Archive for 2015
Mini Story: "Kehilangan atau Kematian" (Part 5)
Cornela Rahwana
“…………...Cewek
korban insiden setahun yang lalu. Itu Jennifer.”,
APA??
Perasaan
kagetku ini lebih parah dari sekadar patah hati. Aku sangat tidak menyangka,
Kakakku mengetahui keberadaan Jennifer. Disini, di sebuah rumah kosong bergaya
Belanda. Oh Tuhan…. Mungkin sudah
sejak lama Kak Davin berusaha menyembunyikan RAHASIA misterius ini! Saat
mendengar nama ‘Jennifer’ disebut
oleh suara pekat dan pahit milik Kak Davin, ada perasaan kosong dan sakit yang
menjalar di seluruh tubuhku. Dilihat darimanapun, sorot mata Kak Davin
menunjukkan kalau Jennifer adalah orang yang berharga baginya—fakta yang
kuingat adalah mereka memang saling menyukai.
Tapi mengapa
Kakakku bertindak sebegini bodoh? Maksudku, jika Jennifer memang seseorang yang
berharga baginya, mengapa Kak Davin tidak memberitahukan keberadaan Jennifer
pada pihak keluarga Jennifer ataupun pihak sekolah?? Tidakkah ada rasa kasihan
terhadap keluarganya yang kehilangan jejak kematian Jennifer? Tindakannya itu
bisa menjadikannya sebagai tertuduh kasus ini! Apalagi Kak Davin adalah ketua
OSIS SMA Pusaka, jika semua pihak sekolah tahu, pasti akan memudar rasa
kepercayaan padanya, atau bisa saja membenci Kakakku—sudah pasti nama baik
keluarga kami akan terbawa jeleknya.
Seluruh
tubuhku bergetar sekaligus kaku di tempat. Banyak sekali pertanyaan yang ingin
kutanyakan pada Kakakku. Apa dayaku, aku sudah tidak ada tenaga lagi bahkan
untuk membuka mulut atau menggerakkan salah satu jariku. Saat aku mengedipkan
mata, air mataku yang sedari tadi menggenang kini mengalir lagi. Dan bagaimana
soal penyakit jantungku?
“Nel,
Lo baik-baik aja kan?”, aku tidak berniat menjawab. Apa aku terlihat baik-baik
saja?! TIDAK. Jika aku memang baik-baik saja, pasti akan kujawab pertanyaan
meremehkannya itu!
Kak
Davin melepaskan topi pet hitam dari kepalanya. Lalu topi itu mendarat di
kepalaku. “Pulang yukk… Lupain tentang hari ini ya. Lo udah kecapean gitu Nel. Nanti
gue jelasin selengkapnya dirumah deh. Janji!”, Kak Davin menambahkan, “Tapi….
Umm… tolong rahasiain dari Ayah, Ibu, juga dari Ren. Oke?”,
Aku yakin
sekali, janjinya tadi itu hanya untuk menghiburku. Kak Davin hanya ingin membuatku
pulang lalu melupakan tentang kejadian ini. Kemudian dia tidak memenuhi
janjinya untuk menjelaskan semua ini padaku, karena ini memang RAHASIA untuk
dirinya sendiri! Tapi aku tidak (terlalu) bisa dibodohi. Aku akan membuat Kak
Davin menjelaskannya saat ini juga bagaimanapun caranya.
Kak Davin
menarik tanganku yang baru kusadari, ternyata tanganku tengah memegang wajah mayat
Jennifer. Dingin sekali. Aku sungguh
merasa tak tega melihat mayat berbaring seperti ini—terlihat sangat menderita—dengan
banyak bekas goresan di kedua lengannya. Seharusnya Jennifer dikuburkan dengan
cara yang wajar seperti jenazah pada umumnya. Tapi mengapa dibiarkan begini hingga
setahun lamanya? Lebih penting lagi, siapa pelakunya dan seperti apa modus
pembunuhan ini?
“Ng-nggak!”,
akhirnya aku berhasil mengumpulkan tenaga di dalam suaraku. Meski masih dalam
posisiku yang terpaku dan memandang kosong ke arah pinggiran peti mati.
“Nggak
apanya?”, jawab Kak Davin
“Nggak
mau pulang! Nggak usah pake janji mau jelasin di rumah! Emangnya Ibu dan Ayah
nggak akan curiga?! Tolong ya, jangan seenaknya memerintah gue buat lupain
kejadian hari ini!”, aku memuntahkan kekesalanku pada Kakakku ini. Bagaimana
tidak? Aku bisa sampai ke tempat ini—dengan kelelahan tingkat tinggi—semua
karena salahnya telah kabur dari rumah, mengendap-endap dan mencurigakan. Dan
kini setelah aku mengetahui RAHASIA PRIBADINYA, aku diajak pulang begitu saja??
Ini bisa disebut ‘Kerja keras yang tidak
membuahkan hasil’. Jelas aku tidak terima!
“Tapi
Dek, sakit jantung lo kambuh! Dan keadaan lo bisa makin parah kalo disini
terlalu lama!!”, balas Kak Davin kencang.
“Keadaan
mayat Jennifer juga udah makin parah disini karena terlalu lama!”, aku tak mau
kalah meniru intonasi suaranya yang ngotot
sekali. ”Masa bodo’ dengan
keadaanku!”, lanjutku.
“Gue
juga tau! Gue lebih tau!”, suara Kakakku jadi terdengar pesimis dan lemah.
Aku
mengatakan kalimat ini dengan nada menantang. “Nah kalo gitu jelasin aja!
Gampang kan jelasin doang?”,
“Gampang?!
HAHA. Jangan menyebut hal yang paling gue sembunyiin sesulit dan se-mengerikan
ini dengan kata ‘gampang’, Dek!”,
harus kuakui, aku memang salah, telah menyebut hal ini tidak sulit untuk dijelaskan. Pasti berat bagi Kak Davin
untuk menjelaskannya padaku—juga pada
orang lain. Tapi mau tidak mau, dia memang harus menjelaskannya disini. Kalau
menjelaskan di rumah, dalam sekejap pasti akan terbongkar dan akan bertambah
rumit. Karena ayah kami sangat tidak suka bila anak-anaknya membuat kesalahan
yang fatal, seperti yang saat ini Kak Davin lakukan misalnya.
“Oh”, aku sengaja hanya menjawab dengan ‘oh’ dengan nada datar seolah aku marah
sekali padanya, untuk memancing orang
di sebelahku ini. Biasanya, jika aku mengatakan kata keramat tadi, Kak Davin dengan cepat akan menjelaskan apapun itu
dengan berusaha membuatku tidak marah lagi. Namun kali ini, Kakakku sedang
keras kepala. Dia malah berjalan menuju pintu ruangan ini. Berniat pulang tanpaku, kah?
Kak
Davin berkata dan membuatku tersentak, “Sebaiknya lo mengangkat telepon masuk
di handphone lo, Nel. Siapa tahu dari Ibu atau Ayah…. Gue mau ke lantai 1 dulu,
nyari anak kecil yang tadi lo bilang”, aku bahkan tidak mendengar suara telepon
dari kantung celana olahragaku.
“Terus
lo niat ninggalin gue sendiri disini, Kak?”,
“Sebentar
doang kok. Abis itu gue jelasin semuanya. Tunggu disini ya! Jangan keluar
selangkahpun dari ruangan ini pokoknya! Oke?”, Akhirnya Kak Davin akan menjelaskan
semua misteri ini padaku! Ada sedikit kelegaan yang aku rasakan saat ini....
“Iya
deh. Nggak boleh keluar, emang kena….pa?”, sebelum aku selesai mengucapkan
pertanyaanku, kakakku pergi dan merapatkan pintu—untung ruangan ini tidak
terlalu gelap, di setiap sudut ruangan ada sebuah lilin yang menyala yang
membuatku tidak terlalu takut lagi. Sepertinya aku memang harus mengangkat
panggilan teleponku dulu. Lumayan kan, ada teman mengobrol. Ya kalaupun dari Ibu,
aku mungkin akan dimarahi habis-habisan.
“Halo?”
“……….”,
tidak ada suara maupun jawaban.
“Siapa
ya?”, tanyaku pada sang penelepon bernomor rahasia—private number, itu kira-kira bahasa inggrisnya.
Yang
kudengar hanya sebuah rekaman lagu. Arti liriknya tentang sebuah drama
percintaan. Hanya saja, lagu yang dinyanyikan sang penyanyi lokal ini sungguh
mengerikan, meskipun yang kutahu tidak melebihi seramnya lagu ini di dalam film
layar lebar…. Kuntilanak.
“Lingsir wengi… Lingsir wengi sepi durung
biso nendro… Kagodho mring wewayang… Kang ngreridhu ati… Kawitane… Mung
sembrono njur kulino… Ra ngiro yen bakal nuwuhke tresno”
Seketika
aku melemparkan ponselku. Siapa orang iseng dibalik panggilan telepon ini?! Tubuhku
terasa bergetar, gemetar, dan semakin memaku. Bulu kudukku berdiri tegak.
Sendirian di dalam ruangan gelap, di depanku ada seorang mayat beku, kemudian
ditinggal oleh Kakakku, dan tiba-tiba ada lagu horor dari penelepon misterius!!
Aku
buru-buru berlari ke arah pintu ruangan pengap ini. Aku membuka gagang pintu.
Dan tidak bisa terbuka. Pintunya terkunci? Aku menggebrak-gebrakkan pintu
dengan kedua tanganku.
Bruk Brukk!!!
Aku
berteriak minta tolong pada Kakakku, “Kak
Davin! Bukain pintunya!! Kak!! Jangan tinggalin gue di sini pliss!”, Gawat,
aku ketakutan sekali. Apa yang dilakukan Kak Davin di bawah, sih?
Aku
kehabisan tenaga dan semakin merasa lelah, kini aku duduk bersandar pada pintu.
Lalu kudengar suara ponselku berdering. Anehnya, mengapa ponselku masih sanggup
berdering lagi setelah kulempar sekeras mungkin. Padahal kukira ponselku rusak
seketika, atau minimal isi ponselku terlepas semua. Aku mencari arah suara
ponselku karena aku tidak tahu kemana arah ponsel itu mendarat. Aku menelusuri
lantai. Di pojok ruanganlah suara itu berasal. Saat aku memegang ponselku dalam
jarak aman (aku takut kalau harus mendengar lagu yang tadi lagi), tapi
panggilan itu malah berhenti. Oh Tuhan,
syukurlah bukan nomor pribadi lagi. Satu panggilan tak terjawab dari Ayah.
Baru saja
aku menekan tombol buka kunci ponselku, benda itu berdering lagi. Membuatku kaget
dan hampir melemparkan ponselku lagi. Kali ini dari Ibu.
“Halo,
Bu?”, aku memulai percakapan dengan suara tertahan.
“Nela?
Kamu dimana sih? Ibu khawatir sama kamu… Udah makan?”, ibuku langsung menjawab
dengan cemas sekali.
“Sebentar
lagi Nela pulang kok. Belom makan hehe”
“Iya,
tapi kamu pergi kemana? Temen aja nggak punya, kan? Kamu juga nggak ikut ekskul
apa-apa. Kamu nggak boleh kecapekan lho!”, sakit sekali rasanya jika ibuku
berkata aku tidak memiliki teman. Tapi memang kenyataannya begitu. Dan memang
benar aku tidak ikut ekskul apapun. Aku tidak punya alasan lain. Dan untuk
beberapa alasan, aku tidak bisa mengatakan dimana aku saat ini.
“Hmm……
Itu Bu… Aku…”, sungguh aku tidak berbakat bohong. Namun ada sesuatu hal yang ingin ku ketahui.
“Kamu
kenapa gagap begitu Nel? Kamu belom jawab pertanyaan Ibu, lho! Kamu dimana?”,
aku mengabaikan pertanyaan dari Ibu.
Lalu
aku membalas bertanya, “Aku….Ingin Ibu memberitahuku tentang ini. Emangnya aku
memiliki penyakit jantung ya, Bu? Seberapa parah?”, aku mendengar ibuku
tersedak mendengar pertanyaanku.
“Ibu… Ibu
kenapa? Lagi minum terus tersedak ya?”,tanyaku lagi.
“Kamu
sudah tahu rupanya…. Ya, Jantung koroner. Sangat parah.”, Ibuku menjawab lumayan
singkat dan aku mendengar sedikit isak tangis Ibu di seberang panggilanku. Lalu
sambungan telepon dimatikan. Jadi memang benar semua orang merahasiakan tentang
penyakitku! Pantas saja, aku sudah tidak diizinkan lagi ikut lomba lari
marathon sejak beberapa tahun lalu. Aku selalu bertanya-tanya mengapa pada saat
jam olahraga di sekolah, napasku selalu tersengal-sengal, dadaku berdebar
sakit, berkeringat dingin, hingga merasa ingin pingsan—kukira hanya kelelahan
biasa, ternyata aku mengidap penyakit jantung.
Air mataku
tak bisa berhenti begitu saja setelah mendengar pernyataan dari Ibu. Bukankah
menyakitkan jika menjadi satu-satunya orang yang PALING TIDAK MENGETAHUI
kelemahan pada kesehatan diri kita sendiri?! Menyedihkan sekali diriku ini,
sampai aku harus menangis berkali-kali dan membuat Ibu menangis. Aku menyeka
air mataku menggunakan punggung tangan. Aku berdiri, lalu mendekati peti mati
tempat mayat Jennifer tertidur selamanya.
Ya, saat ini aku harus fokus pada misiku untuk
mengungkap misteri tentang gadis ini. Sang korban sendiri sudah berhasil ditemukan
oleh sang detektif! Dan kini sudah berada di hadapanku.
Pasti ada
beberapa petunjuk jika aku memeriksa tubuh Jennifer! Aku harus melakukan ini
sendiri tanpa ketahuan Kak Davin, karena bagaimanapun, seorang detektif
profesional tetap harus mewaspadai orang di sekitarnya agar semua misinya
sukses. Tapi aku bukanlah detektif sesungguhnya—jadi tentu saja aku butuh orang
lain yang membantuku. Hmm, biar aku mencari kandidat siapa yang akan mau
membantuku dan dapat dipercaya?
Tunggu
dulu, jika dipikir-pikir, apa sejak awal aku sendirilah yang ingin mengetahui
semua rahasia dibalik insiden ini? Sepertinya tidak. Biar kuingat-ingat lagi.
Aku tidak pernah berniat menyelidiki tentang ini, jangankan menyelidiki, niat
mencari tahu (walau sedikit) saja aku tidak punya. Lalu karena siapa aku
melakukan hingga sejauh ini? Karena Kak Davin? Mungkin. Tapi rasanya bukan.
Karena….Ren? Ya! Pasti sejak kejadian pertengkaran
kami (awalnya karena Ren mengaku dirinya telah lama mengenalku dan aku
marah padanya) di halaman belakang sekolah, yang mengakibatkan aku memiliki
tekad baja untuk mencari tahu seorang diri—tanpa bantuan Ren—tentang pelaku
dibalik surat ancaman loker, ancaman cermin, dan mayat kucing mutilasi. Serta
membuktikan kalau Kak Davin tidak bersalah.
Tidak,
tidak, bukan begitu alasan secara tepatnya. Tentu saja yang paling mendasar yang
membuatku mulai tergiur untuk menyelidiki hal
ini adalah syarat kedua Ren untuk memintaku untuk membantunya mengungkapkan insiden setahun lalu. Bukannya aku mudah
tergiur lho, tapi kurasa memang ada
benang merah antara ancaman yang aku dan Kak Davin terima dengan insiden ini. Dugaanku
saat ini adalah: Ren juga memiliki beberapa bukti akurat, yang membuatnya ingin
menyelidiki kasus ini. Mungkin selanjutnya kami harus bertukar bukti.
Kembali
pada kenyataan di depan mata. Aku mengusap kening Jennifer yang tertutup
beberapa bunga mawar hitam, terlihatlah beberapa bekas goresan—seperti bekas sayatan
pisau atau bekas benda tajam lainnya. Berhubung Jennifer memakai long dress hitam berlengan pendek
sehingga dengan jelas aku bisa melihat luka lebam berwarna biru dan mungkin
bekas cambukan yang sangat parah, kini membeku.
Aku
mengangkat sedikit (sungguh, cuma sedikit kok!) ujung gaun yang dipakai Jennifer,
ada sebuah tulisan dari tinta hitam di betisnya. Bodohnya, aku tidak bisa
membaca tulisan itu karena menyerupai kode-kode aneh. Yang bisa ku mengerti
hanyalah ada angka. 12154. Angka
macam apa itu? Bisa saja format tanggal. Bukankah biasanya minimal ada 6 digit
angka pada format tanggal dan lengkapnya ada 8 digit, ya, kan? Karena takut
lupa, aku berinisiatif mencatat kode-kode itu di buku tulisku dengan cara aku
menirukan gaya penulisannya. Aku mengambil sebuah lilin besar di pojok ruangan
untuk penerangan. Lalu aku mulai menulis.
Demi semua raja kegelapan, belum selesai aku menulis
semua kode aneh itu, kepalaku tiba-tiba gelap, pusing dan dadaku terasa
tertekan, nyeri sekali………..
---000---
Aku mencium aroma bau rumah sakit. Siapa yang
sakit? Perlahan aku membuka mata. Silau sekali. Kini aku menyadari tubuhku
terbaring di sebuah kasur putih. Ah, aku
lah orang sakitnya. Ya, tentu sakit jantung yang parah. Di sebelah kiriku
ada seorang perawat yang tengah memeriksa kondisiku. Di tangan kiriku telah
menempel selang infus. Kapan aku dibawa kesini? Aku langsung bangun dan hendak
berdiri, tapi aku terjatuh kembali ke kasurku. Rasanya aku sangat tak berdaya
dan itu sungguh tak enak. Baru kali ini aku harus dirawat di rumah sakit—aku
selalu takut dan menolak, setiap kali diajak pergi ke rumah sakit.
Ohiya! Tadi aku sedang meneliti mayat
Jennifer. Aku juga harus meminta semua penjelasan dari Kak Davin. Tapi sekarang
apa yang kualami? Aku dirawat di rumah sakit entah di daerah mana. Penyelidikanku
yang hampir sukses jadi gagal begini.
“Udah sadar
ya?”, tanya sebuah suara dari arah bawah tempat tidur besi yang menopang
tubuhku.
“Mungkin”,
jawabku lemah. Sambil menggerak-gerakkan tubuhku seperti gerakan pemanasan
olahraga.
“Jangan
bergerak banyak, Corn!”, hanya satu orang yang selalu memanggilku begitu.
Setelah perawat pergi, aku menjulurkan kepalaku ke bawah kasur.
Ada
seorang disebelah kanan kasurku. Sedang menggelar karpet, lalu duduk diatasnya.
“Ren?!”,
“Yap.
Berharap orang lain, ya?”, tanya cowok itu
meledek.
“Enggak
terlalu sih. Tapi kenapa mesti kamu?”,
“Karena
gue dapet telepon dari seorang cewek bernama Cornela”, aku terkejut mendengar
ucapannya.
“Hah?!
Aku yang menelepon?! Kamu yang membawaku kesini? Bagaimana bisa? Padahal kan
tadi aku ada di….….”, lalu orang ini memotong pembicaraan.
“Jangan bahas hal itu disini!”
Ups. Benar juga. Tidak aman membahas
hal itu di tempat umum begini.
“Lewat sms?”, tanyaku padanya. Ren
hanya mengangguk. Aku langsung mengirim pesan.
Ceritakan sejak aku pingsan!
Ren
membaca sms dariku. Lalu mengetik jawaban. Satu menit kemudian ada sms masuk ke
ponselku.
Gue nggak
tau apa yang lo lakuin di rumah kosong itu. Saat gue dateng, gue menemukan lo
pingsan di depan pintu masuk rumah no.729. Lengkap dengan tas dan plastik
berisi seragam lo. Gue membuka pintu rumah itu, tapi terkunci. Karena khawatir
banget sama keadaan lo, tanpa pikir panjang gue langsung membawa lo ke RS ini.
Oh Tuhan,
bagaimana bisa? Aku di depan
pintu masuk rumah Belanda itu? Yang benar saja! Aku jadi tidak tahu harus
percaya pada Ren atau tidak. Bisa saja dia mengarangnya. Dan Kak Davin? Dimana
Kak Davin saat itu? Haruskah aku menanyakan Kakakku pada Ren?
Tanganku
bergetar mengetik sms ini.
Apa saat itu
ada Kak Davin?
Sms
masuk lagi.
Jadi saat
itu lo sama Kakak lo??!! Maksud lo, yang kemarinan lo menyuruh gue meriksa
kamar Davin ternyata dia melarikan diri ke tempat itu?
Oke,
sudah jelas Ren tidak tahu disana aku sedang bersama Kakakku. Seratus poin
untuk Ren karena sangat jeli mengobservasi situasi.
“Ya.”, jawabku tanpa mengirim sms
lagi.
“Tapi
tadi Davin kesini dan bertingkah seperti biasa. Seolah dia nggak tahu apa-apa
yang terjadi sama lo. Sebaiknya sekarang lo istirahat aja. Nggak usah dipikirin
dulu untuk saat ini. Oke?”, Ren menyaranku untuk berisitirahat. Padahal, otakku
sangat sulit untuk berhenti bertanya ‘Kemana
Kakakku saat aku pingsan? Menelantarkanku di depan pintu masuk? Keterlaluan
jika memang dia tega padaku.’
“Ohiya, kemarin lo dapet surat sanksi karena
pergi ke kantin Kamis sore.”, ini semakin tidak lucu. Siapa yang melaporkanku
telah melanggar peraturan aneh itu?? “Kan udah gue bilang, jangan jauh-jauh
dari gue kalo di sekolah!”, tambahnya.
“Memang ini hari apa, Ren?”,
“Hari Sabtu pagi…”, berarti sudah dua
hari aku di rawat disini. Setelah mendengar jawabannya itu aku langsung
berbaring lemas. Aku hanya bisa menatap ke arah piyama putih khas rumah sakit
ini. Lalu kupejamkan mataku.
Sebaiknya
aku tidur saja.
---000---
Syukurlah
aku sudah sehat lagi. Baru tadi
pagi aku terbebas dari rumah sakit menyebalkan itu. Hari ini adalah hari
minggu. Saatnya aku berlibur! Ya, tentu saja aku sedang menjalani liburan…….di rumah!
Habis, mau liburan kemana dengan keadaan lemah jantung seperti ini? Lagipula,
besok aku harus menerima sanksi untuk membersihkan toilet sekolah. Hanya
membayangkannya saja, membuatku malas melakukan pekerjaan kotor itu.
“Nela! Sini!”, dari arah kamarnya, Kak Davin
memanggilku. Aku langsung menurutinya dan berjalan menuju ke kamarnya.
“Kenapa Kak?”, tanyaku polos. Seketika aku
ingat utangnya untuk menjelaskan semuanya padaku. “Mau bayar utang penjelasan,
kan?”, tanyaku lagi.
“Iya. Buruan makanya!”, perintahnya. Aku duduk
di bangku belajarnya yang menghadap ke arah jendela.
Kak Davin berkata lagi, “Langsung aja ya, mumpung
Ayah, Ibu dan Ena lagi pergi ke Indomaret.”, “Sebelumnya gue minta maaf karena
nggak tahu lo ada di depan pintu rumah itu dalam keadaan pingsan karena jantung
lo kambuh. Gue baru tahu dari Ren semalem. Bener deh hari itu, pas gue ke
lantai 1 rumah itu, ada yang memukul gue kencang dari belakang. Gue pingsan
seketika. Sebelum gue pingsan seratus persen, gue denger lo gebuk-gebuk pintu
di lantai 3 sambil teriak manggil nama gue, kan? Nah niat gue mau langsung
kesana, ternyata tenaga gue abis duluan. Gue terkapar. Dan gue nggak tahu lagi
keadaan lo di lantai 3.”
“Hmmm”, aku hanya bisa menjawab itu.
“Baru tadi malem di kamar rumah sakit tempat
lo di rawat, Ren menginterogasi gue secara langsung. Dia nanya banyak banget ke
gue.”
“Oke, nanti gue konfirmasi ke Ren gimana
jawaban lo ke Ren, siapa tahu aja lo bohong dan nggak sinkron cerita di gue dan
di dia! Coba ceritain tentang Jennifer!”, tanyaku penasaran.
“Silakan aja tanya sama Ren. Jawabannya sama
kok. Jennifer ya..….”, jawab Kak Davin ragu-ragu. “Apa gue harus menceritakan
tentang Jenni?”
Aku semakin geregetan mendengar Kakakku memanggil nama pendek Jennifer menjadi Jenni. “Yaiyalah harus banget!!”, sebelum
Kak Davin bercerita, aku mengikat rambutku.
“Hari itu kami akan merayakan ulang tahun
Jenni yang ke 16 tahun. Jenni dan sahabatnya pergi ke mall untuk membeli
beberapa makanan. Gue disuruh nunggu di rumah Jenni. Tapi mereka lama banget ke
mall sampe 8jam! Nggak wajar ‘kan sampe selama itu? Gue telepon ke nomor mereka
berdua, nggak aktif. Saat itu gue takut banget mereka kenapa-napa. Gue nggak
beranjak sedikitpun dari rumah Jenni, karena keluarganya juga nggak terlalu
peduli sama Jenni serta keberadaan gue. Dan esok paginya, gue dapet sms dari Jenni
begini….”, Kak Davin menunjukkan sebuah sms padaku.
Dav, maaf lama. Soalnya belanjaannya
banyak hehe. Aku lagi di sekolah, ada barang ketinggalan soalnya. Kita nggak
jadi pesta aja ya? Kamu pulang gih, udah malem.
Aku hanya
bisa mendengarkan cerita yang selama ini Kak Davin simpan sendiri. “Jenni memang
cantik banget, tapi sifatnya jauh dari kata cantik dan perkataannya agak kasar
dan hobbynya nyuruh-nyuruh orang disekitarnya tapi hatinya lembut banget. Dalam
sms itu, kata-katanya lumayan sopan. Jadi, aneh banget kalo itu sms dari Jenni.
Pasti dari orang lain. Dan……”
Ouwwhh! Sakit sekali mendengar deskripsi sifat Jennifer dari Kak Davin langsung.
Mereka memang memiliki hubungan khusus!
“Dan?”,
tanyaku dengan tampang bodoh.
Kak
Davin menegaskan, “Dan dalam sms ini ada kata ‘udah malem’, padahal sms
itu baru gue terima esok paginya!”, ohiya itu suatu kejanggalan!
“Kok
bisa smsnya baru sampe? Hape lo atau hapenya dia nih yang nggak ada sinyal?
haha”, aku mencoba mencairkan suasana, karena di ujung mata Kak Davin hampir
menetes air mata.
“Setelah
mendapat sms itu, gue dengan perasaan campur aduk langsung dateng ke sekolah.
Saat itu hari Sabtu dan kebetulan lagi nggak ada kegiatan ekskul, gue cari ke
semua ruangan di sekolah, nggak ketemu. Gue nggak nyerah gitu aja, berhari-hari
gue terus mencari. Di hari kelima, hari Kamis. Gue ketemu bercak darah di
selokan depan ruang Klub Jurnalistik, gedung A lantai 1. Meskipun gue ngilu
banget kalo ngeliat darah, gue tetap ikutin jejaknya itu. Bercak itu berhenti
di depan warung Bu Tuti. Terus gue…..”, dan inilah batasnya Kak Davin. Ia
menangis sambil terus bercerita.
“Duh,
lo jangan nangis dong Kak! Gue jadi mau nangis nih”, hiburku.
Kak
Davin menghela nafas, lalu kembali bercerita. “Gue nemuin surat bertuliskan kode-kode
diselipan pintu kecil di warung Bu Tuti.”, lagi-lagi Kak Davin menunjukkan selembar
surat, bukti insiden saat itu.
J.G-Tewas-Blk.19729
Jika
dibaca, aku juga mengerti maksud kode itu. Jennifer. G-Tewas-Blok.19 no 729.
Begitulah kira-kira (Yah Aku kan tidak tahu nama lengkap Jennifer).
“Gue mencari
rumah di blok 19 nomor 729. Gue mencari-cari lokasi itu tanpa bertanya pada
siapapun. Malemnya, gue baru berhasil menemukan rumah kosong itu. Tepat malem
jum’at. Gue menggeledah seluruh rumah itu, rumah yang nggak dikunci dari luar.
Di lantai 3, di gudang nggak terpake…… Gue….. Gue melihat peti mati…. Saat gue
lihat isinya, ITU JENNIFER! Masih memakai gaun warna hitamnya sejak dia pergi
ke mall. Jennifer terbujur kaku dan banyak luka lebam.... Di pinggir peti
banyak bongkahan es batu dan bunga mawar hitam.”, Kak Davin menangis sepuasnya
di hadapanku.
“Nama
panjang Jennifer siapa, Kak? Sahabatnya itu namanya….Risa bukan?”, aku dengan
hati-hati menyebut nama Risa. Yang menurutku sangat mencurigakan. Kemana Risa
saat itu? Kalau memang mereka sahabat, pastinya sang pembunuh akan membuat
kedua korbannya itu mati saat itu juga, kan? Mengapa hanya ada mayat beku
Jennifer disana? Lalu kemana mayat Risa? Yah, kemungkinan lainnya adalah Risa
bisa menyelamatkan dirinya. Ah! Aku
semakin tidak mengerti arti persahabatan kalau dihadapkan cerita begini.
“Jennifer Gunawan nama lengkapnya. Dari mana
lo tahu nama sahabatnya, Nel?”,
“Rahasia dong!”, jawabku sekenanya.
“Oke kalo rahasia. Sorry gue jadi nangis di
depan lo gini”, Kak Davin mengusap matanya yang merah.
“No
problem. Wajar kok lo nangis, Kak! Gue boleh nyimpen surat kode itu nggak?”,
Aku mengambil kertas itu dari tangan Kakakku.
“Nih simpen aja. Lo mau jadi detektif bareng
Ren, kan? Hahaha cieee ciee”, Aku tidak menjawabnya dan hanya bisa tersenyum. Disitulah
akhir penjelasan dari Kakakku. Misiku hampir sukses!
---000---
Aku berjalan menelusuri sebuah lorong di dalam
rumah paling besar di komplek Belanda, J. P. Coen. Blok 1 nomor 111. Rumah yang
satu ini sangat-sangat menyerupai istana! Dan menurutku rumah paling besar
(juga bernomor rumah istimewa) di antara rumah lainnya di komplek ini—kesamaannya
dengan rumah nomor 729 adalah rumah ini juga sudah tidak terpakai. Hanya saja,
rumah nomor 111 ini berlantai lima dan semua lantainya berkarpet merah—mungkin pengecualian
untuk toilet, yah aku belum melihat toilet disini sih.
Dua hari lalu, tepatnya hari Senin lagi-lagi
aku mendapat surat ancaman. Berbeda dari sebelumnya, surat yang kuterima Senin
sore itu tepat di atas mejaku di kelas. Dan semakin parah ancamannya. Ditulis dengan
darah segar dan ada menu kematian untukku serta ancaman berbau dendam. Juga ada
mayat kaki kucing (lagi)—dan aku harus membereskan itu sendirian, sebelumnya
kan aku dibantu oleh Ren. Sambil melangkahkan kaki di lorong panjang, aku membuka
lagi kertas itu.
Rabu,
23 Oktober 2013. Blok 1. No 111. Ini hanya permainan; “Lost or Death”. Jemputlah
kematianmu! Beling, benang, cambuk, pisau, pedang, peluru atau tambang,
pilihlah yang akan menghabiskan darahmu……………
NB: Rahasiakan surat ini dari siapapun. Atau mereka yang
mengetahuinya akan mati sia-sia karena salahmu!!
-Ttd, AKU-
Semakin ku baca, semakin merinding. Gila,
bukan? Pertanyaanku adalah; Siapa saja yang menerima surat seperti ini, selain
aku?! Apa hanya aku? Pasti ada orang lain. Bukan orang lain, sebut saja ‘pemain
lain’, jika di dalam surat itu disebutkan bahwa ‘Ini hanya permainan’. Kematian
bukanlah permainan! Yang membuat permainan ini—maksudku, yang membuat semua ini
seperti permainan—pasti sudah sinting, gila dan otaknya miring!
Dari kejauhan aku mendengar suara langkah
nyaring. Terdengar seperti suara sepatu ber-heels,
mungkin seorang wanita (ya, tentu hanya wanita yang memakai heels!). Sedangkan aku, hanya memakai
sepatu hitam dengan short dress berlengan
pendek serta cardigan lengan buntung
berwarna biru muda. Kali ini rambut panjangku lupa ku ikat dengan karet
tersayangku. Alhasil, rambut bergelombangku menjuntai panjang.
Saat aku mendekati sebuah tangga kayu di ujung
lorong ini (tangga yang terlihat sudah rapuh tanpa pegangan di pinggirnya), ada
suara dari speaker yang entah dari mana asalnya. Dan suara orang di speaker
seperti di samarkan dan mungkin agak di edit oleh ahli multimedia.
“Selamat datang
para pemain game Lost or Death. Semua pintu rumah ini sudah terkunci.
Perhatikan sekeliling anda jika tidak mau tersesat. Banyak jebakan yang
tersebar secara tersembunyi. Setengah jam lagi akan ada pemberitahuan seputar
cara bermain. Thank you!”,
Oh Tuhan! Seharusnya aku tidak datang ke tempat ini.
bagaimana jika aku melarikan diri saja? Tapi katanya semua pintu telah
terkunci. Lewat jendela atau ventilasi, pasti ada beberapa ventilasi yang
terbuka. Ya, benar!
Ketika aku mulai melangkah menaiki tangga kayu
di depanku, aku melihat sebuah kalung mutiara menempel pada dinding tepat di atas
anak tangga kesembilan. Perlahan aku menaiki satu-persatu anak tangga menuju
anak tangga kesembilan. Aku mulai meraihnya sambil berjinjit. Dapat! Aku berhasil menggapai kalung
itu, dan memegangnya di tangan kananku.
Kreekkk!
Suara apa itu? Kaki ku kehilangan
keseimbangan. Karena baru kusadari anak tangga yang tengah kupijak sudah lapuk
dan rapuh. Di atas anak tangga kesepuluh, ada sebuah roda kayu yang memiliki
banyak jari-jari—seperti roda pada kereta kuda zaman dulu. Tidak ada pegangan
lain, aku berusaha sekuat tenaga untuk memperkecil gerakanku. Tapi, aku juga
harus bergerak cepat dan meloncat ke anak tangga kesepuluh agar bisa meraih
roda kayu itu dan berpegangan disitu.
Hap! Dapat!
Tapi roda kayu itu tidak mampu menopang berat
tubuhku. Jemariku terus meraih pinggiran jari-jari pada roda itu. Sehingga roda
itu berputar kencang, dan kini tubuhku melayang di udara. Karena…..
Brukkk!
Kesembilan anak tangga dibawahku sudah roboh.
Baru kusadari ada beberapa benang yang melilit jemari kananku. Sakitnya bukan
main. Benang-benang putih itu terus berputar mengikuti arus roda kayu. Tubuhku pun
ikut berputar bagai ayunan.
Oh Tuhan… Sakit
sekali jariku…..
Seketika roda itu merenggang dari dinding. Hampir
menimpaku. Bukannya aku takut ketinggian, tapi jarak antara satu anak tangga ke
anak tangga yang lain sangat jauh. Jadi kira-kira aku berdiri menggelantung
sambil memegang roda ini dari ketinggian 3 meter. Roda ini semakin lama semakin
miring.
Brukkk!
Prang!
Aku jatuh dan tertimpa roda itu. Dan jari tanganku
mengeluarkan banyak sekali darah yang mengakibatkan daging di tanganku menimbul
keluar karena terlalu bergesekan dengan benang…………
------------------------------------------------------------------------------------------------
Hai
hai haiiiiiiii kalian!!!! Huaaawww rasanya lega banget udah bisa sampe sejauh ini
mengarangnya *dancing* hehehe :D
Lagi-lagi
maaf ya, aku perlu waktu lamaaaaaaaaaa banget untuk nyelesaiin part 5 ini.
Nggak apa-apa kan? Mana nih yang kepo?? Hohohoho
Capek loh nulisnya sampe mata rabun -_-
Selamat
membaca! Semoga bertambah kepo! Karena masih ada part 6 dan Epilog! ^o^
See you next time! Yeaaayy ^o^
Sincerely,
Airayase Shiina^^
Mini Story: "Kehilangan atau Kematian" (Part 4)
Cornela Rahwana
Aku
keluar dari persembunyianku di balik tong sampah jumbo. Aku melangkahkan kaki
mendekati sederetan warung yang sudah kosong melompong. Sesaat kemudian aku
memutar badanku untuk kembali pulang saja. Aku memutar tubuh lagi, melangkah ke
warung-warung itu lagi, lalu memutar badanku lagi untuk pulang. Kenapa aku jadi mondar-mandir terus seperti
setrika begini? Habisnya aku sedikit ragu, apakah orang yang sedang
kubuntuti itu memang benar kakakku atau orang lain. Yah, walaupun aku lumayan yakin
topi pet yang orang itu kenakan mirip sekali dengan topiku. Jika dipikir lagi,
bukankah topi seperti punyaku siapa saja bisa memilikinya? Soalnya, topi hitam
polos begitu memang pasaran.
Apa
sebaiknya aku menelepon Ibu, ya? Untuk memastikan Kak Davin ada di rumah atau
tidak—mungkin saja kakakku sedang berbaring lemas. Aku mengambil ponselku di
resleting depan tasku. Mencari nama “Ibu” di kontak. Lalu kutekan tombol
panggilan dengan gambar telepon berwarna hijau.
Suara
nada sambung. Ayolah bu, tolong cepat
diangkat! Ini demi mengungkap kecurigaanmu pada Kak Davin….
“Halo?”, akhirnya ibu mengangkat
panggilanku! Lho mengapa suara cowok?
“Ini
bukan Ibu?”, tanyaku pada suara di seberang sana.
“Bukan.
Ini…..”,
“Kasih hapenya ke Ena sini!”, terdengar
suara anak kecil di dekat penerima panggilanku.
“Padahal tadi kamu yang maksa Kakak buat angkat
teleponnya kan..…”,
“Aku berubah pikiran, tau!”
Bisa kubayangkan
disana sedang berebut memegang ponsel Ibu. Suara anak 9 tahun nan cempreng
mengambil alih panggilanku. Pasti itu adikku, Ena.
“ Halo, Kak Nela? Kaget nggak? Hihihi”, sungguh anak ini
minta dijitak!
“Ena,
tolong kasih ibu dong. Penting banget!”, perintahku.
“Ibu
lagi ke pasar. Hapenya lagi buat main game. Ehem!
Kak Nela nggak mau ngobrol sama pacar Kakak?”, dasar adik songong! Siapa yang dia maksud
pacarku? Teman saja aku tak punya.
“Dasar
tukang menyita hape Ibu! Ngapain ibu ke pasar sore gini, emang masih ada yang
jualan? Eh, tadi yang angkat pertama siapa?”, aku yakin itu bukan suara Kak
Davin.
Suara Ena terdengar sok di-cadel-cadel-kan dan menyebalkan.
“Gatau deh masih ada yang dagang apa enggak.
Ehem! Kak Nela nggak kenal cuala pacal cendili tadi? Cieeee lagi malahan
yaah cama Kak Ren?”, Demi semua nama imut
para bayi! Baru saja adikku menyebut nama Ren? Ena menyebut Ren adalah
pacarku?!
“HAH? REN?!
PACARKU?! Hiihh enak aja!”, adikku tertawa geli mendengar protesku.
Terlebih
penting, apa yang dilakukan Ren di rumahku? Mungkinkah dia seorang pedofil yang
berniat menculik adikku disaat ada kesempatan selagi ibuku pergi dan kakakku
sakit? Akhir-akhir ini memang sedang marak berita tentang kejahatan yang
menimpa anak kecil. Ya Tuhan, lindungilah
Ena…
“Ngapain dia disana, Dek? Rumah kita sepi ya?
Ya Tuhan, kamu enggak di apa-apain sama Ren, kan?! Ena?! JAWAB, Dek! HALO!!”,
tanyaku agak histeris.
“Halo juga.
Ini Ren, Ena langsung kabur. Jangan nuduh gue seenaknya! Gue cuma disuruh
ngejagain Ena. Tante Ika mau beli bahan-bahan buat masak soto, sesuai
permintaan Davin. Ada hal apa nelpon gue?”, Oh begitu rupanya, dia hanya
menjaga Ena. Bisa-bisanya dia mengucapkan kalimat terakhirnya dengan nada
keberatan, seolah-olah aku menelepon ke ponselnya, padahal itu ponsel ibuku!
“Sebenernya
aku males ngomong sama kamu. Tapi ini penting dan darurat, coba periksa Kak
Davin di kamarnya, ada atau engga?”, aku mengesampingkan soal ibuku dan alasan
ibu menyuruh Ren menjaga Ena. Nanti bisa kutanyakan setelah aku pulang, tentu
saja jika misiku ini sudah beres.
“Tadi
sih kata Ena, Davin dari pagi ngunci pintu kamar. Bentar, gue cek dulu”, mana mungkin
Kak Davin betah berlama-lama di kamarnya—walau dalam keadaan demam, dia
biasanya lebih suka berbaring di kasur kecil di ruang keluarga. Terlebih
kamarnya agak pengap, salah satu alasannya mengapa ia tidak senang berada di
kamarnya terlalu lama. Mencurigakan sekali, kan? Tentu!
“Tolong
cepet di cek, Ren!”
“Oke.
Ini gue lagi di kamarnya. Pintunya nggak terkunci ternyata. Nggak ada Davin.
Jendela kamarnya terbuka. Emang ada apa sih? Halo??”, Oh jadi begitu. Kak Davin meninggalkan jejak. Rencana melarikan diri
yang belum sempurna. Aku langsung putuskan sambungan panggilan tadi. Sekarang
sudah jelas, kakakku tidak ada di rumah dan pasti keluar dari jendela kamarnya.
Bisakah kakakku yang demam itu berkeliaran di luar rumah? Tapi mau pergi
kemana?
Oke, aku
akan melanjutkan penyelidikan ini. Kumasukkan ponselku ke dalam saku disisi
kiri celana olahragaku.
Kini
dengan mantap, aku melangkah melewati deretan warung di kantin. Aku memeriksa
satu persatu warung yang berjejer disini. Sambil menoreh kiri-kanan. Apa itu? Ada sebuah pintu kecil terbuat
dari kayu yang menempel pada sisi kanan dinding pada warung paling ujung.
Warung Bu Tuti, tempat langgananku membeli alat tulis. Pintu itu kecil sekali
dan hanya setinggi kurang lebih setengah meter, tertutup sebuah meja
panjang—biasanya meja itu selalu tertutup taplak meja yang merumbai hingga ke lantai.
Tapi setiap warung ditutup, pasti taplak itu juga dibawa oleh Bu Tuti.
Akibatnya, pintu kecil ini tidak tertutup apapun, alias terlihat sangat jelas
dari jarak sedekat ini. Mengapa aku tak pernah tahu ada pintu rahasia di sini?
Yah, iya sih aku kan jarang berlagak seperti detektif begini.
Kakakku
melenyapkan diri kemana dari kantin ini? Padahal pintu belakang sekolah berada
di belakang gedung C, bukan di sini, gedung A.
Oh Tuhan, bodohnya aku! Satu-satunya
dugaanku hanyalah….. Sudah pasti Kak Davin
memasuki pintu ini! Kenapa otakku baru berpikir cerdas sekarang?! Apakah
aku sudah tertinggal jauh dengannya?
Mendadak
aku jadi berpikir kakakku pasti menyembunyikan sesuatu yang sangat RAHASIA
hingga harus melakukan penyelundupan ini. Apa aku harus mencurigai keanehan
kakakku seperti kecurigaan ibu dan Ren
padanya? Tentu saja aku sangat curiga!
Maaf Kak Davin, sepertinya aku juga patut mencurigaimu.
Tidak masalah kan jika aku menyelidiki hal ini sendirian? Sepertinya tidak
masalah.
Aku
membungkukkan tubuh. Sesaat sebelum aku hendak membuka pintu kayu itu, rasanya
ada yang memperhatikanku dari arah koridor kantin. Biasanya memang banyak yang
masih mengikuti kegiatan ekstra kurikuler di gedung A ini. Tapi jarang ada yang
datang ke kantin, pasti semua warga SMA Pusaka tahu setiap hari Kamis sejak jam
tiga sore sudah sangat-sangat-super sangat-tidak boleh ada satu pun penjual di
kantin (Aku juga tidak tahu mengapa ada tradisi aneh itu. Tambahan, ada
peraturan kalau murid juga dilarang ke kantin di hari Kamis sore—tapi kali ini
aku melanggar). Apa ada yang membuntutiku? Tapi siapa? Kelima cewek yang
membully-ku tadi? Sepertinya bukan, lima orang terlalu banyak, hanya ada satu
orang disana. Atau orang lain yang berniat jahat? Sebaiknya aku sembunyi saja
daripada aku dilaporkan karena melanggar peraturan
aneh itu—jika aku ketahuan melanggar, aku akan mendapatkan sanksi membersihkan
toilet yang super bau. Mana mau aku membersihkan toilet!
Aku melihat
celah antara etalase dengan meja panjang tadi, lalu aku merangkak masuk ke
celah itu. Demi padatnya kota Jakarta,
celah ini jauh lebih, lebih super-duper-amit-amit sempitnya! Ugh! Aku susah
bergerak. Juga sulit memposisikan tubuhku agar tenggelam ke dalam celah ini. Haduh kepalaku gatal… Pasti karena air kolam
ikan yang sangat berlumut! Kepalaku
masih menimbul sedikit. Aku menggaruk kulit kepalaku yang berada dibawah ikat
rambutku. Pergerakanku pasti terlihat dari sana… Bagaimana ini? Aku ketahuan, kah?
“Woy
ngapain lo di situ? Jangan ngelanggar peraturan…..”, Ah, sial! Kenapa aku selalu cepat sekali ketahuan setiap ada moment
bersembunyi? Tapi tunggu, ada suara lain yang menyahuti suara tadi. Sayangnya,
aku kurang jelas mendengar suara mereka, seperti suara cowok tapi juga sedikit
terdengar seperti suara cewek. Wah jangan-jangan banci? Bwahahaha. Gila ya aku
masih sempat tertawa di saat genting begini! Habis, suara orang itu patut
dipertanyakan!
“Gue
nggak mau kaleee di hukum gara-gara datengin kantin. Tadi gue lihat ora…ng—Eh apa
kucing ya? Pokoknya lari ke warung Bu Tuti…..”, sumpah, aku berani jamin orang
itu sedang melindungiku! Atau mungkin memang matanya rabun jauh, tidak bisa
membedakan manusia dengan kucing. Bwahahahahaha. Ups, aku tertawa terlalu kencang. Spontan aku menutup mulutku
dengan tangan kiri—maklum, tangan kananku sibuk memeluk tasku. Posisiku saat
ini seperti tikus terjepit dengan posisi berjongkok.
“Yaelah
kalo kucing nggak usah diikutin!”,
“Oke
deh. Yuk latihan lagi. Tapi gue perlu beli minum…..”
Akhirnya
dua pengganggu tadi sudah berjalan pergi. Saatnya beraksi! Aku merangkak keluar
dari celah. Aku merangkak seperti bayi, lalu membuka pintu kayu rahasia dan
masuk ke dalamnya.
Tring! Seperti sihir!
Tiba-tiba
saja aku mendaratkan kakiku di atas tanah penuh rumput. Aku berada di sebuah
lapangan luas penuh rerumputan hijau, dekat gawang. Aku tidak percaya ini!
Dinding belakang warung Bu Tuti ternyata sangat istimewa!
Pintu kayu
rahasia itu langsung menembus ke daerah perumahan elite dengan bangunan bergaya
Eropa. Dua puluh meter di depanku ada tulisan “Perumahan Jan Pieterszoon
Coen-Blok 15”. Kalian pasti tidak asing dengan nama Pieterszoon Coen, kan? Yap, benar. Nama seorang kompeni kejam Negeri kita ratusan tahun
lalu yang berasal dari Belanda. Coen adalah
seorang Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda ke-4, atau lebih dikenal sebagai
Gubernur Jendral VOC. JP.Coen adalah orang yang menaklukan Jayakarta, lalu
mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia (Batavieren). Padahal tadi pagi baru
saja ulangan sejarah. Dan sekarang rasanya aku seperti masuk ke dalam masa lalu
penuh kolonial dan penjajahan. Kerennn! Aku
mulai menikmati penyelidikan ini!
Baik jarak
maupun perbedaan ukuran rumah-rumah disini, jauh sekali dengan rumahku. Mungkin
itu sebabnya Kak Davin menyusup ke sekolah daripada harus melewati jalur rumah
kami yang empat kali lebih jauh dan membuang ongkos lebih banyak—kalian pasti
tahu, orang yang sedang demam pasti tidak sekolah, dan kalau tidak sekolah
pasti tidak mendapat uang jajan—uang Kak Davin pasti pas-pasan. Apalagi
(mungkin saja), orang biasa atau orang luar yang tidak punya kerabat disini
tidak akan diperbolehkan masuk dari pintu utama perumahan elite seperti ini.
Karena sepertinya lapangan yang sedang ku pijak berada tepat di tengah wilayah
perumahan bernama tokoh penjajah Belanda ini.
Sekarang
aku harus menelusuri jejak Kak Davin kemana? Aku akan memulai dari blok 15
seperti tulisan di depanku. Kulihat kiri-kanan. Sepi. Kesempatan bagus bagiku. Nah!
Itu dia! Dari kejauhan aku melihat Kakakku berjalan cepat. Lalu dia
menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke belakang cukup lama. Gawat! Buru-buru
aku bersembunyi di balik pohon. Aku deg-degan bukan main. Sungguh, ini seperti
adegan di film! Saat aku melongok, Kak Davin lenyap dari pandanganku.
Cepat banget sih jalannya! Gue nggak bisa ngejar elo,
bro! Di antara perumahan gede banget gini pula!
Seorang
satpam muncul dari belakangku dan memiringkan kepalanya ke depan wajahku. “Kagak
bisa ngejar siape, Neng? Mengejar cinta sejati, ye?”, tidak kusangka suara
hatiku tadi kuucapkan dengan lantang.
“Waaaaaaaaaa!
Ampun pak, ampun! Saya bukan penyelundup! Eh? EEEHHHHHH?? Cinta sejati? Pak
Satpam lebay bahasanya!”, menggelikan bukan tiba-tiba digodain oleh satpam berlogat betawi, tepat mengenai sasaran pula!
“Duduk dulu
sini Neng, emang lagi ngapain dimari? Mao minum?”, kini aku duduk di sebuah
kursi dalam pos satpam. Lumayan sih diberikan minum, walau hanya air putih dan
rasa airnya agak pahit. Aku memang dehidrasi serta lelah sekali. Tapi bagaimana
dengan penyelidikan Kakakku? Aku mau menyerah saja deh. Lagipula hari sudah
semakin sore, bisa-bisa Ibu khawatir padaku.
“Itu Pak,
itu….. Emmm, ta-ta-tadi saya cuma mau manggil Kakak saya… Bapak liat cowok yang
tadi?”, kataku dengan tergagap.
“Cowok yang
mana? Bapak kagak ngeliat… Yaampun Neng pake gagap segalaan! Selow aje sama Pak
Udin. Nama neng siape?”, Satpam yang kira-kira berusia 40 tahun ini
mengakrabkan diri denganku.
“Nama saya
Nela. Pak, boleh nanya nggak?”,
“Itu aje
udah nanya neng, hahaha. Nanya ape lagi nih?”, benar juga sih, yang tadi itu
termasuk pertanyaan.
“Hahahaha
Bapak bisa aja. Ini perumahannya udah lama ya? Kok bangunannya kayak belanda
gitu sih? Trus nama jalannya juga nama kompeni? Ini beneran saya nggak
diperiksa identitas, Pak?”,
“Si Neng
Nela sekali nanya langsung banyak! Udah lama banget neng, Bapak aje kerja udeh
20 tahun dimari. Sebelom Bapak kerja dimari, emang udeh ada ini perumahannye! Kira-kira
udeh 150 tahun Neng… Iye emang bangunan Belanda, keren banget ye, Neng! Katanye
sih, yang punya seluruh tanah dimari masih keluarganye Coen….”, sudah kuduga, pasti ini bangunan tua.
“…..Nggak
ada pemeriksaan Neng kalo dimari mah, soalnye 5 tahun lalu udah diberhentiin
sistem kasta rakyat miskin-orang gedongan. Dulu nih ye, malahan nggak boleh ada
orang selaen keturunan Belanda yang tinggal dimari. Terus kalo orang miskin
masuk kemari harus diperiksa identitas, digeledah baju sama barang-barang yang
dibawanye, disuruh jadi budak selama tiga bulan. Ngeri banget deh! Bapak aje
dulu pernah ngerasain jadi budak. Hehehe tapi sekarang malah diangkat jadi
satpam di perumahan gedongan keren ini. Emang kenape Neng nanya begituan?”,
sungguh cerita yang terdengar nyata sekali, layaknya zaman penjajahan. Untung aku
kesini dengan peraturan sistem kasta yang telah dihapuskan. Bisa-bisa aku akan
menjadi budak! Oh Tuhan, pasti mengerikan,
memilukan, mengenaskan dan meruntuhkan kekokohan tulang-tulangku, jika
membayangkan aku yang seharusnya bersekolah malah memakai baju yang senantiasa
kusut dan hanya ada di dapur atau membersihkan rumah sebesar istana! Hiiiii
amit-amit.
“Cerita
nyata bukan tuh, Pak? Ntar Bapak mengarang doang sekaligus menipu anak polos
kayak saya! Hahahahaha”, aku tertawa, Pak Udin pun ikut tertawa.
“Hahahaha.
Beneran lah neng! Betewe, Neng Nela satu sekolahan sama Neng Tere?”, sahut Pak
Udin tiba-tiba dengan wajah serius.
“Oke deh
saya percaya. Loh kok Pak Udin tau?“, kataku seraya berdiri. Lalu aku melirik
jam dinding di sudut ruang sempit ini. Sudah jam empat sore.
“Kan baju
seragamnye sama! Tiap hari Neng Tere lewat jalan blok 15 jadi Pak Udin apal…”, Demi semua seragam sekolahku! Aku tidak
menyangka Tere tinggal disini.
“Tere
tinggal disini? Kalo boleh tahu, dimana rumahnya, Pak?”, tanyaku penasaran.
“Waduh,
maap bapak kurang tau deh. Neng Tere orangnye jutek banget sih, Pak Udin takut
nanyanye hehehe”, Pak Udin menjawab sambil tersipu.
“Hmmm gitu
ya…”, aku menganggukkan kepala.
“Neng Nela
nongol darimane? Pintu masuk pan jauh disebelah sono….”, Bagaimana jawabnya
nih? Haruskah aku jujur, masuk dari pintu rahasia di kantin sekolahku?
“Dari pintu
doraemon dong, Pak! Hehehehe… Makasih banyak ya Pak, saya harus ngejar kakak
saya nih...”, akupun berpamitan pada satpam kurus itu.
“Dasar
si Neng Nela….. Okeh, Pak Udin juga harus bertugas lagi”
---000---
Sudah
lebih dari setengah jam aku mengitari rumah-rumah di blok 15 ini. Tapi belum
kutemukan juga sosok kakakku. Kemana sih
Kak Davin? Rahasia apa sih yang dia sembunyikan?
Tunggu dulu, informasi yang
kuterima hari ini sudah cukup banyak. Mulai dari informasi yang diberikan
kelima cewek yang membullyku hingga sejarah tentang perumahan disini dari Pak
Satpam tadi. Semakin ditelaah, semuanya akan terlihat bagai kepingan puzzle yang hampir sempurna.
Dimulai
dari kelima cewek populer itu mengaku sebagai pelaku surat ancaman di loker Kak
Davin. Tetapi katanya, mereka bukan pembunuh mutilasi kucing yang
malang semalam. Hingga aku tidak boleh dekat-dekat dengan Kakakku, serta-merta
mengancamku akan melakukan tindakan berbahaya padaku, jika aku melanggarnya. Aku
jadi kesal kalau mengingat hal itu. Memangnya apa hak mereka melarangku
begitu?! Katanya mereka fans Almarhumah
Jennifer—siswi yang menjadi korban insiden misterius setahun lalu, sekaligus
dimataku mereka juga terlihat seperti fans kakakku. Tapi mereka malah membuat
surat ancaman pada Kakakku! Aneh! Harusnya mereka mengirim surat ancamannya
padaku, kalau ingin aku menjauh dari Kak Davin!
Demi seluruh kejadian dalam hidupku, ini namanya
misteri dibalik misteri! Ada satu lagi kecurigaanku. Jika Tere tinggal di
komplek Belanda ini. Sedangkan Kak Davin tiba-tiba melakukan pelarian secara
RAHASIA seperti sekarang. Dugaan sementaraku: Mereka melakukan pertemuan
RAHASIA, yang sangat bersifat RAHASIA serta pembahasannya RAHASIA!
Kalau
memang mereka melakukan pertemuan rahasia, apa yang mereka bahas? Mungkin tentang
jejak kematian Jennifer. Ya, mungkin benar. Mungkin juga tidak. Mungkin saja
membahas kisah cinta secara RAHASIA. Idih,
hoek!
Kita tidak bisa menutup mata
dari kemungkinan-kemungkinan yang ada, kan? Kini di dalam kepalaku penuh dengan
kata ‘RAHASIA’. Drett Drett…. Ponselku
bergetar. Ada sms rupanya.
Corn, lo dimana? Cepetan
pulang, ibu lo nyariin nih. Jangan terlalu kecapean!
Overprotective sekali manusia satu ini. Setelah
membaca pesan singkat dari Ren, kini aku jadi ragu. Haruskah aku pulang atau
melanjutkan misi yang kepalang tanggung ini? Aku mengetik balasan sms secepat
kilat.
Jangan mengkhawatirkanku. Setelah maghrib aku pulang.
Baiklah,
aku akan terus mencari Kak Davin, lalu pulang bersamanya. Tak jauh dari
tempatku berdiri, ada sebuah supermarket mini. Aku ingin membeli air putih
mineral. Aku berlari-lari kecil menuju kesana. Tebak siapa yang kulihat saat
ini di pintu masuk supermarket itu? TERE,
LIA DAN RANI!
Sedang
bermain dirumah Tere, kah? ATAU MEREKA BERTIGA MELAKUKAN PERTEMUAN RAHASIA
DENGAN KAK DAVIN, BUKAN HANYA TERE?? MUNGKINKAH?? Sembunyi. Sembunyi, aku harus
sembunyi. Gawat! Rani memergokiku. Apa yang harus kulakukan??
Rani
meneriakiku kencang sekali. “Nelaaa! Nelaaaaa!!”, aku pura-pura tidak
menjawabnya dan malah berlari menjauh dari mereka. Aku sudah tidak tahu lagi
dimana aku berada saat ini. Sepertinya sudah cukup jauh dari supermarket tadi. Juga sudah terlalu jauh dari pintu rahasia sekolahku,
tentu saja.
Hah hah hah… Ampun Ya Tuhan, aku sudah capek
lari begini. Jantungku jadi sakit. Aku yakin wajahku juga kusut, jangan
lupa badanku lengket bekas tercebur kolam.
Aku berdiri
tepat disamping tulisan ‘Perumahan Jan Pieterszoon Coen-Blok 29’. Sebanyak
inikah blok-blok di komplek elite? Berdirilah sebuah rumah bernomor 729. Menurutku
rumah ini sangat mencolok dan kelewat besar bagai istana sungguhan. Rasanya
ada yang mengamatiku dari jauh. Aku memalingkan wajah dengan cepat ke segala
arah. Tidak ada siapa-siapa. Horror!
Karena aku
terlalu kagum dengan bangunan elegan ala Belanda, aku mendekati rumah ini. Dari
pintu gerbang yang besar, tepat di depanku, ada taman luas penuh bunga mawar
merah, kuning dan hitam. Di dekat taman, ada sebuah tangga besar dengan karpet
merah diatasnya. Tanpa sadar, aku sudah berjalan mendekat ke pintu masuk. Aku memegang
gagang pintu. Lalu aku terperangah! Pintunya tidak terkunci sama sekali. Hebat sekali orang kaya, rumah sebesar ini
namun tidak dikunci sedikitpun! Mengundang pencuri-pencuri berbakat dengan
sukarela memasuki rumah mereka, lalu mencuri segala benda mewah yang ada!
Sebelum
masuk ke dalam, aku melihat jam tanganku. Gila,
cepat sekali sih sudah jam enam sore saja!
Ibu pasti khawatir kuadrat! Bagaimana tidak? Kedua anaknya terlambat pulang tanpa alasan yang jelas—bedanya, aku lebih mulia. Soalnya kakakku kan patut disebut ‘melarikan diri’. Ibu maaf aku harus pulang telat. Sesekali kan tidak apa-apa jadi anak yang kurang menurut orang tua. Hehehe…
Ibu pasti khawatir kuadrat! Bagaimana tidak? Kedua anaknya terlambat pulang tanpa alasan yang jelas—bedanya, aku lebih mulia. Soalnya kakakku kan patut disebut ‘melarikan diri’. Ibu maaf aku harus pulang telat. Sesekali kan tidak apa-apa jadi anak yang kurang menurut orang tua. Hehehe…
Aku membuka
pintu rumah besar ini. WOW! Berantakan sekali!
Lantainya kotor dan berkerak (kira-kira jika diukur, kerak itu bisa setebal
buku paket matematika ku yang tebal!). Pantas saja pintunya tidak terkunci. Ternyata
rumah kosong.
“Permisi-permisi...
Saya cuma mau lihat-lihat aja kok”, meski aku tahu tak akan ada yang menjawab,
aku tetap meminta izin. Ada ruang tamu dengan sofa yang besar berwarna coklat. Jendela
serta gorden bergaya eropa. Di dinding berjajar patung seni berkepala rusa,
harimau, badak dan kerbau. Sebuah televisi seukuran tubuh orang dewasa di pojok
ruang keluarga.
Tubuhku merinding.
Aku semakin merasa ada yang mengamatiku dari balik dinding disana. Dinding
berlubang dengan ukiran indah yang membatasi ruang makan dengan ruang keluarga.
Aku berjalan ke arah orang itu. Jantungku berdegup kaget saat melihat rambut
panjang terurai yang menyembul dari lubang dinding itu. Hantu, kah? Oh Tuhan, sungguh itu makhluk apa!
WAAAAAAAAAAAA!!!!!
Spontan aku berlari.
“Hai! What
are you doing here?”, seorang perempuan berambut pirang mengajakku berbicara. Hanya
anak kecil ternyata.
“Hah? No,
no. Yes, yes. Maaf aku nggak ngerti kamu bicara apa.”,
“Oh, maaf. Saya
Eline. Kamu siapa?”, tanya anak itu.
“Aku Nela. Ini
rumahmu?”,
“Ya. Aku sedang
menunggu keluargaku pulang malam ini. Mereka pergi meninggalkanku sendiri
disini, sudah enam bulan.”, kasihan sekali anak ini dia pasti kesepian.
“Malam ini?
Sebaiknya aku pulang…”, Eline menarik baju olahragaku.
“Jangan
pulang dulu! Coba naik ke lantai 3. Disana ada tempat tidurku. Tapi sedang
ditempati oleh seorang gadis seusiamu. Tolong suruh dia pulang juga.”, seorang
gadis? Apa sih maksud anak ini?
“Baiklah. Kamu
mau ikut naik bersamaku?”, anak itu hanya menggelengkan kepala tanpa menjawab. “Oke.
Tunggu disini ya, Eline…”,
Anak itu
tersenyum padaku, aku membalas senyumnya. Kemudian aku langsung bergegas naik
melewati tangga yang lantainya terbentang karpet merah. Tepat di atas kepalaku
ada sebuah lampu besar dan mengkilau. Mewah sekali. Aku menaiki tangga sambil
memegang pegangan tangganya. Kini aku sampai di lantai 2. Disini lebih kotor
dan bau daripada lantai 1. Lantai 2 hanya terdiri dari 3 buah kamar, kamar
mandi dan ada ruang olahraga beserta alat-alat fitness. Aku harus cepat pulang. Disini semakin mencekam. Aku memegang
leherku yang tengah merinding disko.
Aku menaiki
tangga lagi, dengan mempercepat langkahku. Dan benar saja dugaanku! Lantai 3
jauh lebih kotor, bau, pengap, serta semua perabotan rumah berantakan. Ada sebagian
perabotan yang justru seperti puing-puing. Contoh: ada sebuah meja kayu jati
yang retak dan patah. Tinggal separuh bagian. Pasti bagian lainnya yang sedang kuinjak.
Aku berjongkok. Memungut puing-puing meja kayu itu. Mengapa ada bunga mawar
hitam? Bukan hanya 1, tapi banyak! Anehnya bunga mawar itu berjajar setiap 1
meter bagai sebuah jejak. Aku memungut semua bunga mawar hitam itu hingga bunga
mawar hitam yang terakhir. Bunga mawar hitam yang berada tepat di depan sebuah
pintu. Oh tentu saja pasti ini ruangan yang dimaksud anak kecil tadi, Eline!
Aku menarik
napas, lalu kuhembuskan. Aku mengencangkan kuncir ekor kudaku. Ancang-ancang
yang terlalu banyak. Tapi persiapan memang yang terpenting. Siapkan dirimu dengan apa yang ada di dalam
sana, Nela! Perlahan aku membuka pintu dihadapanku.
Kreeeeekk!
Tidak
biasanya sebuah pintu di rumah gedong seperti ini mengernyit kencang. Aku mengintip
sedikit. Aku mengusap mataku, jika saja yang kulihat kini hanya ilusi. Demi semua keajaiban dunia, tidakkah aku
salah melihat?! Di depan mataku duduklah seorang cowok sambil
memunggungiku. Ia duduk di atas sebuah kursi plastik (seperti kursi abang-abang
bakso). Itu Kak Davin! Tidak diragukan lagi. Itu pasti Kakakku! Aku yakin
karena dia memang memakai pakaian serba hitam, dan topi pet hitam punyaku. Apa
yang dia lakukan di dalam ruangan gelap itu? Terlebih, apa yang ada di depannya
itu? Sebuah meja panjang? Oh! Pasti tempat
tidur Eline!
Bukankah
aneh, sebuah tempat tidur bisa terhalang hanya dengan seorang Kakakakku? Sekecil
apa tempat tidur si Eline? Sebesar apa tubuh Kakakku? Aku semakin
menenggelamkan kepalaku ke sela-sela pintu. Kebetulan kakakku menggeser posisi
kursinya. Oh Tuhan! Itu peti mati! Bagaimana
bisa Eline tidur didalam peti mati?
AKU BARU INGAT INI MALAM JUM'AT!
Seketika kakiku jadi melemas. Jantungku semakin kencang berlari di dalam rongganya. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Ini pasti mimpi buruk. Ayo, Nela bangun dari tidurmu! Aku mencubit pipiku, sakit. Aku menampar pipiku, sakit. Ini kenyataan. Eline bukan lagi seorang manusia yang masih hidup. Lalu siapa gadis seusiaku yang berada di dalam peti itu sekarang? Pikiranku kacau dan tak bisa berpikir jernih. Aku mau pulang. Aku harus pulang. Tapi sudah gelap. Bagaimana ini?
Seketika kakiku jadi melemas. Jantungku semakin kencang berlari di dalam rongganya. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Ini pasti mimpi buruk. Ayo, Nela bangun dari tidurmu! Aku mencubit pipiku, sakit. Aku menampar pipiku, sakit. Ini kenyataan. Eline bukan lagi seorang manusia yang masih hidup. Lalu siapa gadis seusiaku yang berada di dalam peti itu sekarang? Pikiranku kacau dan tak bisa berpikir jernih. Aku mau pulang. Aku harus pulang. Tapi sudah gelap. Bagaimana ini?
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa aku mau pulang!
Lagi-lagi
suara teriakan hatiku menjerit dengan keras. Tiba-tiba ada yang berdiri
dihadapanku. Memegang kepalaku.
“Nela?? Kok
bisa sampe kesini??”, suara yang sangat kukenali. Suara Kak Davin.
“Gue
ngikutin elo, Kak! Lo ngapain sih pake acara ngabur dari rumah? Lo lagi demam
kak, tau diri dong!”,
“Gue begini
juga karena gue tau diri kok, Nel. Yuk pulang.”, enak sekali dia langsung
mengajakku pulang! Aku masih shock dan
kepo dengan peti mati disana!
“Enak aja! Gue
mau liat ruangan itu! Gue punya misi penting dari anak kecil di lantai 1”,
kataku dengan lantang menatap tajam penuh dendam pada Kak Davin.
“Please,
Nel jangan liat peti itu.”, kakakku memohon dengan wajah mengenaskan. Dasar
bodoh! Tingkahnya membuatku semakin tambah kepo saja! “Anak kecil di lantai 1?
Emang ada anak kecil ya? Gue kesini nggak ada tuh.”, sumpah aku juga tak yakin
dengan pertanyaan ini.
“Ada kok!
Namanya Eline. Dia nyuruh gue melihat tempat tidurnya ini…..”, aku berkata
sambil melangkah masuk ke dalam ruangan gelap dan pengap itu. Aku berada tepat
di hadapan sebuah peti yang tadi terhalang tubuh kakakku. Aku bisa melihat peti
itu dengan jelas sekarang. AKU TIDAK PERCAYA INI. SUNGGUH. SUMPAH. Ada seorang
gadis berambut hitam panjang terbaring di dalamnya! Gadis itu tidur sangat
manis dengan baju long dress hitam. Kedua
tangannya berada rapih tepat di atas perutnya. Wajahnya pucat pasi. Di sekeliling
peti itu banyak bunga mawar hitam, dan kepingan es batu. Hah? Es batu? Mayat!
“Nela? Lo nggak apa-apa kan?”,
“Bisa
jelasin soal semua ini?”, seketika aku jatuh bersamaan dengan air mataku yang
mengalir dingin.
“Lo siap
kan sama semua hal yang akan gue kasih tau? Kayaknya lo nggak siap deh. Mau
minum dulu?”, harusnya sedari tadi dia menawarkanku minum!
“Iya. Gue haus
banget.”, Kak Davin menyodorkan sebuah air mineral botol, masih tersegel. Syukurlah
aku merasa sedikit bertenaga.
“Nel, bibir
lo pucet banget. Warna biru gitu… Jangan-jangan sakit jantung lo kumat ya?”, Kak
Davin mengamati wajahku. Aku sungguh baru tahu kalau aku punya penyakit
jantung. Apa Ibu selalu merahasiakan soal ini dariku? Kenapa sih semua orang
hebat bisa main rahasia-rahasia segala! Sedangkan aku tidak bisa menyimpan
rahasia, karena sifatku yang terlalu jujur dan terus terang.
“Tujuan lo
apa dateng kesini, Kak?”, tidak ada jawaban.
“Untuk apa
main rahasia-rahasiaan begini?! Enggak cuma elo, tapi ibu juga keliatan menyimpan
rahasia dari gue. Kalian nyimpen rahasia dibelakang gue!” ,“Siapa cewek di
dalem peti itu??”, “Apa maksudnya gue
punya sakit jantung??!”, aku tak tahan lagi. Aku menangis juga.
“Maaf, Nela.
Gue keceplosan soal sakit jantung lo.”, jadi yang tadi itu hanya keceplosan? Itu bahkan lebih
menyakitkan. “Cewek itu adalah……..”,
“Siapa?!”,
tanyaku sambil memukul lengan kakakku. Aku kesal bukan main. Dia mengambil jeda
panjang yang lumayan lama. Kalimatnya dilanjutkan.
“…………...Cewek
korban insiden setahun yang lalu. Itu Jennifer.”,
APA??
~Bersambung~
----------------------------------------------------------------------------------------------
~Bersambung~
----------------------------------------------------------------------------------------------
Hai para readers! Senang bisa menyapa kalian lagi disni!
Maaf seribu maaf buat kalian nih, naskah part 4 baru
dirilis (halah dirilis, bahasamu ra :v). Karena banyak kesibukan yang aku
alamin, terus juga karena baru selesai berduka cita hehehe :D Maaf lagi kalo
ceritanya kepanjangan! Btw kalo ada typo sedikit, harap maklum pffttt :v
Selamat membaca! Enjoy it! Semakin
penasaran ya sama lanjutannya, HARUS penasaran!
See you next time! Yeaaayy! ^o^
Sincerely,
Airayase Shiina ^^