- Back to Home »
- MiniStory »
- Mini Story: "Kehilangan atau Kematian" (Part 1)
Posted by : Airayase Shiina
5 Nov 2014
Seperti
biasa, aku duduk menyendiri di pojok paling belakang ruangan kelas di barisan
paling jauh dari pintu kelas. Menyedihkan memang, tapi beginilah keseharianku.
Hanya karena jumlah siswa di kelasku X-C ganjil, serta pada hari pertama masuk sekolah
saat MOS aku datang telat, semua kursi sudah terisi. Sisanya hanya kursi paling
belakang dan terlihat sangat suram—sama seperti orang yang menempatinya, aku.
Aku seperti tak kasat mata. Jauh dari peradaban dunia ini. Oke, aku memang
berlebihan pada kalimat sebelumnya. Aku hanya mengalami ini saja; tak ada yang
mau menyapaku, mengobrol atau berkelompok tugas denganku. Ya, aku memang sulit
bersosialisasi dan sangat pemalu untuk memulai percakapan. Jadilah aku seperti
ini, yang hanya akan terbebas dari kesendirian panjang selama pelajaran, saat jam istirahat dan saat pulang sekolah saja. Meski begitu, aku baik-baik saja dengan semua
ini. Aku sudah terbiasa dengan menjadi penyendiri. Sejak kecil, aku selalu
seperti ini. Aku tidak memiliki seorang sahabat—jangankan sahabat, teman-temanku
saja hanya datang saat mereka butuh bantuanku, haruskah kusebut mereka teman
palsu? Lebih baik dan simple kuanggap
mereka ‘bukan temanku’ saja kan?— seperti yang selama ini kuimpikan.
Kelasku
sudah sepi. Tunggu, sejak kapan sepi begini? Kemana orang-orang yang
mengasingkanku? Oh ternyata sudah pulang semua. Lho, mengapa aku tak sadar
kalau kini sudah jam pulang sekolah, bahkan sudah lewat dua jam? Aku juga lupa
harus menunggu kakakku di depan ruang osis. Jangan terkejut, kakakku adalah
bintang sekolah ini, ketua osis SMA Pusaka. Usia kami hanya selisih satu tahun.
Akan tetapi, perbedaan reputasi kami jauh sekali. Kak Davin berkilauan cerah
dengan para penggemarnya yang selalu menyapanya, sedangkan aku suram tidak
berwarna yang tidak dikenal banyak siswa. Omong-omong daritadi aku belum juga
sampai ke ruang osis. Ruang osis berada di lantai dua gedung C, sedangkan
kelasku di lantai tiga gedung B. Jarak kedua gedung itu tiga puluh meter. Haduh, sekolah tua ini memang luas dan
juga rumit! Terdapat tiga buah gedung yang terpisah. Gedung A, gedung B dan
gedung C. Gedung A dan B berbentuk seperti huruf L sedangkan gedung C berbentuk
seperti huruf U. Kalau dibayangkan ketiganya akan terlihat seperti sebuah
persegi yang terputus. Tiap gedung diperuntukkan khusus menurut fungsinya.
Gedung A untuk keperluan ekstra kurikuler. Gedung B untuk kegiatan
belajar-mengajar. Gedung C untuk administrasi sekolah yang terdiri dari; ruang osis, kantor guru, tata usaha, ruang
kepala sekolah dan wakil kepala sekolah, serta aula.
Aku
berjalan sendirian melewati koridor dari lantai tiga gedung B—kelasku terletak
di ruangan ketiga jika dihitung dari paling ujung—hingga kini aku menuruni
tangga di lantai dua menuju lantai satu. Gelap. Apa setiap selesai jam sekolah
lampu selalu dimatikan secepat ini? Mana kutahu, aku selalu pulang secepat
mungkin setelah mendengar bel pulang (Aku kan ingin secepatnya terbebas dari
kesengsaraanku di dalam kelas!). Aku melihat jam digital di tangan kiriku yang
angkanya menyala kalau di tempat gelap, 17:30. Padahal kan ini sudah terhitung
petang. Bukankah sewajarnya lampu dinyalakan, bukan malah dimatikan? Gawat.
Suasana jadi mencekam begini. Tangan dan kakiku gemetar karena mungkin tinggal
aku sendirian disini. Di sekolah tua nan gelap gulita! Demi semua makhluk imut seperti anak kecil dan kucing anggora! Percuma
saja sudah berhasil keluar dari gedung B, taman dengan rumput-rumput hijau yang
berada di tengah-tengah ketiga gedung disini juga tidak terlihat. Lampu taman
tidak dinyalakan. Aku terpaksa menghentikan langkahku dan duduk untuk
beristirahat di kursi kayu di taman. Curang. Mengapa aku seperti berada di
adegan film horor dan menjadi seperti peran utama yang tengah dikejar-kejar
hantu? Tiba-tiba saja leherku merinding.
Apa kalian
belum tahu mengenai insiden satu tahun lalu? Insiden tentang seorang anak kelas sepuluh yang
tiba-tiba menghilang entah kemana. Sebagian rumor mengatakan, korbannya adalah
seorang ‘siswa X’ yang berasal dari keluarga kaya yang hilang secara misterius.
Sebagian lagi mengatakan kalau rumor tersebut salah. Korbannya adalah
sahabatnya, yaitu ‘siswa Y’. Tidak ada yang tahu yang mana dari rumor-rumor
tersebut yang benar. Menurut pihak sekolah, kedua siswa itu menghilang sudah
setahun. Konon katanya, orang tua keduanya juga tidak tahu keberadaan anak
mereka hingga detik ini, apa anak mereka masih hidup atau sudah meninggal. Satu
misteri lagi, tak ada yang mengetahui keduanya perempuan atau laki-laki atau
bahkan perempuan dan laki-laki—tentu saja para orang tua si korban dan pihak
sekolah mengetahui jenis kelamin korban-korban tersebut. Hanya saja semua ini dirahasiakan. Mendadak kepalaku
pusing memikirkan semua misteri ini. Sebaiknya aku tak perlu mencampuri kasus
yang tidak kuketahui itu. Apalagi aku baru masuk ke sekolah tua bangka ini selama lima bulan. Aku
tak tahu apa-apa dan tidak berniat mencari tahu.
Aku merasa
ada seseorang di belakangku. Saat aku menoleh, tak ada siapapun. Mungkin
ketakutanku sajalah yang membuatku paranoid hingga merinding begini. Oh Ibu, Ayah, tolong do’akan aku agar tidak
dihantui roh jahat. Salah, aku seharusnya langsung berdo’a pada Tuhan. Oh Tuhan, tolong lindungi aku. Mana mungkin
siswa X atau siswa Y sudah menjadi hantu, kan? Kalaupun iya, mengapa dia menghantuiku?
Aku kan hanya seorang murid biasa yang tidak penting. Semakin aku merasakan ada
sesuatu di belakangku. Jangan-jangan aku akan menjadi korban beriku-
“Hiiiiiihihihihihiiiiiiiiiii………
Dorrr!!”, aku dikagetkan oleh kakakku lagi. Jantungku masih berlari maraton
akibat ketakutan setengah mati. Setelah kemarin baru saja diajarkan suara
kuntilanak oleh Ena, adik kami, dia langsung mempraktekkannya padaku dalam
keadaan yang sangat mendukung begini. Keterlaluan! Dari mana saja sih dia?
“Belom
pulang, Nel? Lagi ketakutan ya? hahahahahaha”, bisa-bisanya dia tertawa diatas
penderitaan adiknya!
“Gausah
ketawa diatas ketakutan gue deh kak! Lo darimana aja sih?”, jawabku kesal
dengan berkacak pinggang.
“Iyadeh
sori. Gue abis keliling sekolah setelah rapat selesai tadi. Kayaknya mati lampu deh. Lo gapapa kan, Nel? Nggak nabrak tembok atau
jatoh ditangga kan? Hmmpphhfftt”, sungguh hanya orang ini yang pantas menjadi
temanku. Yang bisa membuatku naik darah sebegini hebat. Dia bahkan masih sempat
menahan tawanya di situasi tidak lucu bagiku ini!
“Ketawa ya
ketawa aja kak! Gue sepenakut apa sih di mata sipit lo? Eh iya, cepetan yuk
pulang. Gue laper banget”, aku mencari alasan dengan berkata aku lapar sekali.
Karena sungguh, perasaanku tak enak berlama-lama disini.
“Bwahahahahaha
gausah nyari alasan gitu deh, Dek! Gue tau lo ketakutan. Tapi sori, gue mau
bersihin loker gue dulu. Lo punya senter ngga? Kalo mau pulang duluan terserah
sih…”, sial, dia tahu saja kelemahanku.
Mana berani aku berjalan sendirian lagi setelah dikagetkan seperti tadi. Jarak
dari taman ke gerbang sekolah lumayan jauh. Baiklah sepertinya Kak Davin
sengaja membuatku lebih lama disini. Akupun tak punya pilihan lain.
“Oke gue
ketakutan kalo pulang sendirian. Jadi gue terpaksa nungguin lo dulu deh. Emang
lo kira gue tau bakal mati lampu pake bawa-bawa senter segala? Eh, emang loker
lo kenapa, Kak?”, tanyaku penasaran. Asal tahu saja, biasanya Kak Davin tidak
sepucat ini. Apa dia ketakutan sepertiku? Tentu tidak. Dia pemberani.
Berbanding terbalik denganku.
“Di loker
gue banyak surat ancaman. Haters mungkin? Hmm, sebagian besar ditulis pake
cairan berwarna merah. Mana bau banget! Liat deh baju gue kena cairannya.”, Dia
menarik bajunya yang sudah tidak rapi lagi. Seragam putihnya sudah ternodai
bercak-bercak merah. Di kerah, di sederetan kancing dan di lengannya. Darah.
Sudah pasti itu darah. Apa dia tidak sadar kalau itu darah? Padahal dia seorang
hematophobia—istilah beken untuk
orang penderita phobia pada darah.
Sebaiknya aku tidak memberitahunya, bisa-bisa dia langsung pingsan dan aku
kebagian repot harus membopong tubuh besarnya pulang. Tambahan, aku sedang
ketakutan. Bagaimana cara membawa diriku yang ketakutan sambil membopongnya?
Sebaiknya aku menutup mulut.
“Haters? Ga
mungkin kakak gue yang unyu ini punya haters!”
“Siapa tahu
aja kan, Dek? Dalam hidup tuh pasti ada aja yang benci kita. Tapi gelap banget,
gaada cahaya sedikitpun.”
“Iyadeh om
bijak. Loker lo di depan kelas lo kan? Yuk berangkat! Gue ada jam digital nyala
ini kok, hehe “, Kak Davin makin pucat saja. Sedangkan aku masih ketakutan. Mana
cukup cahaya dari jam tanganku yang imut berwarna putih ini? Biarlah. Kami
memutar badan dan masuk ke gedung B lagi. Ruang kelasnya berada di paling ujung
lantai satu. Kami melewati koridor. Rambut panjangku yang diikat kuda menjadi
basah oleh keringat yang mengucur. Kakakku menggandeng tanganku seperti tahu
kalau aku sudah tidak kuat menahan takut lagi. Biar kuberi tahu satu fakta
mengejutkan; aku dan kakakku bukan saudara kandung. Tapi aku diperlakukan
seperti adik kandungnya. Orang tuanya juga sangat menyayangiku dan mendidikku
dengan baik. Aku lupa pada masa laluku. Tiba-tiba saja tring! Aku sudah berada di dalam keluarga Pak Karto—ayah kami.
Kami sudah
sampai. Saat aku berdiri di depan loker Kak Davin, cairan merah itu mengalir menembus
celah loker. Aku dengan sigap membuka loker, dan dengan ganasnya menyingkirkan
tumpukan kertas surat ancaman lalu mencari sumber alirannya. Ketemu juga!
Sungguh pemandangan yang pasti membuat kalian ingin secepat kilat berlari ke
toilet. Ada dua potong kaki kucing yang masih berdarah-darah segar di bawah
tumpukan kertas. Astaga! Aku jadi
mual melihat ini. Siapa sih yang melakukannya? Kucing kan hewan lucu, mengapa
ada orang yang tidak punya pri-kekucingan dengan memotong kakinya secara kejam
begini? Pasti orang abnormal yang melakukannya. Apa saat ini dunia sedang
krisis orang normal? Lalu kubaca salah satu surat dari surat ancaman yang
memenuhi loker kakakku—ditulis dengan pulpen merah serta dipenuhi bercak darah
yang mungkin disengaja atau hanya terkena darah mayat kaki kucing tadi.
Berhenti berlagak sok keren, dasar tukang adu domba!
Sebentar lagi lo dan orang di sekitar lo akan mendapat akibatnya!!
Apa maksudnya surat kaleng ini?
Memangnya kakakku memiliki domba untuk diadu? Rumah kami saja sederhana dan
tidak ada halaman penuh rumput, apalagi kandang domba! Dasar haters ngaco! Aku
jadi ingin mencubit pipi haters ini. Habis, gemas sekali sih. Sudahlah, tak
perlu pusing hanya karena surat kaleng yang tidak jelas pengirimnya siapa.
“Kak, lo
gapapa kan?”, aku menoleh ke sebelah kiriku, tubuhku hanya setinggi pundaknya.
Kurasakan tangan Kak Davin masih menggenggamku erat. Aku takut kalau dia akan
pingsan setelah terkejut melihat darah mengalir dari lokernya. Tanpa sengaja
aku menginjak darah-darah menjijikan itu.
“Gue………….
Gapapa kok, Dek.”, jelas jelas dia bohong. Kemudian, bruk! Oh tidak! Kakakku benar-benar pingsan! Baiklah aku harus kuat
membersihkan ini semua sendiri dan membawa kakakku pulang dengan selamat. Aku
harus berani, harus, harus! Semangat
Nela! Tuhan melindungimu.
“Kak! Bangun kak! Duh, gimana cara bersihinnya nih?
Mana gelap amat mau ke toilet ambil air, gue takut. Aniwon hear me? Helep me!”,
tanpa sadar aku malah berteriak memanggil orang dengan bahasa inggrisku yang
hancur. Kemudian aku mendengar suara langkah kaki yang berlari dari atas
kepalaku, mungkin di lantai dua. Suara langkah itu menuruni tangga. Semakin
dekat, dekat dan dekat. Oh Tuhan, apa itu
hantu siswa X dan Y? Atau orang lain? Bisa saja kan, masih ada orang selain
kami berdua? Daripada dicurigai apa yang sedang kami lakukan saat magrib
begini, aku menarik tubuh pingsan kakakku ke dalam kelasnya. Bersembunyi di
kursi paling belakang barisan keempat—seperti lokasi tempat dudukku. Bodohnya kamu, Nela! Aku lupa menutup
loker Kak Davin! Aku duduk di kolong meja pinggir dan Kak Davin yang pingsan di
bawah meja yang pojok lalu kuletakkan tasku di bawah lehernya seperti bantal.
Posisi dudukku seperti seorang penari saman. Lagi-lagi aku ceroboh. Aku baru
sadar saat melihat lantai ruang kelas XI-A ini. Aku meninggalkan jejak sepatuku
yang berlumur darah! Langkah kaki tadi sudah tidak kudengar lagi. Karena
penasaran, kulongokkan kepalaku, aku terkejut. Saat ini didepanku berdirilah
sosok dengan tubuh tinggi dan besar memegang cangkul………….
~Bersambung~
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hai hai ketemu lagi kita ‘-‘)/
Hai hai ketemu lagi kita ‘-‘)/
Mana nih yang udah nggak sabar
nungguin kelanjutannya dari minggu lalu? Selamat membaca ya!
By the way, Minggu depan udah mulai
seru lho! Hohoho :D Oh iya, mohon kritik dan sarannya ya di kolom komentar,
semoga aku makin baik dalam mengarang. Makasih~
See you next time! Yeaayyyy~~~ ^^v
See you next time! Yeaayyyy~~~ ^^v
Sincerely,
Airayase Shiina ^^
Airayase Shiina ^^
Bagus RA . Nice ngerangkai kata2nya (INDRA IRAWAN)
BalasHapushoho thanks sudah berkunjung... masih pemula, belom bagus :D
HapusKeren ra ceritanya, ditunggu ya part selanjutnya ^_^
BalasHapusWuihh makasih hehe tunggu minggu depan ya ><
Hapus