- Back to Home »
- MiniStory »
- Mini Story: "Kehilangan atau Kematian" (Part 4)
Posted by : Airayase Shiina
29 Jan 2015
Cornela Rahwana
Aku
keluar dari persembunyianku di balik tong sampah jumbo. Aku melangkahkan kaki
mendekati sederetan warung yang sudah kosong melompong. Sesaat kemudian aku
memutar badanku untuk kembali pulang saja. Aku memutar tubuh lagi, melangkah ke
warung-warung itu lagi, lalu memutar badanku lagi untuk pulang. Kenapa aku jadi mondar-mandir terus seperti
setrika begini? Habisnya aku sedikit ragu, apakah orang yang sedang
kubuntuti itu memang benar kakakku atau orang lain. Yah, walaupun aku lumayan yakin
topi pet yang orang itu kenakan mirip sekali dengan topiku. Jika dipikir lagi,
bukankah topi seperti punyaku siapa saja bisa memilikinya? Soalnya, topi hitam
polos begitu memang pasaran.
Apa
sebaiknya aku menelepon Ibu, ya? Untuk memastikan Kak Davin ada di rumah atau
tidak—mungkin saja kakakku sedang berbaring lemas. Aku mengambil ponselku di
resleting depan tasku. Mencari nama “Ibu” di kontak. Lalu kutekan tombol
panggilan dengan gambar telepon berwarna hijau.
Suara
nada sambung. Ayolah bu, tolong cepat
diangkat! Ini demi mengungkap kecurigaanmu pada Kak Davin….
“Halo?”, akhirnya ibu mengangkat
panggilanku! Lho mengapa suara cowok?
“Ini
bukan Ibu?”, tanyaku pada suara di seberang sana.
“Bukan.
Ini…..”,
“Kasih hapenya ke Ena sini!”, terdengar
suara anak kecil di dekat penerima panggilanku.
“Padahal tadi kamu yang maksa Kakak buat angkat
teleponnya kan..…”,
“Aku berubah pikiran, tau!”
Bisa kubayangkan
disana sedang berebut memegang ponsel Ibu. Suara anak 9 tahun nan cempreng
mengambil alih panggilanku. Pasti itu adikku, Ena.
“ Halo, Kak Nela? Kaget nggak? Hihihi”, sungguh anak ini
minta dijitak!
“Ena,
tolong kasih ibu dong. Penting banget!”, perintahku.
“Ibu
lagi ke pasar. Hapenya lagi buat main game. Ehem!
Kak Nela nggak mau ngobrol sama pacar Kakak?”, dasar adik songong! Siapa yang dia maksud
pacarku? Teman saja aku tak punya.
“Dasar
tukang menyita hape Ibu! Ngapain ibu ke pasar sore gini, emang masih ada yang
jualan? Eh, tadi yang angkat pertama siapa?”, aku yakin itu bukan suara Kak
Davin.
Suara Ena terdengar sok di-cadel-cadel-kan dan menyebalkan.
“Gatau deh masih ada yang dagang apa enggak.
Ehem! Kak Nela nggak kenal cuala pacal cendili tadi? Cieeee lagi malahan
yaah cama Kak Ren?”, Demi semua nama imut
para bayi! Baru saja adikku menyebut nama Ren? Ena menyebut Ren adalah
pacarku?!
“HAH? REN?!
PACARKU?! Hiihh enak aja!”, adikku tertawa geli mendengar protesku.
Terlebih
penting, apa yang dilakukan Ren di rumahku? Mungkinkah dia seorang pedofil yang
berniat menculik adikku disaat ada kesempatan selagi ibuku pergi dan kakakku
sakit? Akhir-akhir ini memang sedang marak berita tentang kejahatan yang
menimpa anak kecil. Ya Tuhan, lindungilah
Ena…
“Ngapain dia disana, Dek? Rumah kita sepi ya?
Ya Tuhan, kamu enggak di apa-apain sama Ren, kan?! Ena?! JAWAB, Dek! HALO!!”,
tanyaku agak histeris.
“Halo juga.
Ini Ren, Ena langsung kabur. Jangan nuduh gue seenaknya! Gue cuma disuruh
ngejagain Ena. Tante Ika mau beli bahan-bahan buat masak soto, sesuai
permintaan Davin. Ada hal apa nelpon gue?”, Oh begitu rupanya, dia hanya
menjaga Ena. Bisa-bisanya dia mengucapkan kalimat terakhirnya dengan nada
keberatan, seolah-olah aku menelepon ke ponselnya, padahal itu ponsel ibuku!
“Sebenernya
aku males ngomong sama kamu. Tapi ini penting dan darurat, coba periksa Kak
Davin di kamarnya, ada atau engga?”, aku mengesampingkan soal ibuku dan alasan
ibu menyuruh Ren menjaga Ena. Nanti bisa kutanyakan setelah aku pulang, tentu
saja jika misiku ini sudah beres.
“Tadi
sih kata Ena, Davin dari pagi ngunci pintu kamar. Bentar, gue cek dulu”, mana mungkin
Kak Davin betah berlama-lama di kamarnya—walau dalam keadaan demam, dia
biasanya lebih suka berbaring di kasur kecil di ruang keluarga. Terlebih
kamarnya agak pengap, salah satu alasannya mengapa ia tidak senang berada di
kamarnya terlalu lama. Mencurigakan sekali, kan? Tentu!
“Tolong
cepet di cek, Ren!”
“Oke.
Ini gue lagi di kamarnya. Pintunya nggak terkunci ternyata. Nggak ada Davin.
Jendela kamarnya terbuka. Emang ada apa sih? Halo??”, Oh jadi begitu. Kak Davin meninggalkan jejak. Rencana melarikan diri
yang belum sempurna. Aku langsung putuskan sambungan panggilan tadi. Sekarang
sudah jelas, kakakku tidak ada di rumah dan pasti keluar dari jendela kamarnya.
Bisakah kakakku yang demam itu berkeliaran di luar rumah? Tapi mau pergi
kemana?
Oke, aku
akan melanjutkan penyelidikan ini. Kumasukkan ponselku ke dalam saku disisi
kiri celana olahragaku.
Kini
dengan mantap, aku melangkah melewati deretan warung di kantin. Aku memeriksa
satu persatu warung yang berjejer disini. Sambil menoreh kiri-kanan. Apa itu? Ada sebuah pintu kecil terbuat
dari kayu yang menempel pada sisi kanan dinding pada warung paling ujung.
Warung Bu Tuti, tempat langgananku membeli alat tulis. Pintu itu kecil sekali
dan hanya setinggi kurang lebih setengah meter, tertutup sebuah meja
panjang—biasanya meja itu selalu tertutup taplak meja yang merumbai hingga ke lantai.
Tapi setiap warung ditutup, pasti taplak itu juga dibawa oleh Bu Tuti.
Akibatnya, pintu kecil ini tidak tertutup apapun, alias terlihat sangat jelas
dari jarak sedekat ini. Mengapa aku tak pernah tahu ada pintu rahasia di sini?
Yah, iya sih aku kan jarang berlagak seperti detektif begini.
Kakakku
melenyapkan diri kemana dari kantin ini? Padahal pintu belakang sekolah berada
di belakang gedung C, bukan di sini, gedung A.
Oh Tuhan, bodohnya aku! Satu-satunya
dugaanku hanyalah….. Sudah pasti Kak Davin
memasuki pintu ini! Kenapa otakku baru berpikir cerdas sekarang?! Apakah
aku sudah tertinggal jauh dengannya?
Mendadak
aku jadi berpikir kakakku pasti menyembunyikan sesuatu yang sangat RAHASIA
hingga harus melakukan penyelundupan ini. Apa aku harus mencurigai keanehan
kakakku seperti kecurigaan ibu dan Ren
padanya? Tentu saja aku sangat curiga!
Maaf Kak Davin, sepertinya aku juga patut mencurigaimu.
Tidak masalah kan jika aku menyelidiki hal ini sendirian? Sepertinya tidak
masalah.
Aku
membungkukkan tubuh. Sesaat sebelum aku hendak membuka pintu kayu itu, rasanya
ada yang memperhatikanku dari arah koridor kantin. Biasanya memang banyak yang
masih mengikuti kegiatan ekstra kurikuler di gedung A ini. Tapi jarang ada yang
datang ke kantin, pasti semua warga SMA Pusaka tahu setiap hari Kamis sejak jam
tiga sore sudah sangat-sangat-super sangat-tidak boleh ada satu pun penjual di
kantin (Aku juga tidak tahu mengapa ada tradisi aneh itu. Tambahan, ada
peraturan kalau murid juga dilarang ke kantin di hari Kamis sore—tapi kali ini
aku melanggar). Apa ada yang membuntutiku? Tapi siapa? Kelima cewek yang
membully-ku tadi? Sepertinya bukan, lima orang terlalu banyak, hanya ada satu
orang disana. Atau orang lain yang berniat jahat? Sebaiknya aku sembunyi saja
daripada aku dilaporkan karena melanggar peraturan
aneh itu—jika aku ketahuan melanggar, aku akan mendapatkan sanksi membersihkan
toilet yang super bau. Mana mau aku membersihkan toilet!
Aku melihat
celah antara etalase dengan meja panjang tadi, lalu aku merangkak masuk ke
celah itu. Demi padatnya kota Jakarta,
celah ini jauh lebih, lebih super-duper-amit-amit sempitnya! Ugh! Aku susah
bergerak. Juga sulit memposisikan tubuhku agar tenggelam ke dalam celah ini. Haduh kepalaku gatal… Pasti karena air kolam
ikan yang sangat berlumut! Kepalaku
masih menimbul sedikit. Aku menggaruk kulit kepalaku yang berada dibawah ikat
rambutku. Pergerakanku pasti terlihat dari sana… Bagaimana ini? Aku ketahuan, kah?
“Woy
ngapain lo di situ? Jangan ngelanggar peraturan…..”, Ah, sial! Kenapa aku selalu cepat sekali ketahuan setiap ada moment
bersembunyi? Tapi tunggu, ada suara lain yang menyahuti suara tadi. Sayangnya,
aku kurang jelas mendengar suara mereka, seperti suara cowok tapi juga sedikit
terdengar seperti suara cewek. Wah jangan-jangan banci? Bwahahaha. Gila ya aku
masih sempat tertawa di saat genting begini! Habis, suara orang itu patut
dipertanyakan!
“Gue
nggak mau kaleee di hukum gara-gara datengin kantin. Tadi gue lihat ora…ng—Eh apa
kucing ya? Pokoknya lari ke warung Bu Tuti…..”, sumpah, aku berani jamin orang
itu sedang melindungiku! Atau mungkin memang matanya rabun jauh, tidak bisa
membedakan manusia dengan kucing. Bwahahahahaha. Ups, aku tertawa terlalu kencang. Spontan aku menutup mulutku
dengan tangan kiri—maklum, tangan kananku sibuk memeluk tasku. Posisiku saat
ini seperti tikus terjepit dengan posisi berjongkok.
“Yaelah
kalo kucing nggak usah diikutin!”,
“Oke
deh. Yuk latihan lagi. Tapi gue perlu beli minum…..”
Akhirnya
dua pengganggu tadi sudah berjalan pergi. Saatnya beraksi! Aku merangkak keluar
dari celah. Aku merangkak seperti bayi, lalu membuka pintu kayu rahasia dan
masuk ke dalamnya.
Tring! Seperti sihir!
Tiba-tiba
saja aku mendaratkan kakiku di atas tanah penuh rumput. Aku berada di sebuah
lapangan luas penuh rerumputan hijau, dekat gawang. Aku tidak percaya ini!
Dinding belakang warung Bu Tuti ternyata sangat istimewa!
Pintu kayu
rahasia itu langsung menembus ke daerah perumahan elite dengan bangunan bergaya
Eropa. Dua puluh meter di depanku ada tulisan “Perumahan Jan Pieterszoon
Coen-Blok 15”. Kalian pasti tidak asing dengan nama Pieterszoon Coen, kan? Yap, benar. Nama seorang kompeni kejam Negeri kita ratusan tahun
lalu yang berasal dari Belanda. Coen adalah
seorang Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda ke-4, atau lebih dikenal sebagai
Gubernur Jendral VOC. JP.Coen adalah orang yang menaklukan Jayakarta, lalu
mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia (Batavieren). Padahal tadi pagi baru
saja ulangan sejarah. Dan sekarang rasanya aku seperti masuk ke dalam masa lalu
penuh kolonial dan penjajahan. Kerennn! Aku
mulai menikmati penyelidikan ini!
Baik jarak
maupun perbedaan ukuran rumah-rumah disini, jauh sekali dengan rumahku. Mungkin
itu sebabnya Kak Davin menyusup ke sekolah daripada harus melewati jalur rumah
kami yang empat kali lebih jauh dan membuang ongkos lebih banyak—kalian pasti
tahu, orang yang sedang demam pasti tidak sekolah, dan kalau tidak sekolah
pasti tidak mendapat uang jajan—uang Kak Davin pasti pas-pasan. Apalagi
(mungkin saja), orang biasa atau orang luar yang tidak punya kerabat disini
tidak akan diperbolehkan masuk dari pintu utama perumahan elite seperti ini.
Karena sepertinya lapangan yang sedang ku pijak berada tepat di tengah wilayah
perumahan bernama tokoh penjajah Belanda ini.
Sekarang
aku harus menelusuri jejak Kak Davin kemana? Aku akan memulai dari blok 15
seperti tulisan di depanku. Kulihat kiri-kanan. Sepi. Kesempatan bagus bagiku. Nah!
Itu dia! Dari kejauhan aku melihat Kakakku berjalan cepat. Lalu dia
menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke belakang cukup lama. Gawat! Buru-buru
aku bersembunyi di balik pohon. Aku deg-degan bukan main. Sungguh, ini seperti
adegan di film! Saat aku melongok, Kak Davin lenyap dari pandanganku.
Cepat banget sih jalannya! Gue nggak bisa ngejar elo,
bro! Di antara perumahan gede banget gini pula!
Seorang
satpam muncul dari belakangku dan memiringkan kepalanya ke depan wajahku. “Kagak
bisa ngejar siape, Neng? Mengejar cinta sejati, ye?”, tidak kusangka suara
hatiku tadi kuucapkan dengan lantang.
“Waaaaaaaaaa!
Ampun pak, ampun! Saya bukan penyelundup! Eh? EEEHHHHHH?? Cinta sejati? Pak
Satpam lebay bahasanya!”, menggelikan bukan tiba-tiba digodain oleh satpam berlogat betawi, tepat mengenai sasaran pula!
“Duduk dulu
sini Neng, emang lagi ngapain dimari? Mao minum?”, kini aku duduk di sebuah
kursi dalam pos satpam. Lumayan sih diberikan minum, walau hanya air putih dan
rasa airnya agak pahit. Aku memang dehidrasi serta lelah sekali. Tapi bagaimana
dengan penyelidikan Kakakku? Aku mau menyerah saja deh. Lagipula hari sudah
semakin sore, bisa-bisa Ibu khawatir padaku.
“Itu Pak,
itu….. Emmm, ta-ta-tadi saya cuma mau manggil Kakak saya… Bapak liat cowok yang
tadi?”, kataku dengan tergagap.
“Cowok yang
mana? Bapak kagak ngeliat… Yaampun Neng pake gagap segalaan! Selow aje sama Pak
Udin. Nama neng siape?”, Satpam yang kira-kira berusia 40 tahun ini
mengakrabkan diri denganku.
“Nama saya
Nela. Pak, boleh nanya nggak?”,
“Itu aje
udah nanya neng, hahaha. Nanya ape lagi nih?”, benar juga sih, yang tadi itu
termasuk pertanyaan.
“Hahahaha
Bapak bisa aja. Ini perumahannya udah lama ya? Kok bangunannya kayak belanda
gitu sih? Trus nama jalannya juga nama kompeni? Ini beneran saya nggak
diperiksa identitas, Pak?”,
“Si Neng
Nela sekali nanya langsung banyak! Udah lama banget neng, Bapak aje kerja udeh
20 tahun dimari. Sebelom Bapak kerja dimari, emang udeh ada ini perumahannye! Kira-kira
udeh 150 tahun Neng… Iye emang bangunan Belanda, keren banget ye, Neng! Katanye
sih, yang punya seluruh tanah dimari masih keluarganye Coen….”, sudah kuduga, pasti ini bangunan tua.
“…..Nggak
ada pemeriksaan Neng kalo dimari mah, soalnye 5 tahun lalu udah diberhentiin
sistem kasta rakyat miskin-orang gedongan. Dulu nih ye, malahan nggak boleh ada
orang selaen keturunan Belanda yang tinggal dimari. Terus kalo orang miskin
masuk kemari harus diperiksa identitas, digeledah baju sama barang-barang yang
dibawanye, disuruh jadi budak selama tiga bulan. Ngeri banget deh! Bapak aje
dulu pernah ngerasain jadi budak. Hehehe tapi sekarang malah diangkat jadi
satpam di perumahan gedongan keren ini. Emang kenape Neng nanya begituan?”,
sungguh cerita yang terdengar nyata sekali, layaknya zaman penjajahan. Untung aku
kesini dengan peraturan sistem kasta yang telah dihapuskan. Bisa-bisa aku akan
menjadi budak! Oh Tuhan, pasti mengerikan,
memilukan, mengenaskan dan meruntuhkan kekokohan tulang-tulangku, jika
membayangkan aku yang seharusnya bersekolah malah memakai baju yang senantiasa
kusut dan hanya ada di dapur atau membersihkan rumah sebesar istana! Hiiiii
amit-amit.
“Cerita
nyata bukan tuh, Pak? Ntar Bapak mengarang doang sekaligus menipu anak polos
kayak saya! Hahahahaha”, aku tertawa, Pak Udin pun ikut tertawa.
“Hahahaha.
Beneran lah neng! Betewe, Neng Nela satu sekolahan sama Neng Tere?”, sahut Pak
Udin tiba-tiba dengan wajah serius.
“Oke deh
saya percaya. Loh kok Pak Udin tau?“, kataku seraya berdiri. Lalu aku melirik
jam dinding di sudut ruang sempit ini. Sudah jam empat sore.
“Kan baju
seragamnye sama! Tiap hari Neng Tere lewat jalan blok 15 jadi Pak Udin apal…”, Demi semua seragam sekolahku! Aku tidak
menyangka Tere tinggal disini.
“Tere
tinggal disini? Kalo boleh tahu, dimana rumahnya, Pak?”, tanyaku penasaran.
“Waduh,
maap bapak kurang tau deh. Neng Tere orangnye jutek banget sih, Pak Udin takut
nanyanye hehehe”, Pak Udin menjawab sambil tersipu.
“Hmmm gitu
ya…”, aku menganggukkan kepala.
“Neng Nela
nongol darimane? Pintu masuk pan jauh disebelah sono….”, Bagaimana jawabnya
nih? Haruskah aku jujur, masuk dari pintu rahasia di kantin sekolahku?
“Dari pintu
doraemon dong, Pak! Hehehehe… Makasih banyak ya Pak, saya harus ngejar kakak
saya nih...”, akupun berpamitan pada satpam kurus itu.
“Dasar
si Neng Nela….. Okeh, Pak Udin juga harus bertugas lagi”
---000---
Sudah
lebih dari setengah jam aku mengitari rumah-rumah di blok 15 ini. Tapi belum
kutemukan juga sosok kakakku. Kemana sih
Kak Davin? Rahasia apa sih yang dia sembunyikan?
Tunggu dulu, informasi yang
kuterima hari ini sudah cukup banyak. Mulai dari informasi yang diberikan
kelima cewek yang membullyku hingga sejarah tentang perumahan disini dari Pak
Satpam tadi. Semakin ditelaah, semuanya akan terlihat bagai kepingan puzzle yang hampir sempurna.
Dimulai
dari kelima cewek populer itu mengaku sebagai pelaku surat ancaman di loker Kak
Davin. Tetapi katanya, mereka bukan pembunuh mutilasi kucing yang
malang semalam. Hingga aku tidak boleh dekat-dekat dengan Kakakku, serta-merta
mengancamku akan melakukan tindakan berbahaya padaku, jika aku melanggarnya. Aku
jadi kesal kalau mengingat hal itu. Memangnya apa hak mereka melarangku
begitu?! Katanya mereka fans Almarhumah
Jennifer—siswi yang menjadi korban insiden misterius setahun lalu, sekaligus
dimataku mereka juga terlihat seperti fans kakakku. Tapi mereka malah membuat
surat ancaman pada Kakakku! Aneh! Harusnya mereka mengirim surat ancamannya
padaku, kalau ingin aku menjauh dari Kak Davin!
Demi seluruh kejadian dalam hidupku, ini namanya
misteri dibalik misteri! Ada satu lagi kecurigaanku. Jika Tere tinggal di
komplek Belanda ini. Sedangkan Kak Davin tiba-tiba melakukan pelarian secara
RAHASIA seperti sekarang. Dugaan sementaraku: Mereka melakukan pertemuan
RAHASIA, yang sangat bersifat RAHASIA serta pembahasannya RAHASIA!
Kalau
memang mereka melakukan pertemuan rahasia, apa yang mereka bahas? Mungkin tentang
jejak kematian Jennifer. Ya, mungkin benar. Mungkin juga tidak. Mungkin saja
membahas kisah cinta secara RAHASIA. Idih,
hoek!
Kita tidak bisa menutup mata
dari kemungkinan-kemungkinan yang ada, kan? Kini di dalam kepalaku penuh dengan
kata ‘RAHASIA’. Drett Drett…. Ponselku
bergetar. Ada sms rupanya.
Corn, lo dimana? Cepetan
pulang, ibu lo nyariin nih. Jangan terlalu kecapean!
Overprotective sekali manusia satu ini. Setelah
membaca pesan singkat dari Ren, kini aku jadi ragu. Haruskah aku pulang atau
melanjutkan misi yang kepalang tanggung ini? Aku mengetik balasan sms secepat
kilat.
Jangan mengkhawatirkanku. Setelah maghrib aku pulang.
Baiklah,
aku akan terus mencari Kak Davin, lalu pulang bersamanya. Tak jauh dari
tempatku berdiri, ada sebuah supermarket mini. Aku ingin membeli air putih
mineral. Aku berlari-lari kecil menuju kesana. Tebak siapa yang kulihat saat
ini di pintu masuk supermarket itu? TERE,
LIA DAN RANI!
Sedang
bermain dirumah Tere, kah? ATAU MEREKA BERTIGA MELAKUKAN PERTEMUAN RAHASIA
DENGAN KAK DAVIN, BUKAN HANYA TERE?? MUNGKINKAH?? Sembunyi. Sembunyi, aku harus
sembunyi. Gawat! Rani memergokiku. Apa yang harus kulakukan??
Rani
meneriakiku kencang sekali. “Nelaaa! Nelaaaaa!!”, aku pura-pura tidak
menjawabnya dan malah berlari menjauh dari mereka. Aku sudah tidak tahu lagi
dimana aku berada saat ini. Sepertinya sudah cukup jauh dari supermarket tadi. Juga sudah terlalu jauh dari pintu rahasia sekolahku,
tentu saja.
Hah hah hah… Ampun Ya Tuhan, aku sudah capek
lari begini. Jantungku jadi sakit. Aku yakin wajahku juga kusut, jangan
lupa badanku lengket bekas tercebur kolam.
Aku berdiri
tepat disamping tulisan ‘Perumahan Jan Pieterszoon Coen-Blok 29’. Sebanyak
inikah blok-blok di komplek elite? Berdirilah sebuah rumah bernomor 729. Menurutku
rumah ini sangat mencolok dan kelewat besar bagai istana sungguhan. Rasanya
ada yang mengamatiku dari jauh. Aku memalingkan wajah dengan cepat ke segala
arah. Tidak ada siapa-siapa. Horror!
Karena aku
terlalu kagum dengan bangunan elegan ala Belanda, aku mendekati rumah ini. Dari
pintu gerbang yang besar, tepat di depanku, ada taman luas penuh bunga mawar
merah, kuning dan hitam. Di dekat taman, ada sebuah tangga besar dengan karpet
merah diatasnya. Tanpa sadar, aku sudah berjalan mendekat ke pintu masuk. Aku memegang
gagang pintu. Lalu aku terperangah! Pintunya tidak terkunci sama sekali. Hebat sekali orang kaya, rumah sebesar ini
namun tidak dikunci sedikitpun! Mengundang pencuri-pencuri berbakat dengan
sukarela memasuki rumah mereka, lalu mencuri segala benda mewah yang ada!
Sebelum
masuk ke dalam, aku melihat jam tanganku. Gila,
cepat sekali sih sudah jam enam sore saja!
Ibu pasti khawatir kuadrat! Bagaimana tidak? Kedua anaknya terlambat pulang tanpa alasan yang jelas—bedanya, aku lebih mulia. Soalnya kakakku kan patut disebut ‘melarikan diri’. Ibu maaf aku harus pulang telat. Sesekali kan tidak apa-apa jadi anak yang kurang menurut orang tua. Hehehe…
Ibu pasti khawatir kuadrat! Bagaimana tidak? Kedua anaknya terlambat pulang tanpa alasan yang jelas—bedanya, aku lebih mulia. Soalnya kakakku kan patut disebut ‘melarikan diri’. Ibu maaf aku harus pulang telat. Sesekali kan tidak apa-apa jadi anak yang kurang menurut orang tua. Hehehe…
Aku membuka
pintu rumah besar ini. WOW! Berantakan sekali!
Lantainya kotor dan berkerak (kira-kira jika diukur, kerak itu bisa setebal
buku paket matematika ku yang tebal!). Pantas saja pintunya tidak terkunci. Ternyata
rumah kosong.
“Permisi-permisi...
Saya cuma mau lihat-lihat aja kok”, meski aku tahu tak akan ada yang menjawab,
aku tetap meminta izin. Ada ruang tamu dengan sofa yang besar berwarna coklat. Jendela
serta gorden bergaya eropa. Di dinding berjajar patung seni berkepala rusa,
harimau, badak dan kerbau. Sebuah televisi seukuran tubuh orang dewasa di pojok
ruang keluarga.
Tubuhku merinding.
Aku semakin merasa ada yang mengamatiku dari balik dinding disana. Dinding
berlubang dengan ukiran indah yang membatasi ruang makan dengan ruang keluarga.
Aku berjalan ke arah orang itu. Jantungku berdegup kaget saat melihat rambut
panjang terurai yang menyembul dari lubang dinding itu. Hantu, kah? Oh Tuhan, sungguh itu makhluk apa!
WAAAAAAAAAAAA!!!!!
Spontan aku berlari.
“Hai! What
are you doing here?”, seorang perempuan berambut pirang mengajakku berbicara. Hanya
anak kecil ternyata.
“Hah? No,
no. Yes, yes. Maaf aku nggak ngerti kamu bicara apa.”,
“Oh, maaf. Saya
Eline. Kamu siapa?”, tanya anak itu.
“Aku Nela. Ini
rumahmu?”,
“Ya. Aku sedang
menunggu keluargaku pulang malam ini. Mereka pergi meninggalkanku sendiri
disini, sudah enam bulan.”, kasihan sekali anak ini dia pasti kesepian.
“Malam ini?
Sebaiknya aku pulang…”, Eline menarik baju olahragaku.
“Jangan
pulang dulu! Coba naik ke lantai 3. Disana ada tempat tidurku. Tapi sedang
ditempati oleh seorang gadis seusiamu. Tolong suruh dia pulang juga.”, seorang
gadis? Apa sih maksud anak ini?
“Baiklah. Kamu
mau ikut naik bersamaku?”, anak itu hanya menggelengkan kepala tanpa menjawab. “Oke.
Tunggu disini ya, Eline…”,
Anak itu
tersenyum padaku, aku membalas senyumnya. Kemudian aku langsung bergegas naik
melewati tangga yang lantainya terbentang karpet merah. Tepat di atas kepalaku
ada sebuah lampu besar dan mengkilau. Mewah sekali. Aku menaiki tangga sambil
memegang pegangan tangganya. Kini aku sampai di lantai 2. Disini lebih kotor
dan bau daripada lantai 1. Lantai 2 hanya terdiri dari 3 buah kamar, kamar
mandi dan ada ruang olahraga beserta alat-alat fitness. Aku harus cepat pulang. Disini semakin mencekam. Aku memegang
leherku yang tengah merinding disko.
Aku menaiki
tangga lagi, dengan mempercepat langkahku. Dan benar saja dugaanku! Lantai 3
jauh lebih kotor, bau, pengap, serta semua perabotan rumah berantakan. Ada sebagian
perabotan yang justru seperti puing-puing. Contoh: ada sebuah meja kayu jati
yang retak dan patah. Tinggal separuh bagian. Pasti bagian lainnya yang sedang kuinjak.
Aku berjongkok. Memungut puing-puing meja kayu itu. Mengapa ada bunga mawar
hitam? Bukan hanya 1, tapi banyak! Anehnya bunga mawar itu berjajar setiap 1
meter bagai sebuah jejak. Aku memungut semua bunga mawar hitam itu hingga bunga
mawar hitam yang terakhir. Bunga mawar hitam yang berada tepat di depan sebuah
pintu. Oh tentu saja pasti ini ruangan yang dimaksud anak kecil tadi, Eline!
Aku menarik
napas, lalu kuhembuskan. Aku mengencangkan kuncir ekor kudaku. Ancang-ancang
yang terlalu banyak. Tapi persiapan memang yang terpenting. Siapkan dirimu dengan apa yang ada di dalam
sana, Nela! Perlahan aku membuka pintu dihadapanku.
Kreeeeekk!
Tidak
biasanya sebuah pintu di rumah gedong seperti ini mengernyit kencang. Aku mengintip
sedikit. Aku mengusap mataku, jika saja yang kulihat kini hanya ilusi. Demi semua keajaiban dunia, tidakkah aku
salah melihat?! Di depan mataku duduklah seorang cowok sambil
memunggungiku. Ia duduk di atas sebuah kursi plastik (seperti kursi abang-abang
bakso). Itu Kak Davin! Tidak diragukan lagi. Itu pasti Kakakku! Aku yakin
karena dia memang memakai pakaian serba hitam, dan topi pet hitam punyaku. Apa
yang dia lakukan di dalam ruangan gelap itu? Terlebih, apa yang ada di depannya
itu? Sebuah meja panjang? Oh! Pasti tempat
tidur Eline!
Bukankah
aneh, sebuah tempat tidur bisa terhalang hanya dengan seorang Kakakakku? Sekecil
apa tempat tidur si Eline? Sebesar apa tubuh Kakakku? Aku semakin
menenggelamkan kepalaku ke sela-sela pintu. Kebetulan kakakku menggeser posisi
kursinya. Oh Tuhan! Itu peti mati! Bagaimana
bisa Eline tidur didalam peti mati?
AKU BARU INGAT INI MALAM JUM'AT!
Seketika kakiku jadi melemas. Jantungku semakin kencang berlari di dalam rongganya. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Ini pasti mimpi buruk. Ayo, Nela bangun dari tidurmu! Aku mencubit pipiku, sakit. Aku menampar pipiku, sakit. Ini kenyataan. Eline bukan lagi seorang manusia yang masih hidup. Lalu siapa gadis seusiaku yang berada di dalam peti itu sekarang? Pikiranku kacau dan tak bisa berpikir jernih. Aku mau pulang. Aku harus pulang. Tapi sudah gelap. Bagaimana ini?
Seketika kakiku jadi melemas. Jantungku semakin kencang berlari di dalam rongganya. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Ini pasti mimpi buruk. Ayo, Nela bangun dari tidurmu! Aku mencubit pipiku, sakit. Aku menampar pipiku, sakit. Ini kenyataan. Eline bukan lagi seorang manusia yang masih hidup. Lalu siapa gadis seusiaku yang berada di dalam peti itu sekarang? Pikiranku kacau dan tak bisa berpikir jernih. Aku mau pulang. Aku harus pulang. Tapi sudah gelap. Bagaimana ini?
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa aku mau pulang!
Lagi-lagi
suara teriakan hatiku menjerit dengan keras. Tiba-tiba ada yang berdiri
dihadapanku. Memegang kepalaku.
“Nela?? Kok
bisa sampe kesini??”, suara yang sangat kukenali. Suara Kak Davin.
“Gue
ngikutin elo, Kak! Lo ngapain sih pake acara ngabur dari rumah? Lo lagi demam
kak, tau diri dong!”,
“Gue begini
juga karena gue tau diri kok, Nel. Yuk pulang.”, enak sekali dia langsung
mengajakku pulang! Aku masih shock dan
kepo dengan peti mati disana!
“Enak aja! Gue
mau liat ruangan itu! Gue punya misi penting dari anak kecil di lantai 1”,
kataku dengan lantang menatap tajam penuh dendam pada Kak Davin.
“Please,
Nel jangan liat peti itu.”, kakakku memohon dengan wajah mengenaskan. Dasar
bodoh! Tingkahnya membuatku semakin tambah kepo saja! “Anak kecil di lantai 1?
Emang ada anak kecil ya? Gue kesini nggak ada tuh.”, sumpah aku juga tak yakin
dengan pertanyaan ini.
“Ada kok!
Namanya Eline. Dia nyuruh gue melihat tempat tidurnya ini…..”, aku berkata
sambil melangkah masuk ke dalam ruangan gelap dan pengap itu. Aku berada tepat
di hadapan sebuah peti yang tadi terhalang tubuh kakakku. Aku bisa melihat peti
itu dengan jelas sekarang. AKU TIDAK PERCAYA INI. SUNGGUH. SUMPAH. Ada seorang
gadis berambut hitam panjang terbaring di dalamnya! Gadis itu tidur sangat
manis dengan baju long dress hitam. Kedua
tangannya berada rapih tepat di atas perutnya. Wajahnya pucat pasi. Di sekeliling
peti itu banyak bunga mawar hitam, dan kepingan es batu. Hah? Es batu? Mayat!
“Nela? Lo nggak apa-apa kan?”,
“Bisa
jelasin soal semua ini?”, seketika aku jatuh bersamaan dengan air mataku yang
mengalir dingin.
“Lo siap
kan sama semua hal yang akan gue kasih tau? Kayaknya lo nggak siap deh. Mau
minum dulu?”, harusnya sedari tadi dia menawarkanku minum!
“Iya. Gue haus
banget.”, Kak Davin menyodorkan sebuah air mineral botol, masih tersegel. Syukurlah
aku merasa sedikit bertenaga.
“Nel, bibir
lo pucet banget. Warna biru gitu… Jangan-jangan sakit jantung lo kumat ya?”, Kak
Davin mengamati wajahku. Aku sungguh baru tahu kalau aku punya penyakit
jantung. Apa Ibu selalu merahasiakan soal ini dariku? Kenapa sih semua orang
hebat bisa main rahasia-rahasia segala! Sedangkan aku tidak bisa menyimpan
rahasia, karena sifatku yang terlalu jujur dan terus terang.
“Tujuan lo
apa dateng kesini, Kak?”, tidak ada jawaban.
“Untuk apa
main rahasia-rahasiaan begini?! Enggak cuma elo, tapi ibu juga keliatan menyimpan
rahasia dari gue. Kalian nyimpen rahasia dibelakang gue!” ,“Siapa cewek di
dalem peti itu??”, “Apa maksudnya gue
punya sakit jantung??!”, aku tak tahan lagi. Aku menangis juga.
“Maaf, Nela.
Gue keceplosan soal sakit jantung lo.”, jadi yang tadi itu hanya keceplosan? Itu bahkan lebih
menyakitkan. “Cewek itu adalah……..”,
“Siapa?!”,
tanyaku sambil memukul lengan kakakku. Aku kesal bukan main. Dia mengambil jeda
panjang yang lumayan lama. Kalimatnya dilanjutkan.
“…………...Cewek
korban insiden setahun yang lalu. Itu Jennifer.”,
APA??
~Bersambung~
----------------------------------------------------------------------------------------------
~Bersambung~
----------------------------------------------------------------------------------------------
Hai para readers! Senang bisa menyapa kalian lagi disni!
Maaf seribu maaf buat kalian nih, naskah part 4 baru
dirilis (halah dirilis, bahasamu ra :v). Karena banyak kesibukan yang aku
alamin, terus juga karena baru selesai berduka cita hehehe :D Maaf lagi kalo
ceritanya kepanjangan! Btw kalo ada typo sedikit, harap maklum pffttt :v
Selamat membaca! Enjoy it! Semakin
penasaran ya sama lanjutannya, HARUS penasaran!
See you next time! Yeaaayy! ^o^
Sincerely,
Airayase Shiina ^^