- Back to Home »
- MiniStory »
- Mini Story: "Kehilangan atau Kematian" (Part 2)
Posted by : Airayase Shiina
15 Nov 2014
Jarakku
dengan sosok ini hanya satu meter. Kini badanku kembali gemetar. Aku menahan napas akibat ketakutanku yang
menjadi-jadi. Siapa sosok ini? Tukang kebun, kah? Atau mungkin hantu penunggu
sekolah ini? Postur tubuhnya memang sangat mirip setan yang sangat populer; gondoruwo. Bisa saja kemungkinan
lainnya. Oh! Mungkinkah sosok hantu penasaran siswa X yang meminta pertolongan padaku
agar insiden setahun lalu yang melibatkannya segera ditelusuri? Kalau bukan
siswa X, pasti siswa Y. Saat ini si gondoruwo
tidak bergerak sedikitpun. Apa yang ia inginkan dariku? Aku bahkan tidak tahu
soal riwayat hidupnya sebagai siswa X atau siswa Y. Oke, singkirkan semua
dugaan konyol itu.
Cangkul di
tangannya menempel serpihan-serpihan tanah yang masih basah lalu tanah-tanah
itu berjatuhan ke lantai. Memangnya dia habis melakukan apa? Hingga cangkulnya
dipenuhi tanah begitu? Gawat, suasana jadi semakin mencekam. Aku yakin, wajahku
tidak imut lagi dalam situasi-aku-sedang-berada-seperti-di tengah-film-horor-
ini.
Oh tidak.
Semoga saja dugaanku yang ini salah. Sosok ini bukan makhluk astral atau
sejenis keluarga gondoruwo, melainkan
adalah pembunuh bayaran! Aaaaaaaaa rasanya
aku ingin berteriak sekeras mungkin jika dugaanku ini benar seratus persen.
Tapi sebaiknya aku diam, tenang dan melihat sekelilingku. Lantai ruangan ini
jadi kotor karena tanah yang dibawa oleh sosok ini, juga darah kucing yang
sempat menempel di sepatuku. Ruangan kelas XI-A (nama lain dari kelas XI-IPA 1,
di sekolahku memang memakai nama lain untuk tiap kelas, biar lebih mudah
diucapkan.) lumayan luas dengan pajangan slogan-slogan penyemangat belajar,
patung alat pencernaan manusia, serta jendela di sisi kanan dan kiri ruangan
ini. Aha! Bisa saja aku melarikan
diri melalui jendela itu—jendela yang berada tepat di atas kepala kakakku yang
belum juga sadar. Tapi aku tidak akan kuat menggendong kakakku meloncati
jendela. Apalagi kalau sampai sosok aneh di depanku ini bisa menangkapku bisa
gawat. Bagaimana ini?
Gondoruwo di depanku masih saja tidak
bergerak. Apa sosok ini menungguku sedikit lengah, lalu aku akan Blassss! Dihantam, dibunuh lalu
dimutilasi hingga menjadi potongan kecil-kecil seperti kaki kucing tadi dengan
cangkulnya? Kemudian potongan tubuhku akan ada di supermarket dan dijual dengan
harga yang sama dengan daging ikan salmon? Tidak mungkin. Aku tidak akan
membiarkan semua khayalan mengerikan itu terwujud. Potongan tubuhku akan mirip
seperti apa ya? Daging ayam atau daging sapi? Oh tidak pasti mengerikan.
Mengapa aku sudah berpikir seperti apa dagingku nantinya? Aku sangat frustasi. Masalahnya
adalah saat ini aku tidak tahu cara untuk melarikan diri selain melalui
jendela. Aku melihat jam digitalku; 18:30. Oh
ibu, maafkan aku pulang telat. Saat ini aku sedang dalam situasi mengerikan,
Bu. Tolong jemput kami di sekolah sekarang, kakak pingsan. Andai aku bisa
menulis sms agar bisa keluar dari jebakan sang pembunuh ini, hanya saja aku
memang pelupa. Aku tidak membawa handphoneku.
Musnah sudah harapanku untuk terbebas dari kondisi sangat menyeramkan ini.
Demi semua potongan daging ikan salmon! Aku jadi
sangat kepingin buang air kecil (Rupanya sejak menunggu kakakku di taman tadi,
aku memang menahan hasrat membuang air kecil). Sungguh memalukan jika aku meminta
sosok ini menemaniku ke toilet, kan? Baiklah akan kutahan saja hingga sampai di
rumah. Meski aku sendiripun tidak tahu sampai kapan aku akan berada disini.
Hening.
Dalam kegelapan akibat mati lampu, kami bertiga yang berada di dalam ruangan
ini hanya saling diam. Aku mengamati sosok di hadapanku dengan mataku yang
melotot. Aku hendak membuka mulutku—setidaknya untuk berteriak meminta tolong
kepada siapapun yang masih ada di area sekolah atau meminta agar sosok ini
tidak membunuhku.
“To-to-tolong
ja-ja-ja-jangan bunuh saya pak gondoruwo!”,
aku bukannya berteriak meminta tolong malah mengucapkan kalimat pertamaku
padanya! Ternyata aku bisa seberani ini.
“Untuk apa
gue ngebunuh lo? Kurang kerjaan. Lo lagi ngapain disini?”, mengejutkan,
tiba-tiba sosok itu mengeluarkan suaranya yang terdengar seperti cowok
normal—agak berat dan bass. Bagaimana aku menjawabnya? Aku kan tidak tahu cara
mengobrol dengan orang lain selain keluargaku dan guru di kelas tentu saja.
Kalau yang tadi hanya kenekatanku saja untuk memulai percakapan. Habis, hening
sekali suasananya. Asal tahu saja, tidak enak ber-hening-hening-ria seperti
tadi. Hawa disini juga semakin dingin saja.
“Emmm….
Sem-sem-bu….nyi”, jawabku terbata-bata. Sosok ini meletakkan cangkulnya di
dinding belakangku. Aku bisa mencium bau sosok ini. Benar-benar bau tanah.
“Sembunyi
dari apa? Tolong jawab sedetail mungkin.”, apa dia tidak sadar aku bersembunyi
karena dia datang dari lantai dua dengan cara mistis dan cukup ajaib? Dia juga
seenaknya saja menyuruhku bercerita panjang lebar! Tambahan, nada suaranya itu
benar-benar datar. Dia menyuruhku menjelaskan secara detail, tapi dia terlihat tenang
seperti sudah mengetahui apa yang terjadi padaku dan kakakku. Siapa dia? Untuk
apa dia menginterogasiku? Mencurigakan. Aku ingat nasihat orang bijak: Jangan mudah percaya pada orang yang baru kau
temui, penampilan bisa saja menipu. Yang terlihat baik, mungkin saja jahat.
Begitupun sebaliknya. Tapi aku hanya seorang Cornela Rahwana. Aku tidak
bisa menilai seseorang dari luarnya—apalagi mengenalnya lebih jauh untuk tahu
sifat aslinya karena aku belum pernah berteman sebelumnya.
Singkatnya,
aku tidak bisa menyimpulkan orang ini dalam kategori penampilan baik atau
penampilan buruk, kepribadian baik atau buruk. Apalagi dia sangat misterius.
Baiklah akan aku jelaskan padanya. Semuanya. Ini akan menjadi langkah awalku
untuk berkomunikasi dengan orang lain. Saat aku akan mulai bercerita, orang ini
menyela terlebih dulu.
“Sorry, gue
perkenalin diri dulu biar lo percaya. Nama gue Ren. Gausah takut lagi ya adek
kecil, gue bukan ‘pak gondoruwo’. Gue
manusia normal sama kayak lo.”, kata
‘pak gondoruwo’ ditekankan olehnya dengan nada mengejekku. Oh Tuhan, aku merasa bersalah telah mengira
sosok ini gondoruwo ataupun pembunuh. Namun, aku tidak terima dipanggil
adik kecil olehnya! Memangnya sejak kapan aku menjabat sebagai adiknya?
“Aku bukan
adek kecilmu! Aku punya nama juga! Namaku Corne--”, tiba-tiba saja dia memotong
ucapanku lagi. Menjengkelkan!
“Tidak
penting siapa namamu. Cepat ceritakan detailnya.”, baiklah aku memang manusia
yang tidak penting, bahkan orang yang baru saja mendapat gelar ‘orang asing
pertama yang aku ajak berkomunikasi’ ini tidak sudi mendengarku mengucapkan
namaku. Darimana aku harus bercerita? Aku tidak perlu menceritakan sejak
menunggu kakakku kan? Ya, tentu saja tidak perlu.
“Di loker
kakakku terdapat dua potong kaki kucing yang masih mengalirkan darah segar,
lalu kakakku pingsan setelah melihatnya. Dia seorang hematophobia”, apa ini
terlalu singkat, ya? Aku ingin melihat reaksi orang ini terlebih dulu. Ren
duduk di depanku, lalu hanya mengangguk-anggukan kepalanya sambil mengamati dan
memeriksa keadaan tubuh kakakku yang terbaring.
“Hanya
segitu kemampuanmu dalam bercerita? Tolong lebih lengkap, Corn.”, Ada apa dengan namaku? Jadi terdengar sangat
lucu dipanggil begitu. Corn dalam bahasa Inggris kan artinya jagung. Aku
seperti jagung? Dasar cowok tukang kebun, hanya tahu tentang jagung dan
teman-teman si jagung! Hahahaha aku jadi ingin tertawa!
“Tadi saat
aku menunggu kakakku setelah rapat osis, tiba-tiba mati lampu dan aku sangat
ketakutan. Ketika kakakku datang, ia terlihat sangat pucat dan ia bilang di
lokernya terdapat tumpukan surat ancaman yang ditulis dengan tinta merah. Saat
kami periksa, ada dua kaki kucing yang terpotong dan darahnya mengalir dari
lokernya.”, akhirnya aku menceritakan
padanya sejak menunggu kakakku. Aku menyelesaikan ceritaku seperti
dikejar-kejar kereta. Mau bagaimana lagi? Ini tidak bisa ditahan lagi. Aku
kepingin buang air kecil. Sudah di ujung tanduk! Sudah kebelet kalau kata adikku.
“Gausah
ngebut ceritanya, bisa ga sih?”, cowok ini sangat sok memerintah! Ia tidak paham kondisiku.
“Ma-maap
deh kalo kecepetan, bisa minta tolong?”, Ibu
maafkan aku, aku tidak bisa menikah lagi kalau meminta ditemani cowok asing ke
toilet. Tapi aku sudah tak kuat menahannya. Aku pasti ketakutan jika harus
ke toilet sendirian saat gelap begini. Haduuuhh
memalukan sekali kamu, Nela!
“Apa?
Jangan merepotkan gue!”, jawabnya sadis.
“Yaudah aku
sendiri aja. Tolong jaga kakakku!”, aku segera berlari menuju toilet di dekat
tangga. Bagaimana kalau ada hantu yang sesungguhnya? Kalaupun terjadi, aku akan
melempar hantu itu dengan gayung! Aku sudah tiba di depan toilet perempuan.
Gelap. Aku harus berani.
“Corn, lo
berani ngga?”, tiba-tiba saja suara Ren mengagetkanku. Bagiku, kejujuran adalah
hal yang paling utama. Aku sangat takut masuk ke toilet yang hitam tak
bercahaya di dalam sana.
“Engga.”,
jawabku malu-malu.
“Nih, gue
bawa senter. Ambil, buat pencahayaan di dalem toilet…”, apa orang ini selalu
siap sedia? Sampai-sampai membawa senter tepat di saat mati lampu begini.
“Makasih.
Kamu bisa kembali ke ruang XI-A dan menjaga Kak Davin”,
“Oke.”,
kemudian aku langsung masuk ke dalam toilet. Aku menyalakan senter. Disini,
toilet perempuan (mungkin) lebih bersih daripada toilet laki-laki—aku pernah
mendengar dari Kak Davin kalau toilet laki-laki sangat kotor dan bau—atau
memang dimanapun seperti itu, ya? Ada empat bilik toilet. Aku masuk ke dalam
bilik toilet paling dekat dengan pintu masuk (Aku kan takut kalau memilih bilik
toilet paling ujung, katanya di bilik itu sering menjadi lokasi bullying dan cukup angker). Aku buang
air kecil. Lalu aku keluar dari bilik toilet. Aku mengarahkan senter untuk
penerangan jalanku. Dan tanpa sengaja, aku melihat cermin besar yang ada di
ruangan ini; ada sebuah tulisan! Berwarna merah dan berbau anyir seperti……
Darah? Sungguh kakiku lemas setelah membaca ini. Aku hanya bisa menahan
ketakutanku.
Hai korbanku yang tercinta! Kau akan mati.
Pilih: jadi korban pertama atau terakhir? Jangan beritahu tulisan ini pada
siapapun.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”,
aku berteriak. Siapa yang menuliskan kalimat mengerikan itu? Apa salahku? Aku
menutup mataku, lalu menangis perlahan.
“Lo kenapa
di dalem, Corn? Ada kecoa?”, suara Ren menyadarkanku dari luar toilet perempuan.
Aku tidak ingin menjawab pertanyaannya. Tunggu, apa sedari tadi orang itu
menungguku di depan toilet? Kalau tidak, bagaimana ia bisa mendengar teriakanku
yang tidak terlalu kencang?
“Gue masuk
kesana boleh ngga? Gue cuma mau meriksa keadaan lo aja”, sepertinya orang ini
benar-benar tidak tahu area khusus
perempuan, ya? Ini kan toilet perempuan! Aku semakin malas menanggapi
omongannya. Kemudian dia langsung berada di dalam toilet! Masa bodolah. Dia
langsung melihatku yang sedang berdiri kaku. Ups. Tulisannya belum kuhapus. Dia
mungkin melihat tulisannya. Karena aku masih mengarahkan senter ke tembok di
belakang cermin—kalau aku mengarahkan langsung ke cermin akan memantul dan
membuat silau mata, kan?
“Ngapain
pake acara takut sama kecoa? Corn, lo kok diem aja?”, dia seperti orang gila
yang melakukan pembicaraan sendirian sambil marah-marah. Ia membaca tulisan
itu.
“Hai
korbanku yang tercinta! Kau akan mati. Pilih: jadi korban pertama atau
terakhir? Jangan beritahu tulisan ini pada siapapun. Tulisan apa ini?? Lo pasti
shocked abis baca tulisan ini. Gue mau bersihin tulisan ini terus
bersihin bercak darah di kelas kakak lo.”, katanya sambil membawa gayung berisi
air. Ia menyiram cermin itu. Tulisan disana langsung lenyap. Aku takut ancaman
dalam tulisan itu benar-benar terjadi. Kalau dipikir-pikir lagi, aku mendapat
teror ancaman sama seperti kakakku. Hanya saja bagiku, ancaman untukku lebih
mengerikan. Di dalam toilet perempuan dan ditulis di cermin dengan kata-kata
yang lebih kasar! Aku menghadapinya seorang diri tadi. Tentu saja aku kaget dan
tidak menyangka. Sedangkan kakakku menghadapinya bersamaku. Tapi kakakku juga tak
kalah terkejut daripada aku, hingga pingsan.
“Pu-pulang.
Tolong antarkan aku dan kakakku pulang. Kumohon…..”, aku memohon pada orang ini
demi keselamatanku dan kakakku. Ibu dan ayah kami pasti khawatir jika kami
pulang lebih malam lagi.
“Oke.
Dengan satu syarat.”,
“Apa?”, aku
seperti masuk ke dalam misteri yang terpancar dari orang yang baru kukenal ini.
“Besok
datang ke sekolah lebih awal, sebelum jam setengah enam.”,
“Hah?
Memangnya aku tukang sapu sekolah?”,
“Pffffttttt
huahahahahaha huahahaha. Bukan lah. Kalo lo emang mau nyapu ya silakan aja.
Tapi ini beneran penting.”, nada suaranya jadi serius setelah tertawa
terbahak-bahak.
“Oke.
Sebaiknya kita keluar dari toilet ini.”, kataku dengan suara hampir habis.
Mungkin aku lelah, letih, lesu, lunglai—apa lagi ya L yang terakhir?. Intinya
lima L itu membuat suaraku sampai serak begini.
Akhirnya
kami keluar dari toilet. Dan berjalan bersebelahan menuju depan kelas kakakku. Ren
membawa ember hitam beserta dengan gayung biru. Orang ini membuka loker
kakakku. Lalu tanpa izin ia langsung membuang surat ancaman ke dalam tong
sampah. Aku bahkan belum membaca semuanya! Jangan salah paham, aku bukannya
menyukai semua teror surat-surat ancaman tak jelas itu, aku hanya sangat menyukai
membaca surat. Oh iya, aku belum tahu cowok ini siswa kelas berapa.
“Kak, kamu
kelas berapa?”,
“Gue kelas
XII-B. Jangan nanya dulu, gue lagi repot”, oh ternyata dia anak kelas XII-IPA
2.
“Ups, maap”,
jawabku bersalah.
Lalu kami
masuk ke dalam ruangan kelas kakakku. Kak Davin masih pingsan. Lama sekali sih
pingsannya? Aku duduk di lantai disamping kakakku. Sedangkan Ren mulai menyapu
bekas tanah dari cangkulnya tadi, juga jejak sepatuku yang menginjak darah kaki
kucing. Ia menyiramnya dengan air yang tadi dibawa dari toilet. Bersih. Hanya
dalam waktu sepuluh menit sudah bersih. Ren membawa semua peralatan
kebersihannya ke tempat semula. Kini ia sudah kembali ke ruangan ini. Oh Tuhan, akhirnya aku bisa pulang.
“Mana
handphone lo?”, dia menyodorkan tangannya padaku. Apa aku sedang ditodong?
“Gue mau
masukin nomor gue. Bukan yang lain!”, dia tahu saja pikiranku tadi.
“Aku lupa
membawa hapeku”, lalu dia mengeluarkan ponselnya dari saku seragamnya.
“Nih.
Masukin nomor hape lo.”, Ia menyodorkan ponselnya kepadaku. Untuk apa dia
meminta nomor ponselku? Nanti aku juga akan tahu untuk apa. Aku langsung saja
mengetik nomor ponselku.
“Arigatou”,
dia berbicara apa? Kemudian ia langsung mengangkat ponselnya. Menelpon ke
nomorku? Bagaimana kalau ayah yang mengangkat dan langsung memarahinya karena berpikir
Ren menculikku, mungkin?
“Halo.
Selamat malam. Maaf mengganggu tante. Saya Ren temannya Corn. Davin pingsan.
Banyak hal yang terjadi. Mereka akan saya antar pulang. Hmm, iya. Baiklah. Saya
akan mengantarkan dengan selamat.”, dia menyebutku Corn pada ibu? Omagaatt. Apa ibu langsung mengerti
kalau Corn adalah aku? Nada bicara Ren sangat kaku dan banyak jeda. Telepon
sudah ditutup. Padahal aku ingin menyapa ibuku.
“Ibu lo
bilang, gue harus cepetan nganterin kalian berdua pulang.”
“Berangkat
sekarang?”
“Ya.”
“Bagaimana
dengan kakakku yang pingsan?”, tanyaku ingin tahu kami pulang dengan motor atau
yang lain. Tidak muat kan bonceng tiga di motor?
“Gue bawa
motor. Tapi tenang, temen gue bawa mobil. Biar gue yang jadi supir mobil, dan
temen gue bawa motor gue pulang.”, teman? Sedari tadi ia tidak memberitahuku
kalau ia sedang bersama temannya. Lagipula, dimana temannya sejak tadi?
“Temen? Apa
temenmu juga orang baik?”, sungguh pertanyaan yang polos sekali! Kami membopong
kakakku keluar dari ruang kelas XI-A. Lalu melewati taman dan keluar melewati lobby. Akhirnya kami sampai di latar
parkir.
“Orang yang
baik tidak akan menyebut dirinya baik, kan? Lo harus percaya kita engga punya
niat jahat sedikitpun.”, Ren dan aku masih membopong kakakku menuju mobil sedan
dengan merk Corolla. Temannya sudah
duduk menunggu di atas bagasi mobilnya.
“Bro, bawa
motor gue pulang! Gue nganterin mereka pulang dulu.”, kemudian temannya
berbisik pada Ren. Aku tidak bisa mendengarnya.
“Oke Ren.
Cewek lo ini mirip sama masa lalu gue, ya?”, temannya mengarahkan matanya
padaku. Hah? Aku tidak mengerti. Tanpa menjawab ocehan temannya, Ren langsung
mengangkat Kak Davin ke jok belakang mobil. Aku masuk ke dalam jok di samping
supir. Sepanjang jalan kami hanya diam. Aku mengantuk sekali.
—000—
Tiba-tiba
saja aku sudah berada di kamarku. Apa aku ketiduran? Apa Ren sudah pulang?
“Kata Ren
semalam, kamu harus bangun pagi kan Nel?”, ibuku menepuk-nepuk kakiku. Aku
dibangunkan oleh ibu. Semalam? Apa sekarang sudah pagi? Aku melihat ke jam
bekerku. 05:10. Gawat gawat gawat. Aku hanya punya waktu dua puluh menit untuk
bersiap-siap. Aku sudah janji pada Ren untuk datang ke sekolah sebelum jam
setengah enam. Aku langsung berlari ke kamar mandi hanya mandi bebek. Setelah sepuluh
menit mandi, aku berpakaian. Aku langsung bergegas menuju halte bis. Menunggu
bis sekolah. Sayang sekali, bis sekolah datang lebih siang. Sepertinya aku
harus menaiki angkot dan melewati rute yang terjebak macet. Akhirnya aku sampai
di sekolah. Telat sepuluh menit dari waktu awal aku berjanji dengan Ren. Aku
menunggu di pinggir lapangan, dekat dengan gerbang sekolah. Dia datang.
Bagaimana bisa orang yang menyuruhku datang pagi, justru ia yang lebih
terlambat?
“Ikut gue
Corn.”, tanpa tahu kemana ia akan membawaku, aku berjalan di belakangnya.
“Iya.”, aku
dibawa ke halaman belakang sekolah. Ada pohon mangga yang tinggi dan………………. Lubang galian kecil. Padahal halaman belakang
sekolah kami banyak dipenuhi rerumputan. Tapi mengapa ada lubang galian yang
belum ditutup?
“Itu
semalem gue yang menggali. Buat nguburin potongan tubuh kucing. Inget kan gue
bawa cangkul penuh tanah semalem?”, Ren menunjuk lubang galian itu. Potongan
tubuh kucing? Apa Ren mengalami teror yang sama seperti Kak Davin? Omong-omong,
hari ini Kakakku tidak sekolah. Badannya panas demam sejak semalam. Makanya aku
berangkat sekolah sendiri. Tambahan, kalau Kak Davin tahu aku berkomunikasi
seperti ini dengan orang lain, ia pasti berlagak sangat sok protektif padaku.
“Aku inget.
Tapi Ren, apa kamu juga diteror kayak kakakku?”, tanyaku menyelidik.
“Bukan gue
yang diteror, tapi temen gue yang semalem itu. Terornya mirip banget kayak
teror yang kakak lo dapet. Dan gue langsung lari dari lantai dua ke lantai satu
setelah denger lo teriak minta tolong”, oh ternyata temannya yang mendapatkan
teror. Sekarang aku tahu, semalam ia berlari dari lantai dua karena mendengar
teriakan minta tolongku. Sekadar info, tata ruangan kelas sepuluh, sebelas dan
dua belas tidak berurutan. Kelas sepuluh berada di lantai tiga. Kelas sebelas
berada di lantai satu. Sedangkan kelas dua belas berada di lantai dua. Aneh bukan?
“Kalo
temenmu yang kena teror kenapa kamu yang menguburkannya?”, aku memperhatikannya
yang sedang menutup lubang tersebut dengan tangannya.
“Temen gue
alergi kucing. Itu sebabnya gue yang bantuin dia. Dia anak kelas XII-B juga,
sekelas sama gue.”, cowok ini benar-benar setia kawan.
“Kamu mau
ngasihtau aku tentang hal apa?”, seperti biasa, rambutku diikat kuda dengan
karet rambut berwarna hijau. Sedangkan cowok ini rambutnya seperti artis Vidi
Aldiano.
“Gue tahu
siapa yang ngasih kakak lo surat ancaman. Tapi gue ngga tau siapa yang menulis
ancaman buat lo pake darah di cermin toilet cewek.”, ia menjelaskan sambil
mencuci tangan di keran yang menempel pada dinding pembatas antara halaman
belakang sekolah dengan rumah penduduk.
“Tolong
kasihtau aku. Siapa pelakunya!”, tanyaku menuntut.
“Dengan
beberapa syarat lagi.”, dasar cowok pembawa cangkul yang terlalu penuh
persyaratan! Dia bahkan mengatakan itu dengan nada datar.
“Kenapa
pake syarat terus?”, aku mulai kesal.
“Kalau ngga
mau yaudah. Terserah lo.”, Oh Tuhan! Apa
orang sejenis dia sangat banyak di dunia ini? Pasti merepotkan jika ingin
mengetahui sesuatu harus dengan syarat tertentu. Aku mengalah lagi, demi
mengetahui pelaku iseng dibalik surat ancaman untuk kakakku aku siap menerima
syaratnya.
“Aku akan
ikutin syaratnya. Apa?”, entah kenapa perasaanku mendadak jadi tak enak begini.
“Syarat
pertama, jangan jauh-jauh dari gue kalo di area sekolah. Karena mungkin lo bisa
celaka seperti yang dituliskan di cermin semalem. Kedua, lo harus bantuin gue
mengungkap misteri dibalik insiden setahun lalu. Dan yang terakhir……….”,
sungguh syarat yang terlalu banyak dan sulit untuk kujalani! Tiga syarat,
bayangkan jika kalian yang mengalami ini! Orang yang baru kalian kenal langsung
menyuruh seenaknya. Hanya demi sepatah informasi yang ia punya! Memangnya dia
siapa? Temanku? Sahabatku? Kakekku? Dia lebih mirip nenek-nenek tukang
mengatur!
Karma
memang ada, kemarin aku baru saja bersumpah dalam hati kalau aku tidak ingin
mencari tahu tentang insiden setahun lalu yang misterius itu. Mengapa sekarang
aku justru terjebak ke dalamnya?? Mengapa hidupku penuh liku-liku seperti
jalanan di pegunungan?
“A-Apa
syarat yang terakhir?”, tanyaku dengan jantung yang meloncat-loncat karena
takut mendengar syarat yang satu ini.
“Yang
terakhir, lo harus jaga jarak sama kakak lo kalo di sekolah. Karena.………..”, wusshhh setelah ia mengatakan kalimat terputusnya itu,
seperti ada angin yang menghantamku bertubi-tubi. Memang karena apa?
~Bersambung~
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Halo halo halooooooo pembaca dimanapun kamu berada! ^o^
Maaf ya bagi yang udah nungguin kelanjutan mini story-ku. Agak macet tanggal rilisnya, soalnya aku baru sembuh dari sakit demam selama lima tahun! *Astaghfirullah engga lah* Cuma lima hari kok :D
Selamat membaca part kedua ya! Kalo kepanjangan harap maklum, aku lagi haus menulis hoho :p
Halo halo halooooooo pembaca dimanapun kamu berada! ^o^
Maaf ya bagi yang udah nungguin kelanjutan mini story-ku. Agak macet tanggal rilisnya, soalnya aku baru sembuh dari sakit demam selama lima tahun! *Astaghfirullah engga lah* Cuma lima hari kok :D
Selamat membaca part kedua ya! Kalo kepanjangan harap maklum, aku lagi haus menulis hoho :p
Seperti biasa tolong tinggalkan jejak di kolom komentar!
Terima kasih~ See you next part!
Sincerely,
Airayase Shiina ^^
tampilan webnya dibagusin lagi donk ra
BalasHapusiyaaa belom sempet hehehe ini siapa? kenapa di anonim><
Hapusemngnya dilarang ya kalo gk ngasih tau identitas diri sendiri? :v
Hapusenggak dilarang kok. cuma suka suka gue aja. problem? :v
Hapus