Posted by : Airayase Shiina 15 Nov 2014



Cornela Rahwana

       Jarakku dengan sosok ini hanya satu meter. Kini badanku kembali gemetar. Aku menahan napas akibat ketakutanku yang menjadi-jadi. Siapa sosok ini? Tukang kebun, kah? Atau mungkin hantu penunggu sekolah ini? Postur tubuhnya memang sangat mirip setan yang sangat populer; gondoruwo. Bisa saja kemungkinan lainnya. Oh! Mungkinkah sosok hantu penasaran siswa X yang meminta pertolongan padaku agar insiden setahun lalu yang melibatkannya segera ditelusuri? Kalau bukan siswa X, pasti siswa Y. Saat ini si gondoruwo tidak bergerak sedikitpun. Apa yang ia inginkan dariku? Aku bahkan tidak tahu soal riwayat hidupnya sebagai siswa X atau siswa Y. Oke, singkirkan semua dugaan konyol itu.
Cangkul di tangannya menempel serpihan-serpihan tanah yang masih basah lalu tanah-tanah itu berjatuhan ke lantai. Memangnya dia habis melakukan apa? Hingga cangkulnya dipenuhi tanah begitu? Gawat, suasana jadi semakin mencekam. Aku yakin, wajahku tidak imut lagi dalam situasi-aku-sedang-berada-seperti-di tengah-film-horor- ini.
Oh tidak. Semoga saja dugaanku yang ini salah. Sosok ini bukan makhluk astral atau sejenis keluarga gondoruwo, melainkan adalah pembunuh bayaran! Aaaaaaaaa rasanya aku ingin berteriak sekeras mungkin jika dugaanku ini benar seratus persen. Tapi sebaiknya aku diam, tenang dan melihat sekelilingku. Lantai ruangan ini jadi kotor karena tanah yang dibawa oleh sosok ini, juga darah kucing yang sempat menempel di sepatuku. Ruangan kelas XI-A (nama lain dari kelas XI-IPA 1, di sekolahku memang memakai nama lain untuk tiap kelas, biar lebih mudah diucapkan.) lumayan luas dengan pajangan slogan-slogan penyemangat belajar, patung alat pencernaan manusia, serta jendela di sisi kanan dan kiri ruangan ini. Aha! Bisa saja aku melarikan diri melalui jendela itu—jendela yang berada tepat di atas kepala kakakku yang belum juga sadar. Tapi aku tidak akan kuat menggendong kakakku meloncati jendela. Apalagi kalau sampai sosok aneh di depanku ini bisa menangkapku bisa gawat. Bagaimana ini?
Gondoruwo di depanku masih saja tidak bergerak. Apa sosok ini menungguku sedikit lengah, lalu aku akan Blassss! Dihantam, dibunuh lalu dimutilasi hingga menjadi potongan kecil-kecil seperti kaki kucing tadi dengan cangkulnya? Kemudian potongan tubuhku akan ada di supermarket dan dijual dengan harga yang sama dengan daging ikan salmon? Tidak mungkin. Aku tidak akan membiarkan semua khayalan mengerikan itu terwujud. Potongan tubuhku akan mirip seperti apa ya? Daging ayam atau daging sapi? Oh tidak pasti mengerikan. Mengapa aku sudah berpikir seperti apa dagingku nantinya? Aku sangat frustasi. Masalahnya adalah saat ini aku tidak tahu cara untuk melarikan diri selain melalui jendela. Aku melihat jam digitalku; 18:30. Oh ibu, maafkan aku pulang telat. Saat ini aku sedang dalam situasi mengerikan, Bu. Tolong jemput kami di sekolah sekarang, kakak pingsan. Andai aku bisa menulis sms agar bisa keluar dari jebakan sang pembunuh ini, hanya saja aku memang pelupa. Aku tidak membawa handphoneku. Musnah sudah harapanku untuk terbebas dari kondisi sangat menyeramkan ini.
Demi semua potongan daging ikan salmon! Aku jadi sangat kepingin buang air kecil (Rupanya sejak menunggu kakakku di taman tadi, aku memang menahan hasrat membuang air kecil). Sungguh memalukan jika aku meminta sosok ini menemaniku ke toilet, kan? Baiklah akan kutahan saja hingga sampai di rumah. Meski aku sendiripun tidak tahu sampai kapan aku akan berada disini.
Hening. Dalam kegelapan akibat mati lampu, kami bertiga yang berada di dalam ruangan ini hanya saling diam. Aku mengamati sosok di hadapanku dengan mataku yang melotot. Aku hendak membuka mulutku—setidaknya untuk berteriak meminta tolong kepada siapapun yang masih ada di area sekolah atau meminta agar sosok ini tidak membunuhku.
“To-to-tolong ja-ja-ja-jangan bunuh saya pak gondoruwo!”, aku bukannya berteriak meminta tolong malah mengucapkan kalimat pertamaku padanya! Ternyata aku bisa seberani ini.
“Untuk apa gue ngebunuh lo? Kurang kerjaan. Lo lagi ngapain disini?”, mengejutkan, tiba-tiba sosok itu mengeluarkan suaranya yang terdengar seperti cowok normal—agak berat dan bass. Bagaimana aku menjawabnya? Aku kan tidak tahu cara mengobrol dengan orang lain selain keluargaku dan guru di kelas tentu saja. Kalau yang tadi hanya kenekatanku saja untuk memulai percakapan. Habis, hening sekali suasananya. Asal tahu saja, tidak enak ber-hening-hening-ria seperti tadi. Hawa disini juga semakin dingin saja.
“Emmm…. Sem-sem-bu….nyi”, jawabku terbata-bata. Sosok ini meletakkan cangkulnya di dinding belakangku. Aku bisa mencium bau sosok ini. Benar-benar bau tanah.
“Sembunyi dari apa? Tolong jawab sedetail mungkin.”, apa dia tidak sadar aku bersembunyi karena dia datang dari lantai dua dengan cara mistis dan cukup ajaib? Dia juga seenaknya saja menyuruhku bercerita panjang lebar! Tambahan, nada suaranya itu benar-benar datar. Dia menyuruhku menjelaskan secara detail, tapi dia terlihat tenang seperti sudah mengetahui apa yang terjadi padaku dan kakakku. Siapa dia? Untuk apa dia menginterogasiku? Mencurigakan. Aku ingat nasihat orang bijak: Jangan mudah percaya pada orang yang baru kau temui, penampilan bisa saja menipu. Yang terlihat baik, mungkin saja jahat. Begitupun sebaliknya. Tapi aku hanya seorang Cornela Rahwana. Aku tidak bisa menilai seseorang dari luarnya—apalagi mengenalnya lebih jauh untuk tahu sifat aslinya karena aku belum pernah berteman sebelumnya.
Singkatnya, aku tidak bisa menyimpulkan orang ini dalam kategori penampilan baik atau penampilan buruk, kepribadian baik atau buruk. Apalagi dia sangat misterius. Baiklah akan aku jelaskan padanya. Semuanya. Ini akan menjadi langkah awalku untuk berkomunikasi dengan orang lain. Saat aku akan mulai bercerita, orang ini menyela terlebih dulu.
“Sorry, gue perkenalin diri dulu biar lo percaya. Nama gue Ren. Gausah takut lagi ya adek kecil, gue bukan ‘pak gondoruwo’. Gue manusia normal sama kayak lo.”,  kata ‘pak gondoruwo’ ditekankan olehnya dengan nada mengejekku. Oh Tuhan, aku merasa bersalah telah mengira sosok ini gondoruwo ataupun pembunuh. Namun, aku tidak terima dipanggil adik kecil olehnya! Memangnya sejak kapan aku menjabat sebagai adiknya?
“Aku bukan adek kecilmu! Aku punya nama juga! Namaku Corne--”, tiba-tiba saja dia memotong ucapanku lagi. Menjengkelkan!
“Tidak penting siapa namamu. Cepat ceritakan detailnya.”, baiklah aku memang manusia yang tidak penting, bahkan orang yang baru saja mendapat gelar ‘orang asing pertama yang aku ajak berkomunikasi’ ini tidak sudi mendengarku mengucapkan namaku. Darimana aku harus bercerita? Aku tidak perlu menceritakan sejak menunggu kakakku kan? Ya, tentu saja tidak perlu.
“Di loker kakakku terdapat dua potong kaki kucing yang masih mengalirkan darah segar, lalu kakakku pingsan setelah melihatnya. Dia seorang hematophobia”, apa ini terlalu singkat, ya? Aku ingin melihat reaksi orang ini terlebih dulu. Ren duduk di depanku, lalu hanya mengangguk-anggukan kepalanya sambil mengamati dan memeriksa keadaan tubuh kakakku yang terbaring.
“Hanya segitu kemampuanmu dalam bercerita? Tolong lebih lengkap, Corn.”, Ada apa dengan namaku? Jadi terdengar sangat lucu dipanggil begitu. Corn dalam bahasa Inggris kan artinya jagung. Aku seperti jagung? Dasar cowok tukang kebun, hanya tahu tentang jagung dan teman-teman si jagung! Hahahaha aku jadi ingin tertawa!
“Tadi saat aku menunggu kakakku setelah rapat osis, tiba-tiba mati lampu dan aku sangat ketakutan. Ketika kakakku datang, ia terlihat sangat pucat dan ia bilang di lokernya terdapat tumpukan surat ancaman yang ditulis dengan tinta merah. Saat kami periksa, ada dua kaki kucing yang terpotong dan darahnya mengalir dari lokernya.”,  akhirnya aku menceritakan padanya sejak menunggu kakakku. Aku menyelesaikan ceritaku seperti dikejar-kejar kereta. Mau bagaimana lagi? Ini tidak bisa ditahan lagi. Aku kepingin buang air kecil. Sudah di ujung tanduk! Sudah kebelet kalau kata adikku.
“Gausah ngebut ceritanya, bisa ga sih?”, cowok ini sangat sok memerintah! Ia tidak paham kondisiku.
“Ma-maap deh kalo kecepetan, bisa minta tolong?”, Ibu maafkan aku, aku tidak bisa menikah lagi kalau meminta ditemani cowok asing ke toilet. Tapi aku sudah tak kuat menahannya. Aku pasti ketakutan jika harus ke toilet sendirian saat gelap begini. Haduuuhh memalukan sekali kamu, Nela!
“Apa? Jangan merepotkan gue!”, jawabnya sadis.
“Yaudah aku sendiri aja. Tolong jaga kakakku!”, aku segera berlari menuju toilet di dekat tangga. Bagaimana kalau ada hantu yang sesungguhnya? Kalaupun terjadi, aku akan melempar hantu itu dengan gayung! Aku sudah tiba di depan toilet perempuan. Gelap. Aku harus berani.
“Corn, lo berani ngga?”, tiba-tiba saja suara Ren mengagetkanku. Bagiku, kejujuran adalah hal yang paling utama. Aku sangat takut masuk ke toilet yang hitam tak bercahaya di dalam sana.
“Engga.”, jawabku malu-malu.
“Nih, gue bawa senter. Ambil, buat pencahayaan di dalem toilet…”, apa orang ini selalu siap sedia? Sampai-sampai membawa senter tepat di saat mati lampu begini.
“Makasih. Kamu bisa kembali ke ruang XI-A dan menjaga Kak Davin”,
“Oke.”, kemudian aku langsung masuk ke dalam toilet. Aku menyalakan senter. Disini, toilet perempuan (mungkin) lebih bersih daripada toilet laki-laki—aku pernah mendengar dari Kak Davin kalau toilet laki-laki sangat kotor dan bau—atau memang dimanapun seperti itu, ya? Ada empat bilik toilet. Aku masuk ke dalam bilik toilet paling dekat dengan pintu masuk (Aku kan takut kalau memilih bilik toilet paling ujung, katanya di bilik itu sering menjadi lokasi bullying dan cukup angker). Aku buang air kecil. Lalu aku keluar dari bilik toilet. Aku mengarahkan senter untuk penerangan jalanku. Dan tanpa sengaja, aku melihat cermin besar yang ada di ruangan ini; ada sebuah tulisan! Berwarna merah dan berbau anyir seperti…… Darah? Sungguh kakiku lemas setelah membaca ini. Aku hanya bisa menahan ketakutanku.
Hai korbanku yang tercinta! Kau akan mati. Pilih: jadi korban pertama atau terakhir? Jangan beritahu tulisan ini pada siapapun.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”, aku berteriak. Siapa yang menuliskan kalimat mengerikan itu? Apa salahku? Aku menutup mataku, lalu menangis perlahan.
“Lo kenapa di dalem, Corn? Ada kecoa?”, suara Ren menyadarkanku dari luar toilet perempuan. Aku tidak ingin menjawab pertanyaannya. Tunggu, apa sedari tadi orang itu menungguku di depan toilet? Kalau tidak, bagaimana ia bisa mendengar teriakanku yang tidak terlalu kencang?
“Gue masuk kesana boleh ngga? Gue cuma mau meriksa keadaan lo aja”, sepertinya orang ini benar-benar tidak tahu area khusus perempuan, ya? Ini kan toilet perempuan! Aku semakin malas menanggapi omongannya. Kemudian dia langsung berada di dalam toilet! Masa bodolah. Dia langsung melihatku yang sedang berdiri kaku. Ups. Tulisannya belum kuhapus. Dia mungkin melihat tulisannya. Karena aku masih mengarahkan senter ke tembok di belakang cermin—kalau aku mengarahkan langsung ke cermin akan memantul dan membuat silau mata, kan?
“Ngapain pake acara takut sama kecoa? Corn, lo kok diem aja?”, dia seperti orang gila yang melakukan pembicaraan sendirian sambil marah-marah. Ia membaca tulisan itu.
“Hai korbanku yang tercinta! Kau akan mati. Pilih: jadi korban pertama atau terakhir? Jangan beritahu tulisan ini pada siapapun. Tulisan apa ini?? Lo pasti shocked abis baca tulisan ini. Gue mau bersihin tulisan ini terus bersihin bercak darah di kelas kakak lo.”, katanya sambil membawa gayung berisi air. Ia menyiram cermin itu. Tulisan disana langsung lenyap. Aku takut ancaman dalam tulisan itu benar-benar terjadi. Kalau dipikir-pikir lagi, aku mendapat teror ancaman sama seperti kakakku. Hanya saja bagiku, ancaman untukku lebih mengerikan. Di dalam toilet perempuan dan ditulis di cermin dengan kata-kata yang lebih kasar! Aku menghadapinya seorang diri tadi. Tentu saja aku kaget dan tidak menyangka. Sedangkan kakakku menghadapinya bersamaku. Tapi kakakku juga tak kalah terkejut daripada aku, hingga pingsan.
“Pu-pulang. Tolong antarkan aku dan kakakku pulang. Kumohon…..”, aku memohon pada orang ini demi keselamatanku dan kakakku. Ibu dan ayah kami pasti khawatir jika kami pulang lebih malam lagi.
“Oke. Dengan satu syarat.”,
“Apa?”, aku seperti masuk ke dalam misteri yang terpancar dari orang yang baru kukenal ini.
“Besok datang ke sekolah lebih awal, sebelum jam setengah enam.”,
“Hah? Memangnya aku tukang sapu sekolah?”,
“Pffffttttt huahahahahaha huahahaha. Bukan lah. Kalo lo emang mau nyapu ya silakan aja. Tapi ini beneran penting.”, nada suaranya jadi serius setelah tertawa terbahak-bahak.
“Oke. Sebaiknya kita keluar dari toilet ini.”, kataku dengan suara hampir habis. Mungkin aku lelah, letih, lesu, lunglai—apa lagi ya L yang terakhir?. Intinya lima L itu membuat suaraku sampai serak begini.
Akhirnya kami keluar dari toilet. Dan berjalan bersebelahan menuju depan kelas kakakku. Ren membawa ember hitam beserta dengan gayung biru. Orang ini membuka loker kakakku. Lalu tanpa izin ia langsung membuang surat ancaman ke dalam tong sampah. Aku bahkan belum membaca semuanya! Jangan salah paham, aku bukannya menyukai semua teror surat-surat ancaman tak jelas itu, aku hanya sangat menyukai membaca surat. Oh iya, aku belum tahu cowok ini siswa kelas berapa.
“Kak, kamu kelas berapa?”,
“Gue kelas XII-B. Jangan nanya dulu, gue lagi repot”, oh ternyata dia anak kelas XII-IPA 2.
“Ups, maap”, jawabku bersalah.
Lalu kami masuk ke dalam ruangan kelas kakakku. Kak Davin masih pingsan. Lama sekali sih pingsannya? Aku duduk di lantai disamping kakakku. Sedangkan Ren mulai menyapu bekas tanah dari cangkulnya tadi, juga jejak sepatuku yang menginjak darah kaki kucing. Ia menyiramnya dengan air yang tadi dibawa dari toilet. Bersih. Hanya dalam waktu sepuluh menit sudah bersih. Ren membawa semua peralatan kebersihannya ke tempat semula. Kini ia sudah kembali ke ruangan ini. Oh Tuhan, akhirnya aku bisa pulang.
“Mana handphone lo?”, dia menyodorkan tangannya padaku. Apa aku sedang ditodong?
“Gue mau masukin nomor gue. Bukan yang lain!”, dia tahu saja pikiranku tadi.
“Aku lupa membawa hapeku”, lalu dia mengeluarkan ponselnya dari saku seragamnya.
“Nih. Masukin nomor hape lo.”, Ia menyodorkan ponselnya kepadaku. Untuk apa dia meminta nomor ponselku? Nanti aku juga akan tahu untuk apa. Aku langsung saja mengetik nomor ponselku.
“Arigatou”, dia berbicara apa? Kemudian ia langsung mengangkat ponselnya. Menelpon ke nomorku? Bagaimana kalau ayah yang mengangkat dan langsung memarahinya karena berpikir Ren menculikku, mungkin?
“Halo. Selamat malam. Maaf mengganggu tante. Saya Ren temannya Corn. Davin pingsan. Banyak hal yang terjadi. Mereka akan saya antar pulang. Hmm, iya. Baiklah. Saya akan mengantarkan dengan selamat.”, dia menyebutku Corn pada ibu? Omagaatt. Apa ibu langsung mengerti kalau Corn adalah aku? Nada bicara Ren sangat kaku dan banyak jeda. Telepon sudah ditutup. Padahal aku ingin menyapa ibuku.
“Ibu lo bilang, gue harus cepetan nganterin kalian berdua pulang.”
“Berangkat sekarang?”
“Ya.”
“Bagaimana dengan kakakku yang pingsan?”, tanyaku ingin tahu kami pulang dengan motor atau yang lain. Tidak muat kan bonceng tiga di motor?
“Gue bawa motor. Tapi tenang, temen gue bawa mobil. Biar gue yang jadi supir mobil, dan temen gue bawa motor gue pulang.”, teman? Sedari tadi ia tidak memberitahuku kalau ia sedang bersama temannya. Lagipula, dimana temannya sejak tadi?
“Temen? Apa temenmu juga orang baik?”, sungguh pertanyaan yang polos sekali! Kami membopong kakakku keluar dari ruang kelas XI-A. Lalu melewati taman dan keluar melewati lobby. Akhirnya kami sampai di latar parkir.
“Orang yang baik tidak akan menyebut dirinya baik, kan? Lo harus percaya kita engga punya niat jahat sedikitpun.”, Ren dan aku masih membopong kakakku menuju mobil sedan dengan merk Corolla. Temannya sudah duduk menunggu di atas bagasi mobilnya.
“Bro, bawa motor gue pulang! Gue nganterin mereka pulang dulu.”, kemudian temannya berbisik pada Ren. Aku tidak bisa mendengarnya.
“Oke Ren. Cewek lo ini mirip sama masa lalu gue, ya?”, temannya mengarahkan matanya padaku. Hah? Aku tidak mengerti. Tanpa menjawab ocehan temannya, Ren langsung mengangkat Kak Davin ke jok belakang mobil. Aku masuk ke dalam jok di samping supir. Sepanjang jalan kami hanya diam. Aku mengantuk sekali.
—000—
Tiba-tiba saja aku sudah berada di kamarku. Apa aku ketiduran? Apa Ren sudah pulang?
“Kata Ren semalam, kamu harus bangun pagi kan Nel?”, ibuku menepuk-nepuk kakiku. Aku dibangunkan oleh ibu. Semalam? Apa sekarang sudah pagi? Aku melihat ke jam bekerku. 05:10. Gawat gawat gawat. Aku hanya punya waktu dua puluh menit untuk bersiap-siap. Aku sudah janji pada Ren untuk datang ke sekolah sebelum jam setengah enam. Aku langsung berlari ke kamar mandi hanya mandi bebek. Setelah sepuluh menit mandi, aku berpakaian. Aku langsung bergegas menuju halte bis. Menunggu bis sekolah. Sayang sekali, bis sekolah datang lebih siang. Sepertinya aku harus menaiki angkot dan melewati rute yang terjebak macet. Akhirnya aku sampai di sekolah. Telat sepuluh menit dari waktu awal aku berjanji dengan Ren. Aku menunggu di pinggir lapangan, dekat dengan gerbang sekolah. Dia datang. Bagaimana bisa orang yang menyuruhku datang pagi, justru ia yang lebih terlambat?
“Ikut gue Corn.”, tanpa tahu kemana ia akan membawaku, aku berjalan di belakangnya.
“Iya.”, aku dibawa ke halaman belakang sekolah. Ada pohon mangga yang tinggi dan……………….  Lubang galian kecil. Padahal halaman belakang sekolah kami banyak dipenuhi rerumputan. Tapi mengapa ada lubang galian yang belum ditutup?
“Itu semalem gue yang menggali. Buat nguburin potongan tubuh kucing. Inget kan gue bawa cangkul penuh tanah semalem?”, Ren menunjuk lubang galian itu. Potongan tubuh kucing? Apa Ren mengalami teror yang sama seperti Kak Davin? Omong-omong, hari ini Kakakku tidak sekolah. Badannya panas demam sejak semalam. Makanya aku berangkat sekolah sendiri. Tambahan, kalau Kak Davin tahu aku berkomunikasi seperti ini dengan orang lain, ia pasti berlagak sangat sok protektif padaku.
“Aku inget. Tapi Ren, apa kamu juga diteror kayak kakakku?”, tanyaku menyelidik.
“Bukan gue yang diteror, tapi temen gue yang semalem itu. Terornya mirip banget kayak teror yang kakak lo dapet. Dan gue langsung lari dari lantai dua ke lantai satu setelah denger lo teriak minta tolong”, oh ternyata temannya yang mendapatkan teror. Sekarang aku tahu, semalam ia berlari dari lantai dua karena mendengar teriakan minta tolongku. Sekadar info, tata ruangan kelas sepuluh, sebelas dan dua belas tidak berurutan. Kelas sepuluh berada di lantai tiga. Kelas sebelas berada di lantai satu. Sedangkan kelas dua belas berada di lantai dua. Aneh bukan?
“Kalo temenmu yang kena teror kenapa kamu yang menguburkannya?”, aku memperhatikannya yang sedang menutup lubang tersebut dengan tangannya.
“Temen gue alergi kucing. Itu sebabnya gue yang bantuin dia. Dia anak kelas XII-B juga, sekelas sama gue.”, cowok ini benar-benar setia kawan.
“Kamu mau ngasihtau aku tentang hal apa?”, seperti biasa, rambutku diikat kuda dengan karet rambut berwarna hijau. Sedangkan cowok ini rambutnya seperti artis Vidi Aldiano.
“Gue tahu siapa yang ngasih kakak lo surat ancaman. Tapi gue ngga tau siapa yang menulis ancaman buat lo pake darah di cermin toilet cewek.”, ia menjelaskan sambil mencuci tangan di keran yang menempel pada dinding pembatas antara halaman belakang sekolah dengan rumah penduduk.
“Tolong kasihtau aku. Siapa pelakunya!”, tanyaku menuntut.
“Dengan beberapa syarat lagi.”, dasar cowok pembawa cangkul yang terlalu penuh persyaratan! Dia bahkan mengatakan itu dengan nada datar.
“Kenapa pake syarat terus?”, aku mulai kesal.
“Kalau ngga mau yaudah. Terserah lo.”, Oh Tuhan! Apa orang sejenis dia sangat banyak di dunia ini? Pasti merepotkan jika ingin mengetahui sesuatu harus dengan syarat tertentu. Aku mengalah lagi, demi mengetahui pelaku iseng dibalik surat ancaman untuk kakakku aku siap menerima syaratnya.
“Aku akan ikutin syaratnya. Apa?”, entah kenapa perasaanku mendadak jadi tak enak begini.
“Syarat pertama, jangan jauh-jauh dari gue kalo di area sekolah. Karena mungkin lo bisa celaka seperti yang dituliskan di cermin semalem. Kedua, lo harus bantuin gue mengungkap misteri dibalik insiden setahun lalu. Dan yang terakhir……….”, sungguh syarat yang terlalu banyak dan sulit untuk kujalani! Tiga syarat, bayangkan jika kalian yang mengalami ini! Orang yang baru kalian kenal langsung menyuruh seenaknya. Hanya demi sepatah informasi yang ia punya! Memangnya dia siapa? Temanku? Sahabatku? Kakekku? Dia lebih mirip nenek-nenek tukang mengatur!
Karma memang ada, kemarin aku baru saja bersumpah dalam hati kalau aku tidak ingin mencari tahu tentang insiden setahun lalu yang misterius itu. Mengapa sekarang aku justru terjebak ke dalamnya?? Mengapa hidupku penuh liku-liku seperti jalanan di pegunungan?
“A-Apa syarat yang terakhir?”, tanyaku dengan jantung yang meloncat-loncat karena takut mendengar syarat yang satu ini.
“Yang terakhir, lo harus jaga jarak sama kakak lo kalo di sekolah. Karena.………..”, wusshhh setelah ia mengatakan kalimat terputusnya itu, seperti ada angin yang menghantamku bertubi-tubi. Memang karena apa?


~Bersambung~

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Halo halo halooooooo pembaca dimanapun kamu berada! ^o^
Maaf ya bagi yang udah nungguin kelanjutan mini story-ku. Agak macet tanggal rilisnya, soalnya aku baru sembuh dari sakit demam selama lima tahun! *Astaghfirullah engga lah* Cuma lima hari kok :D
Selamat membaca part kedua ya! Kalo kepanjangan harap maklum, aku lagi haus menulis hoho :p 

Seperti biasa tolong tinggalkan jejak di kolom komentar!
Terima kasih~ See you next part!

Sincerely,
Airayase Shiina ^^

{ 4 komentar... read them below or Comment }

  1. tampilan webnya dibagusin lagi donk ra

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaaa belom sempet hehehe ini siapa? kenapa di anonim><

      Hapus
    2. emngnya dilarang ya kalo gk ngasih tau identitas diri sendiri? :v

      Hapus
    3. enggak dilarang kok. cuma suka suka gue aja. problem? :v

      Hapus

- Copyright © 2013 Rain Fairy's Words - Airayase - Modified by BioSphere - Designed by Djogzs -