Archive for 2015

Mini Story: "Kehilangan atau Kematian" (Part 5)


Cornela Rahwana

“…………...Cewek korban insiden setahun yang lalu. Itu Jennifer.”,
APA??
            Perasaan kagetku ini lebih parah dari sekadar patah hati. Aku sangat tidak menyangka, Kakakku mengetahui keberadaan Jennifer. Disini, di sebuah rumah kosong bergaya Belanda. Oh Tuhan…. Mungkin sudah sejak lama Kak Davin berusaha menyembunyikan RAHASIA misterius ini! Saat mendengar nama ‘Jennifer’ disebut oleh suara pekat dan pahit milik Kak Davin, ada perasaan kosong dan sakit yang menjalar di seluruh tubuhku. Dilihat darimanapun, sorot mata Kak Davin menunjukkan kalau Jennifer adalah orang yang berharga baginya—fakta yang kuingat adalah mereka memang saling menyukai.
Tapi mengapa Kakakku bertindak sebegini bodoh? Maksudku, jika Jennifer memang seseorang yang berharga baginya, mengapa Kak Davin tidak memberitahukan keberadaan Jennifer pada pihak keluarga Jennifer ataupun pihak sekolah?? Tidakkah ada rasa kasihan terhadap keluarganya yang kehilangan jejak kematian Jennifer? Tindakannya itu bisa menjadikannya sebagai tertuduh kasus ini! Apalagi Kak Davin adalah ketua OSIS SMA Pusaka, jika semua pihak sekolah tahu, pasti akan memudar rasa kepercayaan padanya, atau bisa saja membenci Kakakku—sudah pasti nama baik keluarga kami akan terbawa jeleknya.
            Seluruh tubuhku bergetar sekaligus kaku di tempat. Banyak sekali pertanyaan yang ingin kutanyakan pada Kakakku. Apa dayaku, aku sudah tidak ada tenaga lagi bahkan untuk membuka mulut atau menggerakkan salah satu jariku. Saat aku mengedipkan mata, air mataku yang sedari tadi menggenang kini mengalir lagi. Dan bagaimana soal penyakit jantungku?
            “Nel, Lo baik-baik aja kan?”, aku tidak berniat menjawab. Apa aku terlihat baik-baik saja?! TIDAK. Jika aku memang baik-baik saja, pasti akan kujawab pertanyaan meremehkannya itu!
            Kak Davin melepaskan topi pet hitam dari kepalanya. Lalu topi itu mendarat di kepalaku. “Pulang yukk… Lupain tentang hari ini ya. Lo udah kecapean gitu Nel. Nanti gue jelasin selengkapnya dirumah deh. Janji!”, Kak Davin menambahkan, “Tapi…. Umm… tolong rahasiain dari Ayah, Ibu, juga dari Ren. Oke?”,
Aku yakin sekali, janjinya tadi itu hanya untuk menghiburku. Kak Davin hanya ingin membuatku pulang lalu melupakan tentang kejadian ini. Kemudian dia tidak memenuhi janjinya untuk menjelaskan semua ini padaku, karena ini memang RAHASIA untuk dirinya sendiri! Tapi aku tidak (terlalu) bisa dibodohi. Aku akan membuat Kak Davin menjelaskannya saat ini juga bagaimanapun caranya.
Kak Davin menarik tanganku yang baru kusadari, ternyata tanganku tengah memegang wajah mayat Jennifer. Dingin sekali. Aku sungguh merasa tak tega melihat mayat berbaring seperti ini—terlihat sangat menderita—dengan banyak bekas goresan di kedua lengannya. Seharusnya Jennifer dikuburkan dengan cara yang wajar seperti jenazah pada umumnya. Tapi mengapa dibiarkan begini hingga setahun lamanya? Lebih penting lagi, siapa pelakunya dan seperti apa modus pembunuhan ini?
            “Ng-nggak!”, akhirnya aku berhasil mengumpulkan tenaga di dalam suaraku. Meski masih dalam posisiku yang terpaku dan memandang kosong ke arah pinggiran peti mati.
            “Nggak apanya?”, jawab Kak Davin
            “Nggak mau pulang! Nggak usah pake janji mau jelasin di rumah! Emangnya Ibu dan Ayah nggak akan curiga?! Tolong ya, jangan seenaknya memerintah gue buat lupain kejadian hari ini!”, aku memuntahkan kekesalanku pada Kakakku ini. Bagaimana tidak? Aku bisa sampai ke tempat ini—dengan kelelahan tingkat tinggi—semua karena salahnya telah kabur dari rumah, mengendap-endap dan mencurigakan. Dan kini setelah aku mengetahui RAHASIA PRIBADINYA, aku diajak pulang begitu saja?? Ini bisa disebut ‘Kerja keras yang tidak membuahkan hasil’. Jelas aku tidak terima!
            “Tapi Dek, sakit jantung lo kambuh! Dan keadaan lo bisa makin parah kalo disini terlalu lama!!”, balas Kak Davin kencang.
            “Keadaan mayat Jennifer juga udah makin parah disini karena terlalu lama!”, aku tak mau kalah meniru intonasi suaranya yang ngotot sekali. ”Masa bodo’ dengan keadaanku!”, lanjutku.
            “Gue juga tau! Gue lebih tau!”, suara Kakakku jadi terdengar pesimis dan lemah.
            Aku mengatakan kalimat ini dengan nada menantang. “Nah kalo gitu jelasin aja! Gampang kan jelasin doang?”,
            “Gampang?! HAHA. Jangan menyebut hal yang paling gue sembunyiin sesulit dan se-mengerikan ini dengan kata ‘gampang’, Dek!”, harus kuakui, aku memang salah, telah menyebut hal ini tidak sulit untuk dijelaskan. Pasti berat bagi Kak Davin untuk menjelaskannya padaku—juga  pada orang lain. Tapi mau tidak mau, dia memang harus menjelaskannya disini. Kalau menjelaskan di rumah, dalam sekejap pasti akan terbongkar dan akan bertambah rumit. Karena ayah kami sangat tidak suka bila anak-anaknya membuat kesalahan yang fatal, seperti yang saat ini Kak Davin lakukan misalnya.
            “Oh”, aku sengaja hanya menjawab dengan ‘oh’ dengan nada datar seolah aku marah sekali padanya, untuk memancing orang di sebelahku ini. Biasanya, jika aku mengatakan kata keramat tadi, Kak Davin dengan cepat akan menjelaskan apapun itu dengan berusaha membuatku tidak marah lagi. Namun kali ini, Kakakku sedang keras kepala. Dia malah berjalan menuju pintu ruangan ini. Berniat pulang tanpaku, kah?
            Kak Davin berkata dan membuatku tersentak, “Sebaiknya lo mengangkat telepon masuk di handphone lo, Nel. Siapa tahu dari Ibu atau Ayah…. Gue mau ke lantai 1 dulu, nyari anak kecil yang tadi lo bilang”, aku bahkan tidak mendengar suara telepon dari kantung celana olahragaku.
            “Terus lo niat ninggalin gue sendiri disini, Kak?”,
            “Sebentar doang kok. Abis itu gue jelasin semuanya. Tunggu disini ya! Jangan keluar selangkahpun dari ruangan ini pokoknya! Oke?”, Akhirnya Kak Davin akan menjelaskan semua misteri ini padaku! Ada sedikit kelegaan yang aku rasakan saat ini....
            “Iya deh. Nggak boleh keluar, emang kena….pa?”, sebelum aku selesai mengucapkan pertanyaanku, kakakku pergi dan merapatkan pintu—untung ruangan ini tidak terlalu gelap, di setiap sudut ruangan ada sebuah lilin yang menyala yang membuatku tidak terlalu takut lagi. Sepertinya aku memang harus mengangkat panggilan teleponku dulu. Lumayan kan, ada teman mengobrol. Ya kalaupun dari Ibu, aku mungkin akan dimarahi habis-habisan.
            “Halo?”
            “……….”, tidak ada suara maupun jawaban.
            “Siapa ya?”, tanyaku pada sang penelepon bernomor rahasia—private number, itu kira-kira bahasa inggrisnya.
            Yang kudengar hanya sebuah rekaman lagu. Arti liriknya tentang sebuah drama percintaan. Hanya saja, lagu yang dinyanyikan sang penyanyi lokal ini sungguh mengerikan, meskipun yang kutahu tidak melebihi seramnya lagu ini di dalam film layar lebar…. Kuntilanak.
            “Lingsir wengi… Lingsir wengi sepi durung biso nendro… Kagodho mring wewayang… Kang ngreridhu ati… Kawitane… Mung sembrono njur kulino… Ra ngiro yen bakal nuwuhke tresno”
Seketika aku melemparkan ponselku. Siapa orang iseng dibalik panggilan telepon ini?! Tubuhku terasa bergetar, gemetar, dan semakin memaku. Bulu kudukku berdiri tegak. Sendirian di dalam ruangan gelap, di depanku ada seorang mayat beku, kemudian ditinggal oleh Kakakku, dan tiba-tiba ada lagu horor dari penelepon misterius!!
Aku buru-buru berlari ke arah pintu ruangan pengap ini. Aku membuka gagang pintu. Dan tidak bisa terbuka. Pintunya terkunci? Aku menggebrak-gebrakkan pintu dengan kedua tanganku.
Bruk Brukk!!!
Aku berteriak minta tolong pada Kakakku, “Kak Davin! Bukain pintunya!! Kak!! Jangan tinggalin gue di sini pliss!”, Gawat, aku ketakutan sekali. Apa yang dilakukan Kak Davin di bawah, sih?
Aku kehabisan tenaga dan semakin merasa lelah, kini aku duduk bersandar pada pintu. Lalu kudengar suara ponselku berdering. Anehnya, mengapa ponselku masih sanggup berdering lagi setelah kulempar sekeras mungkin. Padahal kukira ponselku rusak seketika, atau minimal isi ponselku terlepas semua. Aku mencari arah suara ponselku karena aku tidak tahu kemana arah ponsel itu mendarat. Aku menelusuri lantai. Di pojok ruanganlah suara itu berasal. Saat aku memegang ponselku dalam jarak aman (aku takut kalau harus mendengar lagu yang tadi lagi), tapi panggilan itu malah berhenti. Oh Tuhan, syukurlah bukan nomor pribadi lagi. Satu panggilan tak terjawab dari Ayah.
Baru saja aku menekan tombol buka kunci ponselku, benda itu berdering lagi. Membuatku kaget dan hampir melemparkan ponselku lagi. Kali ini dari Ibu.
            “Halo, Bu?”, aku memulai percakapan dengan suara tertahan.
            “Nela? Kamu dimana sih? Ibu khawatir sama kamu… Udah makan?”, ibuku langsung menjawab dengan cemas sekali.
            “Sebentar lagi Nela pulang kok. Belom makan hehe”
            “Iya, tapi kamu pergi kemana? Temen aja nggak punya, kan? Kamu juga nggak ikut ekskul apa-apa. Kamu nggak boleh kecapekan lho!”, sakit sekali rasanya jika ibuku berkata aku tidak memiliki teman. Tapi memang kenyataannya begitu. Dan memang benar aku tidak ikut ekskul apapun. Aku tidak punya alasan lain. Dan untuk beberapa alasan, aku tidak bisa mengatakan dimana aku saat ini.
            “Hmm…… Itu Bu… Aku…”, sungguh aku tidak berbakat bohong. Namun ada sesuatu hal yang ingin ku ketahui.
            “Kamu kenapa gagap begitu Nel? Kamu belom jawab pertanyaan Ibu, lho! Kamu dimana?”, aku mengabaikan pertanyaan dari Ibu.
            Lalu aku membalas bertanya, “Aku….Ingin Ibu memberitahuku tentang ini. Emangnya aku memiliki penyakit jantung ya, Bu? Seberapa parah?”, aku mendengar ibuku tersedak mendengar pertanyaanku.
“Ibu… Ibu kenapa? Lagi minum terus tersedak ya?”,tanyaku lagi.
            “Kamu sudah tahu rupanya…. Ya, Jantung koroner. Sangat parah.”, Ibuku menjawab lumayan singkat dan aku mendengar sedikit isak tangis Ibu di seberang panggilanku. Lalu sambungan telepon dimatikan. Jadi memang benar semua orang merahasiakan tentang penyakitku! Pantas saja, aku sudah tidak diizinkan lagi ikut lomba lari marathon sejak beberapa tahun lalu. Aku selalu bertanya-tanya mengapa pada saat jam olahraga di sekolah, napasku selalu tersengal-sengal, dadaku berdebar sakit, berkeringat dingin, hingga merasa ingin pingsan—kukira hanya kelelahan biasa, ternyata aku mengidap penyakit jantung.
Air mataku tak bisa berhenti begitu saja setelah mendengar pernyataan dari Ibu. Bukankah menyakitkan jika menjadi satu-satunya orang yang PALING TIDAK MENGETAHUI kelemahan pada kesehatan diri kita sendiri?! Menyedihkan sekali diriku ini, sampai aku harus menangis berkali-kali dan membuat Ibu menangis. Aku menyeka air mataku menggunakan punggung tangan. Aku berdiri, lalu mendekati peti mati tempat mayat Jennifer tertidur selamanya.
Ya, saat ini aku harus fokus pada misiku untuk mengungkap misteri tentang gadis ini. Sang korban sendiri sudah berhasil ditemukan oleh sang detektif! Dan kini sudah berada di hadapanku.
Pasti ada beberapa petunjuk jika aku memeriksa tubuh Jennifer! Aku harus melakukan ini sendiri tanpa ketahuan Kak Davin, karena bagaimanapun, seorang detektif profesional tetap harus mewaspadai orang di sekitarnya agar semua misinya sukses. Tapi aku bukanlah detektif sesungguhnya—jadi tentu saja aku butuh orang lain yang membantuku. Hmm, biar aku mencari kandidat siapa yang akan mau membantuku dan dapat dipercaya?
Tunggu dulu, jika dipikir-pikir, apa sejak awal aku sendirilah yang ingin mengetahui semua rahasia dibalik insiden ini? Sepertinya tidak. Biar kuingat-ingat lagi. Aku tidak pernah berniat menyelidiki tentang ini, jangankan menyelidiki, niat mencari tahu (walau sedikit) saja aku tidak punya. Lalu karena siapa aku melakukan hingga sejauh ini? Karena Kak Davin? Mungkin. Tapi rasanya bukan. Karena….Ren? Ya! Pasti sejak kejadian pertengkaran kami (awalnya karena Ren mengaku dirinya telah lama mengenalku dan aku marah padanya) di halaman belakang sekolah, yang mengakibatkan aku memiliki tekad baja untuk mencari tahu seorang diri—tanpa bantuan Ren—tentang pelaku dibalik surat ancaman loker, ancaman cermin, dan mayat kucing mutilasi. Serta membuktikan kalau Kak Davin tidak bersalah.
Tidak, tidak, bukan begitu alasan secara tepatnya. Tentu saja yang paling mendasar yang membuatku mulai tergiur untuk menyelidiki hal ini adalah syarat kedua Ren untuk memintaku untuk membantunya mengungkapkan insiden setahun lalu. Bukannya aku mudah tergiur lho, tapi kurasa memang ada benang merah antara ancaman yang aku dan Kak Davin terima dengan insiden ini. Dugaanku saat ini adalah: Ren juga memiliki beberapa bukti akurat, yang membuatnya ingin menyelidiki kasus ini. Mungkin selanjutnya kami harus bertukar bukti.
Kembali pada kenyataan di depan mata. Aku mengusap kening Jennifer yang tertutup beberapa bunga mawar hitam, terlihatlah beberapa bekas goresan—seperti bekas sayatan pisau atau bekas benda tajam lainnya. Berhubung Jennifer memakai long dress hitam berlengan pendek sehingga dengan jelas aku bisa melihat luka lebam berwarna biru dan mungkin bekas cambukan yang sangat parah, kini membeku.
Aku mengangkat sedikit (sungguh, cuma sedikit kok!) ujung gaun yang dipakai Jennifer, ada sebuah tulisan dari tinta hitam di betisnya. Bodohnya, aku tidak bisa membaca tulisan itu karena menyerupai kode-kode aneh. Yang bisa ku mengerti hanyalah ada angka. 12154. Angka macam apa itu? Bisa saja format tanggal. Bukankah biasanya minimal ada 6 digit angka pada format tanggal dan lengkapnya ada 8 digit, ya, kan? Karena takut lupa, aku berinisiatif mencatat kode-kode itu di buku tulisku dengan cara aku menirukan gaya penulisannya. Aku mengambil sebuah lilin besar di pojok ruangan untuk penerangan. Lalu aku mulai menulis.
Demi semua raja kegelapan, belum selesai aku menulis semua kode aneh itu, kepalaku tiba-tiba gelap, pusing dan dadaku terasa tertekan,  nyeri sekali………..
---000---
Aku mencium aroma bau rumah sakit. Siapa yang sakit? Perlahan aku membuka mata. Silau sekali. Kini aku menyadari tubuhku terbaring di sebuah kasur putih. Ah, aku lah orang sakitnya. Ya, tentu sakit jantung yang parah. Di sebelah kiriku ada seorang perawat yang tengah memeriksa kondisiku. Di tangan kiriku telah menempel selang infus. Kapan aku dibawa kesini? Aku langsung bangun dan hendak berdiri, tapi aku terjatuh kembali ke kasurku. Rasanya aku sangat tak berdaya dan itu sungguh tak enak. Baru kali ini aku harus dirawat di rumah sakit—aku selalu takut dan menolak, setiap kali diajak pergi ke rumah sakit.
Ohiya! Tadi aku sedang meneliti mayat Jennifer. Aku juga harus meminta semua penjelasan dari Kak Davin. Tapi sekarang apa yang kualami? Aku dirawat di rumah sakit entah di daerah mana. Penyelidikanku yang hampir sukses jadi gagal begini.
               “Udah sadar ya?”, tanya sebuah suara dari arah bawah tempat tidur besi yang menopang tubuhku.
            “Mungkin”, jawabku lemah. Sambil menggerak-gerakkan tubuhku seperti gerakan pemanasan olahraga.
            “Jangan bergerak banyak, Corn!”, hanya satu orang yang selalu memanggilku begitu. Setelah perawat pergi, aku menjulurkan kepalaku ke bawah kasur.
            Ada seorang disebelah kanan kasurku. Sedang menggelar karpet, lalu duduk diatasnya.
“Ren?!”,
            “Yap. Berharap orang lain, ya?”, tanya cowok itu  meledek.
            “Enggak terlalu sih. Tapi kenapa mesti kamu?”,
            “Karena gue dapet telepon dari seorang cewek bernama Cornela”, aku terkejut mendengar ucapannya.
            “Hah?! Aku yang menelepon?! Kamu yang membawaku kesini? Bagaimana bisa? Padahal kan tadi aku ada di….….”, lalu orang ini memotong pembicaraan.
            “Jangan bahas hal itu disini!”
            Ups. Benar juga. Tidak aman membahas hal itu di tempat umum begini.
            “Lewat sms?”, tanyaku padanya. Ren hanya mengangguk. Aku langsung mengirim pesan.
            Ceritakan sejak aku pingsan!
Ren membaca sms dariku. Lalu mengetik jawaban. Satu menit kemudian ada sms masuk ke ponselku.
            Gue nggak tau apa yang lo lakuin di rumah kosong itu. Saat gue dateng, gue menemukan lo pingsan di depan pintu masuk rumah no.729. Lengkap dengan tas dan plastik berisi seragam lo. Gue membuka pintu rumah itu, tapi terkunci. Karena khawatir banget sama keadaan lo, tanpa pikir panjang gue langsung membawa lo ke RS ini.
            Oh Tuhan, bagaimana bisa? Aku di depan pintu masuk rumah Belanda itu? Yang benar saja! Aku jadi tidak tahu harus percaya pada Ren atau tidak. Bisa saja dia mengarangnya. Dan Kak Davin? Dimana Kak Davin saat itu? Haruskah aku menanyakan Kakakku pada Ren?
Tanganku bergetar mengetik sms ini.
            Apa saat itu ada Kak Davin?
Sms masuk lagi.
            Jadi saat itu lo sama Kakak lo??!! Maksud lo, yang kemarinan lo menyuruh gue meriksa kamar Davin ternyata dia melarikan diri ke tempat itu?
Oke, sudah jelas Ren tidak tahu disana aku sedang bersama Kakakku. Seratus poin untuk Ren karena sangat jeli mengobservasi situasi.
            “Ya.”, jawabku tanpa mengirim sms lagi.
            “Tapi tadi Davin kesini dan bertingkah seperti biasa. Seolah dia nggak tahu apa-apa yang terjadi sama lo. Sebaiknya sekarang lo istirahat aja. Nggak usah dipikirin dulu untuk saat ini. Oke?”, Ren menyaranku untuk berisitirahat. Padahal, otakku sangat sulit untuk berhenti bertanya ‘Kemana Kakakku saat aku pingsan? Menelantarkanku di depan pintu masuk? Keterlaluan jika memang dia tega padaku.’
            “Ohiya, kemarin lo dapet surat sanksi karena pergi ke kantin Kamis sore.”, ini semakin tidak lucu. Siapa yang melaporkanku telah melanggar peraturan aneh itu?? “Kan udah gue bilang, jangan jauh-jauh dari gue kalo di sekolah!”, tambahnya.
            “Memang ini hari apa, Ren?”,
            “Hari Sabtu pagi…”, berarti sudah dua hari aku di rawat disini. Setelah mendengar jawabannya itu aku langsung berbaring lemas. Aku hanya bisa menatap ke arah piyama putih khas rumah sakit ini. Lalu kupejamkan mataku.
Sebaiknya aku tidur saja.
---000---
Syukurlah aku sudah sehat lagi. Baru tadi pagi aku terbebas dari rumah sakit menyebalkan itu. Hari ini adalah hari minggu. Saatnya aku berlibur! Ya, tentu saja aku sedang menjalani liburan…….di rumah! Habis, mau liburan kemana dengan keadaan lemah jantung seperti ini? Lagipula, besok aku harus menerima sanksi untuk membersihkan toilet sekolah. Hanya membayangkannya saja, membuatku malas melakukan pekerjaan kotor itu.
“Nela! Sini!”, dari arah kamarnya, Kak Davin memanggilku. Aku langsung menurutinya dan berjalan menuju ke kamarnya.
“Kenapa Kak?”, tanyaku polos. Seketika aku ingat utangnya untuk menjelaskan semuanya padaku. “Mau bayar utang penjelasan, kan?”, tanyaku lagi.
“Iya. Buruan makanya!”, perintahnya. Aku duduk di bangku belajarnya yang menghadap ke arah jendela.
Kak Davin berkata lagi, “Langsung aja ya, mumpung Ayah, Ibu dan Ena lagi pergi ke Indomaret.”, “Sebelumnya gue minta maaf karena nggak tahu lo ada di depan pintu rumah itu dalam keadaan pingsan karena jantung lo kambuh. Gue baru tahu dari Ren semalem. Bener deh hari itu, pas gue ke lantai 1 rumah itu, ada yang memukul gue kencang dari belakang. Gue pingsan seketika. Sebelum gue pingsan seratus persen, gue denger lo gebuk-gebuk pintu di lantai 3 sambil teriak manggil nama gue, kan? Nah niat gue mau langsung kesana, ternyata tenaga gue abis duluan. Gue terkapar. Dan gue nggak tahu lagi keadaan lo di lantai 3.”
“Hmmm”, aku hanya bisa menjawab itu.
“Baru tadi malem di kamar rumah sakit tempat lo di rawat, Ren menginterogasi gue secara langsung. Dia nanya banyak banget ke gue.”
“Oke, nanti gue konfirmasi ke Ren gimana jawaban lo ke Ren, siapa tahu aja lo bohong dan nggak sinkron cerita di gue dan di dia! Coba ceritain tentang Jennifer!”, tanyaku penasaran.
“Silakan aja tanya sama Ren. Jawabannya sama kok. Jennifer ya..….”, jawab Kak Davin ragu-ragu. “Apa gue harus menceritakan tentang Jenni?”
Aku semakin geregetan mendengar Kakakku memanggil nama pendek Jennifer menjadi Jenni. “Yaiyalah harus banget!!”, sebelum Kak Davin bercerita, aku mengikat rambutku.
“Hari itu kami akan merayakan ulang tahun Jenni yang ke 16 tahun. Jenni dan sahabatnya pergi ke mall untuk membeli beberapa makanan. Gue disuruh nunggu di rumah Jenni. Tapi mereka lama banget ke mall sampe 8jam! Nggak wajar ‘kan sampe selama itu? Gue telepon ke nomor mereka berdua, nggak aktif. Saat itu gue takut banget mereka kenapa-napa. Gue nggak beranjak sedikitpun dari rumah Jenni, karena keluarganya juga nggak terlalu peduli sama Jenni serta keberadaan gue. Dan esok paginya, gue dapet sms dari Jenni begini….”, Kak Davin menunjukkan sebuah sms padaku.
Dav, maaf lama. Soalnya belanjaannya banyak hehe. Aku lagi di sekolah, ada barang ketinggalan soalnya. Kita nggak jadi pesta aja ya? Kamu pulang gih, udah malem.
Aku hanya bisa mendengarkan cerita yang selama ini Kak Davin simpan sendiri. Jenni memang cantik banget, tapi sifatnya jauh dari kata cantik dan perkataannya agak kasar dan hobbynya nyuruh-nyuruh orang disekitarnya tapi hatinya lembut banget. Dalam sms itu, kata-katanya lumayan sopan. Jadi, aneh banget kalo itu sms dari Jenni. Pasti dari orang lain. Dan……”
            Ouwwhh! Sakit sekali mendengar deskripsi sifat Jennifer dari Kak Davin langsung. Mereka memang memiliki hubungan khusus!
            “Dan?”, tanyaku dengan tampang bodoh.
            Kak Davin menegaskan, “Dan dalam sms ini ada kata ‘udah malem’, padahal sms itu baru gue terima esok paginya!”, ohiya itu suatu kejanggalan!
            “Kok bisa smsnya baru sampe? Hape lo atau hapenya dia nih yang nggak ada sinyal? haha”, aku mencoba mencairkan suasana, karena di ujung mata Kak Davin hampir menetes air mata.
            “Setelah mendapat sms itu, gue dengan perasaan campur aduk langsung dateng ke sekolah. Saat itu hari Sabtu dan kebetulan lagi nggak ada kegiatan ekskul, gue cari ke semua ruangan di sekolah, nggak ketemu. Gue nggak nyerah gitu aja, berhari-hari gue terus mencari. Di hari kelima, hari Kamis. Gue ketemu bercak darah di selokan depan ruang Klub Jurnalistik, gedung A lantai 1. Meskipun gue ngilu banget kalo ngeliat darah, gue tetap ikutin jejaknya itu. Bercak itu berhenti di depan warung Bu Tuti. Terus gue…..”, dan inilah batasnya Kak Davin. Ia menangis sambil terus bercerita.
            “Duh, lo jangan nangis dong Kak! Gue jadi mau nangis nih”, hiburku.
            Kak Davin menghela nafas, lalu kembali bercerita. “Gue nemuin surat bertuliskan kode-kode diselipan pintu kecil di warung Bu Tuti.”, lagi-lagi Kak Davin menunjukkan selembar surat, bukti insiden saat itu.
 J.G-Tewas-Blk.19729
Jika dibaca, aku juga mengerti maksud kode itu. Jennifer. G-Tewas-Blok.19 no 729. Begitulah kira-kira (Yah Aku kan tidak tahu nama lengkap Jennifer).
Gue mencari rumah di blok 19 nomor 729. Gue mencari-cari lokasi itu tanpa bertanya pada siapapun. Malemnya, gue baru berhasil menemukan rumah kosong itu. Tepat malem jum’at. Gue menggeledah seluruh rumah itu, rumah yang nggak dikunci dari luar. Di lantai 3, di gudang nggak terpake…… Gue….. Gue melihat peti mati…. Saat gue lihat isinya, ITU JENNIFER! Masih memakai gaun warna hitamnya sejak dia pergi ke mall. Jennifer terbujur kaku dan banyak luka lebam.... Di pinggir peti banyak bongkahan es batu dan bunga mawar hitam.”, Kak Davin menangis sepuasnya di hadapanku.
“Nama panjang Jennifer siapa, Kak? Sahabatnya itu namanya….Risa bukan?”, aku dengan hati-hati menyebut nama Risa. Yang menurutku sangat mencurigakan. Kemana Risa saat itu? Kalau memang mereka sahabat, pastinya sang pembunuh akan membuat kedua korbannya itu mati saat itu juga, kan? Mengapa hanya ada mayat beku Jennifer disana? Lalu kemana mayat Risa? Yah, kemungkinan lainnya adalah Risa bisa menyelamatkan dirinya. Ah! Aku semakin tidak mengerti arti persahabatan kalau dihadapkan cerita begini.
“Jennifer Gunawan nama lengkapnya. Dari mana lo tahu nama sahabatnya, Nel?”,
“Rahasia dong!”, jawabku sekenanya.
“Oke kalo rahasia. Sorry gue jadi nangis di depan lo gini”, Kak Davin mengusap matanya yang merah.
No problem. Wajar kok lo nangis, Kak! Gue boleh nyimpen surat kode itu nggak?”,
Aku mengambil kertas itu dari tangan Kakakku.
“Nih simpen aja. Lo mau jadi detektif bareng Ren, kan? Hahaha cieee ciee”, Aku tidak menjawabnya dan hanya bisa tersenyum. Disitulah akhir penjelasan dari Kakakku. Misiku hampir sukses!
---000---
Aku berjalan menelusuri sebuah lorong di dalam rumah paling besar di komplek Belanda, J. P. Coen. Blok 1 nomor 111. Rumah yang satu ini sangat-sangat menyerupai istana! Dan menurutku rumah paling besar (juga bernomor rumah istimewa) di antara rumah lainnya di komplek ini—kesamaannya dengan rumah nomor 729 adalah rumah ini juga sudah tidak terpakai. Hanya saja, rumah nomor 111 ini berlantai lima dan semua lantainya berkarpet merah—mungkin pengecualian untuk toilet, yah aku belum melihat toilet disini sih.
Dua hari lalu, tepatnya hari Senin lagi-lagi aku mendapat surat ancaman. Berbeda dari sebelumnya, surat yang kuterima Senin sore itu tepat di atas mejaku di kelas. Dan semakin parah ancamannya. Ditulis dengan darah segar dan ada menu kematian untukku serta ancaman berbau dendam. Juga ada mayat kaki kucing (lagi)—dan aku harus membereskan itu sendirian, sebelumnya kan aku dibantu oleh Ren. Sambil melangkahkan kaki di lorong panjang, aku membuka lagi kertas itu.
Rabu, 23 Oktober 2013. Blok 1. No 111. Ini hanya permainan; “Lost or Death”. Jemputlah kematianmu! Beling, benang, cambuk, pisau, pedang, peluru atau tambang, pilihlah yang akan menghabiskan darahmu……………
NB: Rahasiakan surat ini dari siapapun. Atau mereka yang mengetahuinya akan mati sia-sia karena salahmu!!
-Ttd, AKU-
Semakin ku baca, semakin merinding. Gila, bukan? Pertanyaanku adalah; Siapa saja yang menerima surat seperti ini, selain aku?! Apa hanya aku? Pasti ada orang lain. Bukan orang lain, sebut saja ‘pemain lain’, jika di dalam surat itu disebutkan bahwa ‘Ini hanya permainan’. Kematian bukanlah permainan! Yang membuat permainan ini—maksudku, yang membuat semua ini seperti permainan—pasti sudah sinting, gila dan otaknya miring!
Dari kejauhan aku mendengar suara langkah nyaring. Terdengar seperti suara sepatu ber-heels, mungkin seorang wanita (ya, tentu hanya wanita yang memakai heels!). Sedangkan aku, hanya memakai sepatu hitam dengan short dress berlengan pendek serta cardigan lengan buntung berwarna biru muda. Kali ini rambut panjangku lupa ku ikat dengan karet tersayangku. Alhasil, rambut bergelombangku menjuntai panjang.
Saat aku mendekati sebuah tangga kayu di ujung lorong ini (tangga yang terlihat sudah rapuh tanpa pegangan di pinggirnya), ada suara dari speaker yang entah dari mana asalnya. Dan suara orang di speaker seperti di samarkan dan mungkin agak di edit oleh ahli multimedia.
“Selamat datang para pemain game Lost or Death. Semua pintu rumah ini sudah terkunci. Perhatikan sekeliling anda jika tidak mau tersesat. Banyak jebakan yang tersebar secara tersembunyi. Setengah jam lagi akan ada pemberitahuan seputar cara bermain. Thank you!”,
Oh Tuhan! Seharusnya aku tidak datang ke tempat ini. bagaimana jika aku melarikan diri saja? Tapi katanya semua pintu telah terkunci. Lewat jendela atau ventilasi, pasti ada beberapa ventilasi yang terbuka. Ya, benar!
Ketika aku mulai melangkah menaiki tangga kayu di depanku, aku melihat sebuah kalung mutiara menempel pada dinding tepat di atas anak tangga kesembilan. Perlahan aku menaiki satu-persatu anak tangga menuju anak tangga kesembilan. Aku mulai meraihnya sambil berjinjit. Dapat! Aku berhasil menggapai kalung itu, dan memegangnya di tangan kananku.
Kreekkk!
Suara apa itu? Kaki ku kehilangan keseimbangan. Karena baru kusadari anak tangga yang tengah kupijak sudah lapuk dan rapuh. Di atas anak tangga kesepuluh, ada sebuah roda kayu yang memiliki banyak jari-jari—seperti roda pada kereta kuda zaman dulu. Tidak ada pegangan lain, aku berusaha sekuat tenaga untuk memperkecil gerakanku. Tapi, aku juga harus bergerak cepat dan meloncat ke anak tangga kesepuluh agar bisa meraih roda kayu itu dan berpegangan disitu.
Hap! Dapat!
Tapi roda kayu itu tidak mampu menopang berat tubuhku. Jemariku terus meraih pinggiran jari-jari pada roda itu. Sehingga roda itu berputar kencang, dan kini tubuhku melayang di udara. Karena…..
Brukkk!
Kesembilan anak tangga dibawahku sudah roboh. Baru kusadari ada beberapa benang yang melilit jemari kananku. Sakitnya bukan main. Benang-benang putih itu terus berputar mengikuti arus roda kayu. Tubuhku pun ikut berputar bagai ayunan.
Oh Tuhan… Sakit sekali jariku…..
Seketika roda itu merenggang dari dinding. Hampir menimpaku. Bukannya aku takut ketinggian, tapi jarak antara satu anak tangga ke anak tangga yang lain sangat jauh. Jadi kira-kira aku berdiri menggelantung sambil memegang roda ini dari ketinggian 3 meter. Roda ini semakin lama semakin miring.
Brukkk! Prang!
Aku jatuh dan tertimpa roda itu. Dan jari tanganku mengeluarkan banyak sekali darah yang mengakibatkan daging di tanganku menimbul keluar karena terlalu bergesekan dengan benang…………

------------------------------------------------------------------------------------------------
Hai hai haiiiiiiii kalian!!!! Huaaawww rasanya lega banget udah bisa sampe sejauh ini mengarangnya *dancing* hehehe :D
Lagi-lagi maaf ya, aku perlu waktu lamaaaaaaaaaa banget untuk nyelesaiin part 5 ini. Nggak apa-apa kan? Mana nih yang kepo?? Hohohoho
Capek loh nulisnya sampe mata rabun -_-
Selamat membaca! Semoga bertambah kepo! Karena masih ada part 6 dan Epilog! ^o^
See you next time! Yeaaayy ^o^

Sincerely,
Airayase Shiina^^

Mini Story: "Kehilangan atau Kematian" (Part 4)



Cornela Rahwana

            Aku keluar dari persembunyianku di balik tong sampah jumbo. Aku melangkahkan kaki mendekati se­deretan warung yang sudah kosong melompong. Sesaat kemudian aku memutar badanku untuk kembali pulang saja. Aku memutar tubuh lagi, melangkah ke warung-warung itu lagi, lalu memutar badanku lagi untuk pulang. Kenapa aku jadi mondar-mandir terus seperti setrika begini? Habisnya aku sedikit ragu, apakah orang yang sedang kubuntuti itu memang benar kakakku atau orang lain. Yah, walaupun aku lumayan yakin topi pet yang orang itu kenakan mirip sekali dengan topiku. Jika dipikir lagi, bukankah topi seperti punyaku siapa saja bisa memilikinya? Soalnya, topi hitam polos begitu memang pasaran.
Apa sebaiknya aku menelepon Ibu, ya? Untuk memastikan Kak Davin ada di rumah atau tidak—mungkin saja kakakku sedang berbaring lemas. Aku mengambil ponselku di resleting depan tasku. Mencari nama “Ibu” di kontak. Lalu kutekan tombol panggilan dengan gambar telepon berwarna hijau.
            Suara nada sambung. Ayolah bu, tolong cepat diangkat! Ini demi mengungkap kecurigaanmu pada Kak Davin….
            “Halo?”, akhirnya ibu mengangkat panggilanku! Lho mengapa suara cowok?
            “Ini bukan Ibu?”, tanyaku pada suara di seberang sana.
            “Bukan. Ini…..”,
            “Kasih hapenya ke Ena sini!”, terdengar suara anak kecil di dekat penerima panggilanku.
            “Padahal tadi kamu yang maksa Kakak buat angkat teleponnya kan..…”,
            “Aku berubah pikiran, tau!”
Bisa kubayangkan disana sedang berebut memegang ponsel Ibu. Suara anak 9 tahun nan cempreng mengambil alih panggilanku. Pasti itu adikku, Ena.
Halo, Kak Nela? Kaget nggak? Hihihi”, sungguh anak ini minta dijitak!
            “Ena, tolong kasih ibu dong. Penting banget!”, perintahku.
            “Ibu lagi ke pasar. Hapenya lagi buat main game. Ehem! Kak Nela nggak mau ngobrol sama pacar Kakak?”,  dasar adik songong! Siapa yang dia maksud pacarku? Teman saja aku tak punya.
            “Dasar tukang menyita hape Ibu! Ngapain ibu ke pasar sore gini, emang masih ada yang jualan? Eh, tadi yang angkat pertama siapa?”, aku yakin itu bukan suara Kak Davin.
            Suara Ena terdengar sok di-cadel-cadel-kan dan menyebalkan. “Gatau deh masih ada yang dagang apa enggak. Ehem! Kak Nela nggak kenal cuala pacal cendili tadi? Cieeee lagi malahan yaah cama Kak Ren?”, Demi semua nama imut para bayi! Baru saja adikku menyebut nama Ren? Ena menyebut Ren adalah pacarku?!
“HAH? REN?! PACARKU?! Hiihh enak aja!”, adikku tertawa geli mendengar protesku.
Terlebih penting, apa yang dilakukan Ren di rumahku? Mungkinkah dia seorang pedofil yang berniat menculik adikku disaat ada kesempatan selagi ibuku pergi dan kakakku sakit? Akhir-akhir ini memang sedang marak berita tentang kejahatan yang menimpa anak kecil. Ya Tuhan, lindungilah Ena…
 “Ngapain dia disana, Dek? Rumah kita sepi ya? Ya Tuhan, kamu enggak di apa-apain sama Ren, kan?! Ena?! JAWAB, Dek! HALO!!”, tanyaku agak histeris.
“Halo juga. Ini Ren, Ena langsung kabur. Jangan nuduh gue seenaknya! Gue cuma disuruh ngejagain Ena. Tante Ika mau beli bahan-bahan buat masak soto, sesuai permintaan Davin. Ada hal apa nelpon gue?”, Oh begitu rupanya, dia hanya menjaga Ena. Bisa-bisanya dia mengucapkan kalimat terakhirnya dengan nada keberatan, seolah-olah aku menelepon ke ponselnya, padahal itu ponsel ibuku!
            “Sebenernya aku males ngomong sama kamu. Tapi ini penting dan darurat, coba periksa Kak Davin di kamarnya, ada atau engga?”, aku mengesampingkan soal ibuku dan alasan ibu menyuruh Ren menjaga Ena. Nanti bisa kutanyakan setelah aku pulang, tentu saja jika misiku ini sudah beres.
            “Tadi sih kata Ena, Davin dari pagi ngunci pintu kamar. Bentar, gue cek dulu”, mana mungkin Kak Davin betah berlama-lama di kamarnya—walau dalam keadaan demam, dia biasanya lebih suka berbaring di kasur kecil di ruang keluarga. Terlebih kamarnya agak pengap, salah satu alasannya mengapa ia tidak senang berada di kamarnya terlalu lama. Mencurigakan sekali, kan? Tentu!
            “Tolong cepet di cek, Ren!”
            “Oke. Ini gue lagi di kamarnya. Pintunya nggak terkunci ternyata. Nggak ada Davin. Jendela kamarnya terbuka. Emang ada apa sih? Halo??”, Oh jadi begitu. Kak Davin meninggalkan jejak. Rencana melarikan diri yang belum sempurna. Aku langsung putuskan sambungan panggilan tadi. Sekarang sudah jelas, kakakku tidak ada di rumah dan pasti keluar dari jendela kamarnya. Bisakah kakakku yang demam itu berkeliaran di luar rumah? Tapi mau pergi kemana?
Oke, aku akan melanjutkan penyelidikan ini. Kumasukkan ponselku ke dalam saku disisi kiri celana olahragaku.
            Kini dengan mantap, aku melangkah melewati deretan warung di kantin. Aku memeriksa satu persatu warung yang berjejer disini. Sambil menoreh kiri-kanan. Apa itu? Ada sebuah pintu kecil terbuat dari kayu yang menempel pada sisi kanan dinding pada warung paling ujung. Warung Bu Tuti, tempat langgananku membeli alat tulis. Pintu itu kecil sekali dan hanya setinggi kurang lebih setengah meter, tertutup sebuah meja panjang—biasanya meja itu selalu tertutup taplak meja yang merumbai hingga ke lantai. Tapi setiap warung ditutup, pasti taplak itu juga dibawa oleh Bu Tuti. Akibatnya, pintu kecil ini tidak tertutup apapun, alias terlihat sangat jelas dari jarak sedekat ini. Mengapa aku tak pernah tahu ada pintu rahasia di sini? Yah, iya sih aku kan jarang berlagak seperti detektif begini.
Kakakku melenyapkan diri kemana dari kantin ini? Padahal pintu belakang sekolah berada di belakang gedung C, bukan di sini, gedung A.
Oh Tuhan, bodohnya aku! Satu-satunya dugaanku hanyalah….. Sudah pasti Kak Davin memasuki pintu ini! Kenapa otakku baru berpikir cerdas sekarang?! Apakah aku sudah tertinggal jauh dengannya?
            Mendadak aku jadi berpikir kakakku pasti menyembunyikan sesuatu yang sangat RAHASIA hingga harus melakukan penyelundupan ini. Apa aku harus mencurigai keanehan kakakku seperti  kecurigaan ibu dan Ren padanya? Tentu saja aku sangat curiga!
Maaf Kak Davin, sepertinya aku juga patut mencurigaimu. Tidak masalah kan jika aku menyelidiki hal ini sendirian? Sepertinya tidak masalah.
            Aku membungkukkan tubuh. Sesaat sebelum aku hendak membuka pintu kayu itu, rasanya ada yang memperhatikanku dari arah koridor kantin. Biasanya memang banyak yang masih mengikuti kegiatan ekstra kurikuler di gedung A ini. Tapi jarang ada yang datang ke kantin, pasti semua warga SMA Pusaka tahu setiap hari Kamis sejak jam tiga sore sudah sangat-sangat-super sangat-tidak boleh ada satu pun penjual di kantin (Aku juga tidak tahu mengapa ada tradisi aneh itu. Tambahan, ada peraturan kalau murid juga dilarang ke kantin di hari Kamis sore—tapi kali ini aku melanggar). Apa ada yang membuntutiku? Tapi siapa? Kelima cewek yang membully-ku tadi? Sepertinya bukan, lima orang terlalu banyak, hanya ada satu orang disana. Atau orang lain yang berniat jahat? Sebaiknya aku sembunyi saja daripada aku dilaporkan karena melanggar peraturan aneh itu—jika aku ketahuan melanggar, aku akan mendapatkan sanksi membersihkan toilet yang super bau. Mana mau aku membersihkan toilet!
Aku melihat celah antara etalase dengan meja panjang tadi, lalu aku merangkak masuk ke celah itu. Demi padatnya kota Jakarta, celah ini jauh lebih, lebih super-duper-amit-amit sempitnya! Ugh! Aku susah bergerak. Juga sulit memposisikan tubuhku agar tenggelam ke dalam celah ini. Haduh kepalaku gatal… Pasti karena air kolam ikan yang sangat berlumut!  Kepalaku masih menimbul sedikit. Aku menggaruk kulit kepalaku yang berada dibawah ikat rambutku. Pergerakanku pasti terlihat dari sana… Bagaimana ini? Aku ketahuan, kah?
            “Woy ngapain lo di situ? Jangan ngelanggar peraturan…..”, Ah, sial! Kenapa aku selalu cepat sekali ketahuan setiap ada moment bersembunyi? Tapi tunggu, ada suara lain yang menyahuti suara tadi. Sayangnya, aku kurang jelas mendengar suara mereka, seperti suara cowok tapi juga sedikit terdengar seperti suara cewek. Wah jangan-jangan banci? Bwahahaha. Gila ya aku masih sempat tertawa di saat genting begini! Habis, suara orang itu patut dipertanyakan!
            “Gue nggak mau kaleee di hukum gara-gara datengin kantin. Tadi gue lihat ora…ng—Eh apa kucing ya? Pokoknya lari ke warung Bu Tuti…..”, sumpah, aku berani jamin orang itu sedang melindungiku! Atau mungkin memang matanya rabun jauh, tidak bisa membedakan manusia dengan kucing. Bwahahahahaha. Ups, aku tertawa terlalu kencang. Spontan aku menutup mulutku dengan tangan kiri—maklum, tangan kananku sibuk memeluk tasku. Posisiku saat ini seperti tikus terjepit dengan posisi berjongkok.
            “Yaelah kalo kucing nggak usah diikutin!”,
            “Oke deh. Yuk latihan lagi. Tapi gue perlu beli minum…..”
            Akhirnya dua pengganggu tadi sudah berjalan pergi. Saatnya beraksi! Aku merangkak keluar dari celah. Aku merangkak seperti bayi, lalu membuka pintu kayu rahasia dan masuk ke dalamnya.
            Tring! Seperti sihir!
Tiba-tiba saja aku mendaratkan kakiku di atas tanah penuh rumput. Aku berada di sebuah lapangan luas penuh rerumputan hijau, dekat gawang. Aku tidak percaya ini! Dinding belakang warung Bu Tuti ternyata sangat istimewa!
Pintu kayu rahasia itu langsung menembus ke daerah perumahan elite dengan bangunan bergaya Eropa. Dua puluh meter di depanku ada tulisan “Perumahan Jan Pieterszoon Coen-Blok 15”. Kalian pasti tidak asing dengan nama Pieterszoon Coen, kan? Yap, benar. Nama seorang kompeni kejam Negeri kita ratusan tahun lalu yang berasal dari Belanda. Coen adalah seorang Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda ke-4, atau lebih dikenal sebagai Gubernur Jendral VOC. JP.Coen adalah orang yang menaklukan Jayakarta, lalu mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia (Batavieren). Padahal tadi pagi baru saja ulangan sejarah. Dan sekarang rasanya aku seperti masuk ke dalam masa lalu penuh kolonial dan penjajahan. Kerennn! Aku mulai menikmati penyelidikan ini!
Baik jarak maupun perbedaan ukuran rumah-rumah disini, jauh sekali dengan rumahku. Mungkin itu sebabnya Kak Davin menyusup ke sekolah daripada harus melewati jalur rumah kami yang empat kali lebih jauh dan membuang ongkos lebih banyak—kalian pasti tahu, orang yang sedang demam pasti tidak sekolah, dan kalau tidak sekolah pasti tidak mendapat uang jajan—uang Kak Davin pasti pas-pasan. Apalagi (mungkin saja), orang biasa atau orang luar yang tidak punya kerabat disini tidak akan diperbolehkan masuk dari pintu utama perumahan elite seperti ini. Karena sepertinya lapangan yang sedang ku pijak berada tepat di tengah wilayah perumahan bernama tokoh penjajah Belanda ini.
Sekarang aku harus menelusuri jejak Kak Davin kemana? Aku akan memulai dari blok 15 seperti tulisan di depanku. Kulihat kiri-kanan. Sepi. Kesempatan bagus bagiku. Nah! Itu dia! Dari kejauhan aku melihat Kakakku berjalan cepat. Lalu dia menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke belakang cukup lama. Gawat! Buru-buru aku bersembunyi di balik pohon. Aku deg-degan bukan main. Sungguh, ini seperti adegan di film! Saat aku melongok, Kak Davin lenyap dari pandanganku.
Cepat banget sih jalannya! Gue nggak bisa ngejar elo, bro! Di antara perumahan gede banget gini pula!
Seorang satpam muncul dari belakangku dan memiringkan kepalanya ke depan wajahku. “Kagak bisa ngejar siape, Neng? Mengejar cinta sejati, ye?”, tidak kusangka suara hatiku tadi kuucapkan dengan lantang.
“Waaaaaaaaaa! Ampun pak, ampun! Saya bukan penyelundup! Eh? EEEHHHHHH?? Cinta sejati? Pak Satpam lebay bahasanya!”, menggelikan bukan tiba-tiba digodain oleh satpam berlogat betawi, tepat mengenai sasaran pula!
“Duduk dulu sini Neng, emang lagi ngapain dimari? Mao minum?”, kini aku duduk di sebuah kursi dalam pos satpam. Lumayan sih diberikan minum, walau hanya air putih dan rasa airnya agak pahit. Aku memang dehidrasi serta lelah sekali. Tapi bagaimana dengan penyelidikan Kakakku? Aku mau menyerah saja deh. Lagipula hari sudah semakin sore, bisa-bisa Ibu khawatir padaku.
“Itu Pak, itu….. Emmm, ta-ta-tadi saya cuma mau manggil Kakak saya… Bapak liat cowok yang tadi?”, kataku dengan tergagap.
“Cowok yang mana? Bapak kagak ngeliat… Yaampun Neng pake gagap segalaan! Selow aje sama Pak Udin. Nama neng siape?”, Satpam yang kira-kira berusia 40 tahun ini mengakrabkan diri denganku.
“Nama saya Nela. Pak, boleh nanya nggak?”,
“Itu aje udah nanya neng, hahaha. Nanya ape lagi nih?”, benar juga sih, yang tadi itu termasuk pertanyaan.
“Hahahaha Bapak bisa aja. Ini perumahannya udah lama ya? Kok bangunannya kayak belanda gitu sih? Trus nama jalannya juga nama kompeni? Ini beneran saya nggak diperiksa identitas, Pak?”,
“Si Neng Nela sekali nanya langsung banyak! Udah lama banget neng, Bapak aje kerja udeh 20 tahun dimari. Sebelom Bapak kerja dimari, emang udeh ada ini perumahannye! Kira-kira udeh 150 tahun Neng… Iye emang bangunan Belanda, keren banget ye, Neng! Katanye sih, yang punya seluruh tanah dimari masih keluarganye Coen….”, sudah kuduga, pasti ini bangunan tua.
“…..Nggak ada pemeriksaan Neng kalo dimari mah, soalnye 5 tahun lalu udah diberhentiin sistem kasta rakyat miskin-orang gedongan. Dulu nih ye, malahan nggak boleh ada orang selaen keturunan Belanda yang tinggal dimari. Terus kalo orang miskin masuk kemari harus diperiksa identitas, digeledah baju sama barang-barang yang dibawanye, disuruh jadi budak selama tiga bulan. Ngeri banget deh! Bapak aje dulu pernah ngerasain jadi budak. Hehehe tapi sekarang malah diangkat jadi satpam di perumahan gedongan keren ini. Emang kenape Neng nanya begituan?”, sungguh cerita yang  terdengar nyata sekali, layaknya zaman penjajahan. Untung aku kesini dengan peraturan sistem kasta yang telah dihapuskan. Bisa-bisa aku akan menjadi budak! Oh Tuhan, pasti mengerikan, memilukan, mengenaskan dan meruntuhkan kekokohan tulang-tulangku, jika membayangkan aku yang seharusnya bersekolah malah memakai baju yang senantiasa kusut dan hanya ada di dapur atau membersihkan rumah sebesar istana! Hiiiii amit-amit.
“Cerita nyata bukan tuh, Pak? Ntar Bapak mengarang doang sekaligus menipu anak polos kayak saya! Hahahahaha”, aku tertawa, Pak Udin pun ikut tertawa.
“Hahahaha. Beneran lah neng! Betewe, Neng Nela satu sekolahan sama Neng Tere?”, sahut Pak Udin tiba-tiba dengan wajah serius.
“Oke deh saya percaya. Loh kok Pak Udin tau?“, kataku seraya berdiri. Lalu aku melirik jam dinding di sudut ruang sempit ini. Sudah jam empat sore.
“Kan baju seragamnye sama! Tiap hari Neng Tere lewat jalan blok 15 jadi Pak Udin apal…”, Demi semua seragam sekolahku! Aku tidak menyangka Tere tinggal disini.
“Tere tinggal disini? Kalo boleh tahu, dimana rumahnya, Pak?”, tanyaku penasaran.
“Waduh, maap bapak kurang tau deh. Neng Tere orangnye jutek banget sih, Pak Udin takut nanyanye hehehe”, Pak Udin menjawab sambil tersipu.
“Hmmm gitu ya…”, aku menganggukkan kepala.
“Neng Nela nongol darimane? Pintu masuk pan jauh disebelah sono….”, Bagaimana jawabnya nih? Haruskah aku jujur, masuk dari pintu rahasia di kantin sekolahku?
“Dari pintu doraemon dong, Pak! Hehehehe… Makasih banyak ya Pak, saya harus ngejar kakak saya nih...”, akupun berpamitan pada satpam kurus itu.
            “Dasar si Neng Nela….. Okeh, Pak Udin juga harus bertugas lagi”
---000---
            Sudah lebih dari setengah jam aku mengitari rumah-rumah di blok 15 ini. Tapi belum kutemukan juga sosok kakakku. Kemana sih Kak Davin? Rahasia apa sih yang dia sembunyikan?
            Tunggu dulu, informasi yang kuterima hari ini sudah cukup banyak. Mulai dari informasi yang diberikan kelima cewek yang membullyku hingga sejarah tentang perumahan disini dari Pak Satpam tadi. Semakin ditelaah, semuanya akan terlihat bagai kepingan puzzle yang hampir sempurna.
Dimulai dari kelima cewek populer itu mengaku sebagai pelaku surat ancaman di loker Kak Davin. Tetapi katanya, mereka bukan pembunuh mutilasi kucing yang malang semalam. Hingga aku tidak boleh dekat-dekat dengan Kakakku, serta-merta mengancamku akan melakukan tindakan berbahaya padaku, jika aku melanggarnya. Aku jadi kesal kalau mengingat hal itu. Memangnya apa hak mereka melarangku begitu?! Katanya mereka fans Almarhumah Jennifer—siswi yang menjadi korban insiden misterius setahun lalu, sekaligus dimataku mereka juga terlihat seperti fans kakakku. Tapi mereka malah membuat surat ancaman pada Kakakku! Aneh! Harusnya mereka mengirim surat ancamannya padaku, kalau ingin aku menjauh dari Kak Davin!
Demi seluruh kejadian dalam hidupku, ini namanya misteri dibalik misteri! Ada satu lagi kecurigaanku. Jika Tere tinggal di komplek Belanda ini. Sedangkan Kak Davin tiba-tiba melakukan pelarian secara RAHASIA seperti sekarang. Dugaan sementaraku: Mereka melakukan pertemuan RAHASIA, yang sangat bersifat RAHASIA serta pembahasannya RAHASIA!
            Kalau memang mereka melakukan pertemuan rahasia, apa yang mereka bahas? Mungkin tentang jejak kematian Jennifer. Ya, mungkin benar. Mungkin juga tidak. Mungkin saja membahas kisah cinta secara RAHASIA. Idih, hoek!
            Kita tidak bisa menutup mata dari kemungkinan-kemungkinan yang ada, kan? Kini di dalam kepalaku penuh dengan kata ‘RAHASIA’. Drett Drett…. Ponselku bergetar. Ada sms rupanya.
            Corn, lo dimana? Cepetan pulang, ibu lo nyariin nih. Jangan terlalu kecapean!
            Overprotective sekali manusia satu ini. Setelah membaca pesan singkat dari Ren, kini aku jadi ragu. Haruskah aku pulang atau melanjutkan misi yang kepalang tanggung ini? Aku mengetik balasan sms secepat kilat.
            Jangan mengkhawatirkanku. Setelah maghrib aku pulang.
            Baiklah, aku akan terus mencari Kak Davin, lalu pulang bersamanya. Tak jauh dari tempatku berdiri, ada sebuah supermarket mini. Aku ingin membeli air putih mineral. Aku berlari-lari kecil menuju kesana. Tebak siapa yang kulihat saat ini di pintu masuk supermarket itu? TERE, LIA DAN RANI!
            Sedang bermain dirumah Tere, kah? ATAU MEREKA BERTIGA MELAKUKAN PERTEMUAN RAHASIA DENGAN KAK DAVIN, BUKAN HANYA TERE?? MUNGKINKAH?? Sembunyi. Sembunyi, aku harus sembunyi. Gawat! Rani memergokiku. Apa yang harus kulakukan??
            Rani meneriakiku kencang sekali. “Nelaaa! Nelaaaaa!!”, aku pura-pura tidak menjawabnya dan malah berlari menjauh dari mereka. Aku sudah tidak tahu lagi dimana aku berada saat ini. Sepertinya sudah cukup jauh dari supermarket tadi. Juga sudah terlalu jauh dari pintu rahasia sekolahku, tentu saja.
            Hah hah hah… Ampun Ya Tuhan, aku sudah capek lari begini. Jantungku jadi sakit. Aku yakin wajahku juga kusut, jangan lupa badanku lengket bekas tercebur kolam.
Aku berdiri tepat disamping tulisan ‘Perumahan Jan Pieterszoon Coen-Blok 29’. Sebanyak inikah blok-blok di komplek elite? Berdirilah sebuah rumah bernomor 729. Menurutku rumah ini sangat mencolok dan kelewat besar bagai istana sungguhan. Rasanya ada yang mengamatiku dari jauh. Aku memalingkan wajah dengan cepat ke segala arah. Tidak ada siapa-siapa. Horror!
Karena aku terlalu kagum dengan bangunan elegan ala Belanda, aku mendekati rumah ini. Dari pintu gerbang yang besar, tepat di depanku, ada taman luas penuh bunga mawar merah, kuning dan hitam. Di dekat taman, ada sebuah tangga besar dengan karpet merah diatasnya. Tanpa sadar, aku sudah berjalan mendekat ke pintu masuk. Aku memegang gagang pintu. Lalu aku terperangah! Pintunya tidak terkunci sama sekali. Hebat sekali orang kaya, rumah sebesar ini namun tidak dikunci sedikitpun! Mengundang pencuri-pencuri berbakat dengan sukarela memasuki rumah mereka, lalu mencuri segala benda mewah yang ada!
Sebelum masuk ke dalam, aku melihat jam tanganku. Gila, cepat sekali sih sudah jam enam sore saja!
Ibu pasti khawatir kuadrat! Bagaimana tidak? Kedua anaknya terlambat pulang tanpa alasan yang jelas—bedanya, aku lebih mulia. Soalnya kakakku kan patut disebut ‘melarikan diri’. Ibu maaf aku harus pulang telat. Sesekali kan tidak apa-apa jadi anak yang kurang menurut orang tua. Hehehe…
Aku membuka pintu rumah besar ini. WOW! Berantakan sekali! Lantainya kotor dan berkerak (kira-kira jika diukur, kerak itu bisa setebal buku paket matematika ku yang tebal!). Pantas saja pintunya tidak terkunci. Ternyata rumah kosong.
“Permisi-permisi... Saya cuma mau lihat-lihat aja kok”, meski aku tahu tak akan ada yang menjawab, aku tetap meminta izin. Ada ruang tamu dengan sofa yang besar berwarna coklat. Jendela serta gorden bergaya eropa. Di dinding berjajar patung seni berkepala rusa, harimau, badak dan kerbau. Sebuah televisi seukuran tubuh orang dewasa di pojok ruang keluarga.
Tubuhku merinding. Aku semakin merasa ada yang mengamatiku dari balik dinding disana. Dinding berlubang dengan ukiran indah yang membatasi ruang makan dengan ruang keluarga. Aku berjalan ke arah orang itu. Jantungku berdegup kaget saat melihat rambut panjang terurai yang menyembul dari lubang dinding itu. Hantu, kah? Oh Tuhan, sungguh itu makhluk apa!
WAAAAAAAAAAAA!!!!! Spontan aku berlari.
“Hai! What are you doing here?”, seorang perempuan berambut pirang mengajakku berbicara. Hanya anak kecil ternyata.
“Hah? No, no. Yes, yes. Maaf aku nggak ngerti kamu bicara apa.”,
“Oh, maaf. Saya Eline. Kamu siapa?”, tanya anak itu.
“Aku Nela. Ini rumahmu?”,
“Ya. Aku sedang menunggu keluargaku pulang malam ini. Mereka pergi meninggalkanku sendiri disini, sudah enam bulan.”, kasihan sekali anak ini dia pasti kesepian.
“Malam ini? Sebaiknya aku pulang…”, Eline menarik baju olahragaku.
“Jangan pulang dulu! Coba naik ke lantai 3. Disana ada tempat tidurku. Tapi sedang ditempati oleh seorang gadis seusiamu. Tolong suruh dia pulang juga.”, seorang gadis? Apa sih maksud anak ini?
“Baiklah. Kamu mau ikut naik bersamaku?”, anak itu hanya menggelengkan kepala tanpa menjawab. “Oke. Tunggu disini ya, Eline…”,
Anak itu tersenyum padaku, aku membalas senyumnya. Kemudian aku langsung bergegas naik melewati tangga yang lantainya terbentang karpet merah. Tepat di atas kepalaku ada sebuah lampu besar dan mengkilau. Mewah sekali. Aku menaiki tangga sambil memegang pegangan tangganya. Kini aku sampai di lantai 2. Disini lebih kotor dan bau daripada lantai 1. Lantai 2 hanya terdiri dari 3 buah kamar, kamar mandi dan ada ruang olahraga beserta alat-alat fitness. Aku harus cepat pulang. Disini semakin mencekam. Aku memegang leherku yang tengah merinding disko.
Aku menaiki tangga lagi, dengan mempercepat langkahku. Dan benar saja dugaanku! Lantai 3 jauh lebih kotor, bau, pengap, serta semua perabotan rumah berantakan. Ada sebagian perabotan yang justru seperti puing-puing. Contoh: ada sebuah meja kayu jati yang retak dan patah. Tinggal separuh bagian. Pasti bagian lainnya yang sedang kuinjak. Aku berjongkok. Memungut puing-puing meja kayu itu. Mengapa ada bunga mawar hitam? Bukan hanya 1, tapi banyak! Anehnya bunga mawar itu berjajar setiap 1 meter bagai sebuah jejak. Aku memungut semua bunga mawar hitam itu hingga bunga mawar hitam yang terakhir. Bunga mawar hitam yang berada tepat di depan sebuah pintu. Oh tentu saja pasti ini ruangan yang dimaksud anak kecil tadi, Eline!
Aku menarik napas, lalu kuhembuskan. Aku mengencangkan kuncir ekor kudaku. Ancang-ancang yang terlalu banyak. Tapi persiapan memang yang terpenting. Siapkan dirimu dengan apa yang ada di dalam sana, Nela! Perlahan aku membuka pintu dihadapanku.
Kreeeeekk!
Tidak biasanya sebuah pintu di rumah gedong seperti ini mengernyit kencang. Aku mengintip sedikit. Aku mengusap mataku, jika saja yang kulihat kini hanya ilusi. Demi semua keajaiban dunia, tidakkah aku salah melihat?! Di depan mataku duduklah seorang cowok sambil memunggungiku. Ia duduk di atas sebuah kursi plastik (seperti kursi abang-abang bakso). Itu Kak Davin! Tidak diragukan lagi. Itu pasti Kakakku! Aku yakin karena dia memang memakai pakaian serba hitam, dan topi pet hitam punyaku. Apa yang dia lakukan di dalam ruangan gelap itu? Terlebih, apa yang ada di depannya itu? Sebuah meja panjang? Oh! Pasti tempat tidur Eline!
Bukankah aneh, sebuah tempat tidur bisa terhalang hanya dengan seorang Kakakakku? Sekecil apa tempat tidur si Eline? Sebesar apa tubuh Kakakku? Aku semakin menenggelamkan kepalaku ke sela-sela pintu. Kebetulan kakakku menggeser posisi kursinya. Oh Tuhan! Itu peti mati! Bagaimana bisa Eline tidur didalam peti mati?
AKU BARU INGAT INI MALAM JUM'AT!
Seketika kakiku jadi melemas. Jantungku semakin kencang berlari di dalam rongganya. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Ini pasti mimpi buruk. Ayo, Nela bangun dari tidurmu! Aku mencubit pipiku, sakit. Aku menampar pipiku, sakit. Ini kenyataan. Eline bukan lagi seorang manusia yang masih hidup. Lalu siapa gadis seusiaku yang berada di dalam peti itu sekarang? Pikiranku kacau dan tak bisa berpikir jernih. Aku mau pulang. Aku harus pulang. Tapi sudah gelap. Bagaimana ini?
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa aku mau pulang!
Lagi-lagi suara teriakan hatiku menjerit dengan keras. Tiba-tiba ada yang berdiri dihadapanku. Memegang kepalaku.
“Nela?? Kok bisa sampe kesini??”, suara yang sangat kukenali. Suara Kak Davin.
“Gue ngikutin elo, Kak! Lo ngapain sih pake acara ngabur dari rumah? Lo lagi demam kak, tau diri dong!”,
“Gue begini juga karena gue tau diri kok, Nel. Yuk pulang.”, enak sekali dia langsung mengajakku pulang! Aku masih shock dan kepo dengan peti mati disana!
“Enak aja! Gue mau liat ruangan itu! Gue punya misi penting dari anak kecil di lantai 1”, kataku dengan lantang menatap tajam penuh dendam pada Kak Davin.
“Please, Nel jangan liat peti itu.”, kakakku memohon dengan wajah mengenaskan. Dasar bodoh! Tingkahnya membuatku semakin tambah kepo saja! “Anak kecil di lantai 1? Emang ada anak kecil ya? Gue kesini nggak ada tuh.”, sumpah aku juga tak yakin dengan pertanyaan ini.
“Ada kok! Namanya Eline. Dia nyuruh gue melihat tempat tidurnya ini…..”, aku berkata sambil melangkah masuk ke dalam ruangan gelap dan pengap itu. Aku berada tepat di hadapan sebuah peti yang tadi terhalang tubuh kakakku. Aku bisa melihat peti itu dengan jelas sekarang. AKU TIDAK PERCAYA INI. SUNGGUH. SUMPAH. Ada seorang gadis berambut hitam panjang terbaring di dalamnya! Gadis itu tidur sangat manis dengan baju long dress hitam. Kedua tangannya berada rapih tepat di atas perutnya. Wajahnya pucat pasi. Di sekeliling peti itu banyak bunga mawar hitam, dan kepingan es batu. Hah? Es batu? Mayat!
 “Nela? Lo nggak apa-apa kan?”,
“Bisa jelasin soal semua ini?”, seketika aku jatuh bersamaan dengan air mataku yang mengalir dingin.
“Lo siap kan sama semua hal yang akan gue kasih tau? Kayaknya lo nggak siap deh. Mau minum dulu?”, harusnya sedari tadi dia menawarkanku minum!
“Iya. Gue haus banget.”, Kak Davin menyodorkan sebuah air mineral botol, masih tersegel. Syukurlah aku merasa sedikit bertenaga.
“Nel, bibir lo pucet banget. Warna biru gitu… Jangan-jangan sakit jantung lo kumat ya?”, Kak Davin mengamati wajahku. Aku sungguh baru tahu kalau aku punya penyakit jantung. Apa Ibu selalu merahasiakan soal ini dariku? Kenapa sih semua orang hebat bisa main rahasia-rahasia segala! Sedangkan aku tidak bisa menyimpan rahasia, karena sifatku yang terlalu jujur dan terus terang.
“Tujuan lo apa dateng kesini, Kak?”, tidak ada jawaban.
“Untuk apa main rahasia-rahasiaan begini?! Enggak cuma elo, tapi ibu juga keliatan menyimpan rahasia dari gue. Kalian nyimpen rahasia dibelakang gue!” ,“Siapa cewek di dalem peti itu??”,  “Apa maksudnya gue punya sakit jantung??!”, aku tak tahan lagi. Aku menangis juga.
“Maaf, Nela. Gue keceplosan soal sakit jantung lo.”, jadi yang tadi itu hanya keceplosan? Itu bahkan lebih menyakitkan. “Cewek itu adalah……..”,
“Siapa?!”, tanyaku sambil memukul lengan kakakku. Aku kesal bukan main. Dia mengambil jeda panjang yang lumayan lama. Kalimatnya dilanjutkan.
“…………...Cewek korban insiden setahun yang lalu. Itu Jennifer.”,
APA??

~Bersambung~
----------------------------------------------------------------------------------------------
Hai para readers! Senang bisa menyapa kalian lagi disni!
Maaf seribu maaf buat kalian nih, naskah part 4 baru dirilis (halah dirilis, bahasamu ra :v). Karena banyak kesibukan yang aku alamin, terus juga karena baru selesai berduka cita hehehe :D Maaf lagi kalo ceritanya kepanjangan! Btw kalo ada typo sedikit, harap maklum pffttt :v
Selamat membaca! Enjoy it! Semakin penasaran ya sama lanjutannya, HARUS penasaran!
See you next time! Yeaaayy! ^o^

Sincerely,
Airayase Shiina ^^

- Copyright © 2013 Rain Fairy's Words - Airayase - Modified by BioSphere - Designed by Djogzs -