kak Ren! Kami tetangga dari kecil! Jadi, Nela,
tolong JANGAN REBUT DIA DARI GUE!”, aku mendadak ikut menangis mendengar
teriakan suara penuh rasa sakit hati dari Lia. Aku memang mudah
tersentuh—tambahan, aku merasa sakit sekali lantaran rambutku seakan bisa
terlepas dari kepalaku akibat tarikan dari tangannya yang sangat panas dan
seperti penuh dendam. Tapi aku sama sekali tidak ada sedikitpun hasrat untuk
mendekati atau merebut Ren si cowok penuh persyaratan gila itu!
Lagipula (ini selalu
kusimpan seorang diri), aku sangat menyayangi Kak Davin (bukankah sulit untuk
menyukai orang lain disaat kau sudah memiliki orang yang kau sukai?). Bukan
sebagai adik dengan kakaknya, melainkan perasaan seorang cewek pada cowok. Aku
tulus menyayanginya. Tapi, aku harus tahu diri. Aku hanya akan menjadi adiknya
selamanya, meski status adik
angkat sangat menyiksaku
teramat parah. Aku tak selalu bisa melihatya sebagai seorang kakak, terkadang
ada kalanya aku bermimpi bisa menjadi pasangan hidupnya. Dasar tukang mimpi! Aku menghapus air mataku. Tak
apalah, selama Kak Davin masih berada disisiku dan aku masih disayangi olehnya
walau hanya sebatas adik
angkat.
Lalu tanpa ada angin,
pintu induk toilet ini dibanting dan terbuka lebar. Dan menampakkan sosok
tinggi besar dengan napas yang terengah-engah. Tidak lain dan tidak bukan,
adalah Ren. Untuk apa cowok itu kesini? Apa dari sekian banyak toilet di gedung
A dan B sudah penuh hingga dia datang ke toilet cewek pula, apalagi di gedung C
yang jauh dari peradaban di lantai tiga ini? Baru kusadari tangan kanan cowok
itu membawa tempat makanku yang berwarna ungu yang tidak sempat kuselamatkan
saat tenggelam di kolam ikan. Dia berjalan perlahan mendekatiku dan Lia yang
tinggal kami berdua di dalam bilik toilet.
“Corn, gue cari
kemana-mana tapi lo nggak ada. Ternyata lo disini sama temen-temen lo. Lagi
pada ngapain?”, Ren menatap satu persatu kelima cewek di sekelilingku. Mendadak
mereka langsung menunduk, terkecuali Lia. Dia masih belum melepaskan tangannya
dari rambutku—kini tangannya sudah tidak menarik-narik dengan ganas rambutku. Tapi
dia masih menangis tersedu. Sedangkan aku hanya ternganga melihat kedatangan
Ren dengan baju seragam yang basah sama sepertiku.
“Lia, gue tau kok dari
dulu lo naksir banget sama gue. Maaf, sampe sekarangpun gue nggak bisa bales
perasaan lo. Dan, gue kurang suka cara lo memperlakukan sesama cewek kayak
gini, apalagi dia temen sekelas lo. Emang lo mau di jambak sampe rambut lo
botak sama salah seorang temen lo kayak yang lo lakuin pada Corn?”, Ren menarik
perlahan tangan Lia dari kepalaku.
“Eng….. Enggak! Aku
nggak mau!”, Lia yang malang! Malah diomeli oleh Ren, padahal perasaan Lia
sangat tulus. Namun dalam hatiku sungguh berterima kasih pada Ren, telah
menyelamatkan rambutku dari ancaman kebotakan!
“Corn, ayo pergi dari
sini. Bentar lagi bel masuk”, tanpa memedulikan kelima cewek yang tertegun, Ren
menarik tanganku sambil berlari. Bodohnya aku malah menurutinya! Untuk
sepersekian detik aku lupa tentang kejadian tadi pagi di halaman sekolah. Tadi
pagi aku meninggalkannya dan melarikan diri. Jelas aku marah padanya hingga
membentak-bentakinya lumayan kasar! Mengapa dia malah mencariku hingga ke
toilet di ujung lantai tiga gedung C dengan baju basah begini? Apa dia
basah-basahan demi mengambil kotak makanku?
“Lepasin tanganku!
Kamu mau apa sih, Ren? ”, tanyaku sebal. Baru kusadari aku masih memakai jaket
milik Tere tepat sebelum aku terkejut melihat kulit tanganku yang berubah
menjadi berwarna hitam.
Ren malah memarahiku
habis-habisan seperti ibu-ibu yang menghukum anaknya yang nakal, “Dasar bego!
Gue nggak mau apa-apa! Nih gue cuma mau ngasih kotak makanan lo… Tapi kan udah
gue bilang jangan jauh-jauh dari gue kalo di sekolah! Lo malah marah
sepagian ini. Gue sms ke nomor lo nggak terkirim, gue misscall juga nggak
aktif! Lo dibully kan sama mereka?”, rasanya lucu juga kami berlari dari toilet
di ujung lantai tiga gedung C hingga ke depan kelasku di lantai tiga gedung B
dan kami sama-sama basah seperti orang bodoh dalam sinetron yang tiba-tiba
hujan lokal lalu kehujaan! Lagipula, ponselku kuletakkan di dalam tas. Jadi,
mana kutahu kalau dia terus menghubungiku, kan?
“Pfffftttt aku mau
ketawa. Hahahaha hahahaha lihat tampangmu! Lihat bajuku dan bajumu basah! Lucu
banget!”, entah kenapa aku hanya ingin tertawa untuk melupakan semua kejadian
yang menimpaku bertubi-tubi ini, beberapa detik kemudian aku menundukkan kepala
dan menghempaskan tangannya yang masih saja melingkar di pergelangan tanganku,
“iya, aku dibully. Tapi itu bukan urusanmu! Maaf, tolong jangan deket-deket aku
lagi! Aku juga bakal jaga jarak dengan kakakku. PUAS? JADI TOLONG JANGAN SOK
KENAL LAGI DENGANKU!!”, aku berteriak dan membentaknya, hingga membuat banyak
orang menontoni kami. Sekali lagi aku sangat malu—pertama kalinya aku
mempermalukan diri di depan umum. Sementara kalimat dari Ren pagi tadi mulai
bergema lagi ‘Gue udah kenal lo sejak lama, Corn.’ Dan aku kembali dihantui rasa
bersalah jika mengingat nada suaranya yang getir. Aku masuk ke kelasku. Tanpa
peduli lagi dengan para penonton tadi. Tanpa peduli bajuku masih basah.
---000---
Jam pulang sekolah.
Untung aku membawa baju olahraga, meskipun Pak Yono tidak masuk, tapi
baju itu bisa kujadikan sebagai baju ganti. Karena baju seragam batik dan
rok abu-abuku basah semua. Dan kubungkus baju-baju basahku dengan plastik yang
kini kubawa di tangan kiriku. Hari ini adalah hari paling menyebalkan selama
sejarah hidupku! Mengapa aku merasa seperti pecundang yang tidak mengetahui
banyak hal dan kesepian begini? Oh
Tuhan, semoga aku bisa mengatasi masalahku dan mengungkap insiden setahun yang lalu.
Aamiin.
Aku berjalan menuruni
tangga dari lantai tiga, kelasku. Kini aku sudah berada di pinggir taman yang
menjadi penghubung di tengah ketiga gedung di sekolahku. Aku mendadak merasa
seperti seorang artis yang baru naik daun. Saat aku lewat di depan orang-orang,
mereka berbisik-bisik seolah-olah aku berita terhangat saat ini! Mungkin
kejadian di depan kelas antara aku dan Ren sebelum bel masuk setelah istirahat
tadi, menarik perhatian besar. Baru kuingat, reputasi Ren sama cemerlangnya
dengan Kak Davin. Ketua klub jurnalistik itu memang terkenal. Tapi aku tidak
peduli dengannya lagi. Aku sudah menegaskan padanya bahwa aku tidak ingin
terlibat dengan ketiga syaratnya yang membingungkan dan tentu saja dengan
dirinya yang mengganggu, sok mengaturku sekali!
Dari ekor mataku, aku
melihat ada sesosok bayangan memakai pakaian serba hitam. Serta topi pet yang
sering kugunakan! Kak Davin?
Apa yang dia lakukan dengan mengendap-endap disini? Bukankah dia sedang demam
di rumah? Mungkin juga bukan Kakakku, kan?
Rasa penasaranku
memuncak, aku harus menyeledikinya sendiri. Kak Davin menuju ke gedung A.
Sepertinya aku makin mirip maling, soalnya aku ikut mengendap-endap juga. Dari
gelagatnya, aku bisa menilai kalau kakakku mencurigakan! Apa Kak Davin tidak
takut reputasinya sebagai ketua OSIS yang super berwibawa dan keren itu akan
tercemar bagai terkena virus polusi udara jika kelakuannya seperti ini? Aku
bersembunyi di balik tong sampah berukuran jumbo. Ya, dimana lagi kalau bukan
di kantin yang memiliki tong sampah sebesar tubuh kecilku? Semua warung jajanan
sudah tutup. Para pedagang di kantin sekolah kami memang memiliki kebiasaan
menutup warungnya lebih cepat dari hari biasa pada hari Kamis. Entah jalanku
yang terlalu lambat atau sosok itu yang kelewat ngibrit. Tapi saat aku mengulurkan
leherku seperti kura-kura, aku kehilangan jejak kakakku! Oh Tuhan, Kemana dia melenyapkan diri?
~Bersambung~
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hai hai hai!! ^o^ Huaawww rasanya bersalah banget nih bikin cerita yang kelewat
panjang gini apalagi seharusnya minggu ini udah sampe part 4, maaf banget baru
sampe part 3 :| Tapi bagi pembaca yang udah menunggu part 3 ini selama dua
minggu, pasti enggak keberatan dong ya bacanya :v
Aku enggak tahu kenapa jadi males dan kekurangan ide
banget nulis part ini>_< Yah, apa boleh buat emosi lagi kurang stabil
hoho~~~
Selamat membaca!
Dan seperti biasa jangan kepo banget yaww, selamat
menunggu lanjutannya!
See you next time!
Sincerely,
Airayase Shiina ^^
Cerita yang menarik.... :D
BalasHapusTerima kasih, tapi masih banyak ketidaksempurnaan tentu aja ^^
Hapus