Posted by : Airayase Shiina 29 Jan 2015



Cornela Rahwana

            Aku keluar dari persembunyianku di balik tong sampah jumbo. Aku melangkahkan kaki mendekati se­deretan warung yang sudah kosong melompong. Sesaat kemudian aku memutar badanku untuk kembali pulang saja. Aku memutar tubuh lagi, melangkah ke warung-warung itu lagi, lalu memutar badanku lagi untuk pulang. Kenapa aku jadi mondar-mandir terus seperti setrika begini? Habisnya aku sedikit ragu, apakah orang yang sedang kubuntuti itu memang benar kakakku atau orang lain. Yah, walaupun aku lumayan yakin topi pet yang orang itu kenakan mirip sekali dengan topiku. Jika dipikir lagi, bukankah topi seperti punyaku siapa saja bisa memilikinya? Soalnya, topi hitam polos begitu memang pasaran.
Apa sebaiknya aku menelepon Ibu, ya? Untuk memastikan Kak Davin ada di rumah atau tidak—mungkin saja kakakku sedang berbaring lemas. Aku mengambil ponselku di resleting depan tasku. Mencari nama “Ibu” di kontak. Lalu kutekan tombol panggilan dengan gambar telepon berwarna hijau.
            Suara nada sambung. Ayolah bu, tolong cepat diangkat! Ini demi mengungkap kecurigaanmu pada Kak Davin….
            “Halo?”, akhirnya ibu mengangkat panggilanku! Lho mengapa suara cowok?
            “Ini bukan Ibu?”, tanyaku pada suara di seberang sana.
            “Bukan. Ini…..”,
            “Kasih hapenya ke Ena sini!”, terdengar suara anak kecil di dekat penerima panggilanku.
            “Padahal tadi kamu yang maksa Kakak buat angkat teleponnya kan..…”,
            “Aku berubah pikiran, tau!”
Bisa kubayangkan disana sedang berebut memegang ponsel Ibu. Suara anak 9 tahun nan cempreng mengambil alih panggilanku. Pasti itu adikku, Ena.
Halo, Kak Nela? Kaget nggak? Hihihi”, sungguh anak ini minta dijitak!
            “Ena, tolong kasih ibu dong. Penting banget!”, perintahku.
            “Ibu lagi ke pasar. Hapenya lagi buat main game. Ehem! Kak Nela nggak mau ngobrol sama pacar Kakak?”,  dasar adik songong! Siapa yang dia maksud pacarku? Teman saja aku tak punya.
            “Dasar tukang menyita hape Ibu! Ngapain ibu ke pasar sore gini, emang masih ada yang jualan? Eh, tadi yang angkat pertama siapa?”, aku yakin itu bukan suara Kak Davin.
            Suara Ena terdengar sok di-cadel-cadel-kan dan menyebalkan. “Gatau deh masih ada yang dagang apa enggak. Ehem! Kak Nela nggak kenal cuala pacal cendili tadi? Cieeee lagi malahan yaah cama Kak Ren?”, Demi semua nama imut para bayi! Baru saja adikku menyebut nama Ren? Ena menyebut Ren adalah pacarku?!
“HAH? REN?! PACARKU?! Hiihh enak aja!”, adikku tertawa geli mendengar protesku.
Terlebih penting, apa yang dilakukan Ren di rumahku? Mungkinkah dia seorang pedofil yang berniat menculik adikku disaat ada kesempatan selagi ibuku pergi dan kakakku sakit? Akhir-akhir ini memang sedang marak berita tentang kejahatan yang menimpa anak kecil. Ya Tuhan, lindungilah Ena…
 “Ngapain dia disana, Dek? Rumah kita sepi ya? Ya Tuhan, kamu enggak di apa-apain sama Ren, kan?! Ena?! JAWAB, Dek! HALO!!”, tanyaku agak histeris.
“Halo juga. Ini Ren, Ena langsung kabur. Jangan nuduh gue seenaknya! Gue cuma disuruh ngejagain Ena. Tante Ika mau beli bahan-bahan buat masak soto, sesuai permintaan Davin. Ada hal apa nelpon gue?”, Oh begitu rupanya, dia hanya menjaga Ena. Bisa-bisanya dia mengucapkan kalimat terakhirnya dengan nada keberatan, seolah-olah aku menelepon ke ponselnya, padahal itu ponsel ibuku!
            “Sebenernya aku males ngomong sama kamu. Tapi ini penting dan darurat, coba periksa Kak Davin di kamarnya, ada atau engga?”, aku mengesampingkan soal ibuku dan alasan ibu menyuruh Ren menjaga Ena. Nanti bisa kutanyakan setelah aku pulang, tentu saja jika misiku ini sudah beres.
            “Tadi sih kata Ena, Davin dari pagi ngunci pintu kamar. Bentar, gue cek dulu”, mana mungkin Kak Davin betah berlama-lama di kamarnya—walau dalam keadaan demam, dia biasanya lebih suka berbaring di kasur kecil di ruang keluarga. Terlebih kamarnya agak pengap, salah satu alasannya mengapa ia tidak senang berada di kamarnya terlalu lama. Mencurigakan sekali, kan? Tentu!
            “Tolong cepet di cek, Ren!”
            “Oke. Ini gue lagi di kamarnya. Pintunya nggak terkunci ternyata. Nggak ada Davin. Jendela kamarnya terbuka. Emang ada apa sih? Halo??”, Oh jadi begitu. Kak Davin meninggalkan jejak. Rencana melarikan diri yang belum sempurna. Aku langsung putuskan sambungan panggilan tadi. Sekarang sudah jelas, kakakku tidak ada di rumah dan pasti keluar dari jendela kamarnya. Bisakah kakakku yang demam itu berkeliaran di luar rumah? Tapi mau pergi kemana?
Oke, aku akan melanjutkan penyelidikan ini. Kumasukkan ponselku ke dalam saku disisi kiri celana olahragaku.
            Kini dengan mantap, aku melangkah melewati deretan warung di kantin. Aku memeriksa satu persatu warung yang berjejer disini. Sambil menoreh kiri-kanan. Apa itu? Ada sebuah pintu kecil terbuat dari kayu yang menempel pada sisi kanan dinding pada warung paling ujung. Warung Bu Tuti, tempat langgananku membeli alat tulis. Pintu itu kecil sekali dan hanya setinggi kurang lebih setengah meter, tertutup sebuah meja panjang—biasanya meja itu selalu tertutup taplak meja yang merumbai hingga ke lantai. Tapi setiap warung ditutup, pasti taplak itu juga dibawa oleh Bu Tuti. Akibatnya, pintu kecil ini tidak tertutup apapun, alias terlihat sangat jelas dari jarak sedekat ini. Mengapa aku tak pernah tahu ada pintu rahasia di sini? Yah, iya sih aku kan jarang berlagak seperti detektif begini.
Kakakku melenyapkan diri kemana dari kantin ini? Padahal pintu belakang sekolah berada di belakang gedung C, bukan di sini, gedung A.
Oh Tuhan, bodohnya aku! Satu-satunya dugaanku hanyalah….. Sudah pasti Kak Davin memasuki pintu ini! Kenapa otakku baru berpikir cerdas sekarang?! Apakah aku sudah tertinggal jauh dengannya?
            Mendadak aku jadi berpikir kakakku pasti menyembunyikan sesuatu yang sangat RAHASIA hingga harus melakukan penyelundupan ini. Apa aku harus mencurigai keanehan kakakku seperti  kecurigaan ibu dan Ren padanya? Tentu saja aku sangat curiga!
Maaf Kak Davin, sepertinya aku juga patut mencurigaimu. Tidak masalah kan jika aku menyelidiki hal ini sendirian? Sepertinya tidak masalah.
            Aku membungkukkan tubuh. Sesaat sebelum aku hendak membuka pintu kayu itu, rasanya ada yang memperhatikanku dari arah koridor kantin. Biasanya memang banyak yang masih mengikuti kegiatan ekstra kurikuler di gedung A ini. Tapi jarang ada yang datang ke kantin, pasti semua warga SMA Pusaka tahu setiap hari Kamis sejak jam tiga sore sudah sangat-sangat-super sangat-tidak boleh ada satu pun penjual di kantin (Aku juga tidak tahu mengapa ada tradisi aneh itu. Tambahan, ada peraturan kalau murid juga dilarang ke kantin di hari Kamis sore—tapi kali ini aku melanggar). Apa ada yang membuntutiku? Tapi siapa? Kelima cewek yang membully-ku tadi? Sepertinya bukan, lima orang terlalu banyak, hanya ada satu orang disana. Atau orang lain yang berniat jahat? Sebaiknya aku sembunyi saja daripada aku dilaporkan karena melanggar peraturan aneh itu—jika aku ketahuan melanggar, aku akan mendapatkan sanksi membersihkan toilet yang super bau. Mana mau aku membersihkan toilet!
Aku melihat celah antara etalase dengan meja panjang tadi, lalu aku merangkak masuk ke celah itu. Demi padatnya kota Jakarta, celah ini jauh lebih, lebih super-duper-amit-amit sempitnya! Ugh! Aku susah bergerak. Juga sulit memposisikan tubuhku agar tenggelam ke dalam celah ini. Haduh kepalaku gatal… Pasti karena air kolam ikan yang sangat berlumut!  Kepalaku masih menimbul sedikit. Aku menggaruk kulit kepalaku yang berada dibawah ikat rambutku. Pergerakanku pasti terlihat dari sana… Bagaimana ini? Aku ketahuan, kah?
            “Woy ngapain lo di situ? Jangan ngelanggar peraturan…..”, Ah, sial! Kenapa aku selalu cepat sekali ketahuan setiap ada moment bersembunyi? Tapi tunggu, ada suara lain yang menyahuti suara tadi. Sayangnya, aku kurang jelas mendengar suara mereka, seperti suara cowok tapi juga sedikit terdengar seperti suara cewek. Wah jangan-jangan banci? Bwahahaha. Gila ya aku masih sempat tertawa di saat genting begini! Habis, suara orang itu patut dipertanyakan!
            “Gue nggak mau kaleee di hukum gara-gara datengin kantin. Tadi gue lihat ora…ng—Eh apa kucing ya? Pokoknya lari ke warung Bu Tuti…..”, sumpah, aku berani jamin orang itu sedang melindungiku! Atau mungkin memang matanya rabun jauh, tidak bisa membedakan manusia dengan kucing. Bwahahahahaha. Ups, aku tertawa terlalu kencang. Spontan aku menutup mulutku dengan tangan kiri—maklum, tangan kananku sibuk memeluk tasku. Posisiku saat ini seperti tikus terjepit dengan posisi berjongkok.
            “Yaelah kalo kucing nggak usah diikutin!”,
            “Oke deh. Yuk latihan lagi. Tapi gue perlu beli minum…..”
            Akhirnya dua pengganggu tadi sudah berjalan pergi. Saatnya beraksi! Aku merangkak keluar dari celah. Aku merangkak seperti bayi, lalu membuka pintu kayu rahasia dan masuk ke dalamnya.
            Tring! Seperti sihir!
Tiba-tiba saja aku mendaratkan kakiku di atas tanah penuh rumput. Aku berada di sebuah lapangan luas penuh rerumputan hijau, dekat gawang. Aku tidak percaya ini! Dinding belakang warung Bu Tuti ternyata sangat istimewa!
Pintu kayu rahasia itu langsung menembus ke daerah perumahan elite dengan bangunan bergaya Eropa. Dua puluh meter di depanku ada tulisan “Perumahan Jan Pieterszoon Coen-Blok 15”. Kalian pasti tidak asing dengan nama Pieterszoon Coen, kan? Yap, benar. Nama seorang kompeni kejam Negeri kita ratusan tahun lalu yang berasal dari Belanda. Coen adalah seorang Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda ke-4, atau lebih dikenal sebagai Gubernur Jendral VOC. JP.Coen adalah orang yang menaklukan Jayakarta, lalu mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia (Batavieren). Padahal tadi pagi baru saja ulangan sejarah. Dan sekarang rasanya aku seperti masuk ke dalam masa lalu penuh kolonial dan penjajahan. Kerennn! Aku mulai menikmati penyelidikan ini!
Baik jarak maupun perbedaan ukuran rumah-rumah disini, jauh sekali dengan rumahku. Mungkin itu sebabnya Kak Davin menyusup ke sekolah daripada harus melewati jalur rumah kami yang empat kali lebih jauh dan membuang ongkos lebih banyak—kalian pasti tahu, orang yang sedang demam pasti tidak sekolah, dan kalau tidak sekolah pasti tidak mendapat uang jajan—uang Kak Davin pasti pas-pasan. Apalagi (mungkin saja), orang biasa atau orang luar yang tidak punya kerabat disini tidak akan diperbolehkan masuk dari pintu utama perumahan elite seperti ini. Karena sepertinya lapangan yang sedang ku pijak berada tepat di tengah wilayah perumahan bernama tokoh penjajah Belanda ini.
Sekarang aku harus menelusuri jejak Kak Davin kemana? Aku akan memulai dari blok 15 seperti tulisan di depanku. Kulihat kiri-kanan. Sepi. Kesempatan bagus bagiku. Nah! Itu dia! Dari kejauhan aku melihat Kakakku berjalan cepat. Lalu dia menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke belakang cukup lama. Gawat! Buru-buru aku bersembunyi di balik pohon. Aku deg-degan bukan main. Sungguh, ini seperti adegan di film! Saat aku melongok, Kak Davin lenyap dari pandanganku.
Cepat banget sih jalannya! Gue nggak bisa ngejar elo, bro! Di antara perumahan gede banget gini pula!
Seorang satpam muncul dari belakangku dan memiringkan kepalanya ke depan wajahku. “Kagak bisa ngejar siape, Neng? Mengejar cinta sejati, ye?”, tidak kusangka suara hatiku tadi kuucapkan dengan lantang.
“Waaaaaaaaaa! Ampun pak, ampun! Saya bukan penyelundup! Eh? EEEHHHHHH?? Cinta sejati? Pak Satpam lebay bahasanya!”, menggelikan bukan tiba-tiba digodain oleh satpam berlogat betawi, tepat mengenai sasaran pula!
“Duduk dulu sini Neng, emang lagi ngapain dimari? Mao minum?”, kini aku duduk di sebuah kursi dalam pos satpam. Lumayan sih diberikan minum, walau hanya air putih dan rasa airnya agak pahit. Aku memang dehidrasi serta lelah sekali. Tapi bagaimana dengan penyelidikan Kakakku? Aku mau menyerah saja deh. Lagipula hari sudah semakin sore, bisa-bisa Ibu khawatir padaku.
“Itu Pak, itu….. Emmm, ta-ta-tadi saya cuma mau manggil Kakak saya… Bapak liat cowok yang tadi?”, kataku dengan tergagap.
“Cowok yang mana? Bapak kagak ngeliat… Yaampun Neng pake gagap segalaan! Selow aje sama Pak Udin. Nama neng siape?”, Satpam yang kira-kira berusia 40 tahun ini mengakrabkan diri denganku.
“Nama saya Nela. Pak, boleh nanya nggak?”,
“Itu aje udah nanya neng, hahaha. Nanya ape lagi nih?”, benar juga sih, yang tadi itu termasuk pertanyaan.
“Hahahaha Bapak bisa aja. Ini perumahannya udah lama ya? Kok bangunannya kayak belanda gitu sih? Trus nama jalannya juga nama kompeni? Ini beneran saya nggak diperiksa identitas, Pak?”,
“Si Neng Nela sekali nanya langsung banyak! Udah lama banget neng, Bapak aje kerja udeh 20 tahun dimari. Sebelom Bapak kerja dimari, emang udeh ada ini perumahannye! Kira-kira udeh 150 tahun Neng… Iye emang bangunan Belanda, keren banget ye, Neng! Katanye sih, yang punya seluruh tanah dimari masih keluarganye Coen….”, sudah kuduga, pasti ini bangunan tua.
“…..Nggak ada pemeriksaan Neng kalo dimari mah, soalnye 5 tahun lalu udah diberhentiin sistem kasta rakyat miskin-orang gedongan. Dulu nih ye, malahan nggak boleh ada orang selaen keturunan Belanda yang tinggal dimari. Terus kalo orang miskin masuk kemari harus diperiksa identitas, digeledah baju sama barang-barang yang dibawanye, disuruh jadi budak selama tiga bulan. Ngeri banget deh! Bapak aje dulu pernah ngerasain jadi budak. Hehehe tapi sekarang malah diangkat jadi satpam di perumahan gedongan keren ini. Emang kenape Neng nanya begituan?”, sungguh cerita yang  terdengar nyata sekali, layaknya zaman penjajahan. Untung aku kesini dengan peraturan sistem kasta yang telah dihapuskan. Bisa-bisa aku akan menjadi budak! Oh Tuhan, pasti mengerikan, memilukan, mengenaskan dan meruntuhkan kekokohan tulang-tulangku, jika membayangkan aku yang seharusnya bersekolah malah memakai baju yang senantiasa kusut dan hanya ada di dapur atau membersihkan rumah sebesar istana! Hiiiii amit-amit.
“Cerita nyata bukan tuh, Pak? Ntar Bapak mengarang doang sekaligus menipu anak polos kayak saya! Hahahahaha”, aku tertawa, Pak Udin pun ikut tertawa.
“Hahahaha. Beneran lah neng! Betewe, Neng Nela satu sekolahan sama Neng Tere?”, sahut Pak Udin tiba-tiba dengan wajah serius.
“Oke deh saya percaya. Loh kok Pak Udin tau?“, kataku seraya berdiri. Lalu aku melirik jam dinding di sudut ruang sempit ini. Sudah jam empat sore.
“Kan baju seragamnye sama! Tiap hari Neng Tere lewat jalan blok 15 jadi Pak Udin apal…”, Demi semua seragam sekolahku! Aku tidak menyangka Tere tinggal disini.
“Tere tinggal disini? Kalo boleh tahu, dimana rumahnya, Pak?”, tanyaku penasaran.
“Waduh, maap bapak kurang tau deh. Neng Tere orangnye jutek banget sih, Pak Udin takut nanyanye hehehe”, Pak Udin menjawab sambil tersipu.
“Hmmm gitu ya…”, aku menganggukkan kepala.
“Neng Nela nongol darimane? Pintu masuk pan jauh disebelah sono….”, Bagaimana jawabnya nih? Haruskah aku jujur, masuk dari pintu rahasia di kantin sekolahku?
“Dari pintu doraemon dong, Pak! Hehehehe… Makasih banyak ya Pak, saya harus ngejar kakak saya nih...”, akupun berpamitan pada satpam kurus itu.
            “Dasar si Neng Nela….. Okeh, Pak Udin juga harus bertugas lagi”
---000---
            Sudah lebih dari setengah jam aku mengitari rumah-rumah di blok 15 ini. Tapi belum kutemukan juga sosok kakakku. Kemana sih Kak Davin? Rahasia apa sih yang dia sembunyikan?
            Tunggu dulu, informasi yang kuterima hari ini sudah cukup banyak. Mulai dari informasi yang diberikan kelima cewek yang membullyku hingga sejarah tentang perumahan disini dari Pak Satpam tadi. Semakin ditelaah, semuanya akan terlihat bagai kepingan puzzle yang hampir sempurna.
Dimulai dari kelima cewek populer itu mengaku sebagai pelaku surat ancaman di loker Kak Davin. Tetapi katanya, mereka bukan pembunuh mutilasi kucing yang malang semalam. Hingga aku tidak boleh dekat-dekat dengan Kakakku, serta-merta mengancamku akan melakukan tindakan berbahaya padaku, jika aku melanggarnya. Aku jadi kesal kalau mengingat hal itu. Memangnya apa hak mereka melarangku begitu?! Katanya mereka fans Almarhumah Jennifer—siswi yang menjadi korban insiden misterius setahun lalu, sekaligus dimataku mereka juga terlihat seperti fans kakakku. Tapi mereka malah membuat surat ancaman pada Kakakku! Aneh! Harusnya mereka mengirim surat ancamannya padaku, kalau ingin aku menjauh dari Kak Davin!
Demi seluruh kejadian dalam hidupku, ini namanya misteri dibalik misteri! Ada satu lagi kecurigaanku. Jika Tere tinggal di komplek Belanda ini. Sedangkan Kak Davin tiba-tiba melakukan pelarian secara RAHASIA seperti sekarang. Dugaan sementaraku: Mereka melakukan pertemuan RAHASIA, yang sangat bersifat RAHASIA serta pembahasannya RAHASIA!
            Kalau memang mereka melakukan pertemuan rahasia, apa yang mereka bahas? Mungkin tentang jejak kematian Jennifer. Ya, mungkin benar. Mungkin juga tidak. Mungkin saja membahas kisah cinta secara RAHASIA. Idih, hoek!
            Kita tidak bisa menutup mata dari kemungkinan-kemungkinan yang ada, kan? Kini di dalam kepalaku penuh dengan kata ‘RAHASIA’. Drett Drett…. Ponselku bergetar. Ada sms rupanya.
            Corn, lo dimana? Cepetan pulang, ibu lo nyariin nih. Jangan terlalu kecapean!
            Overprotective sekali manusia satu ini. Setelah membaca pesan singkat dari Ren, kini aku jadi ragu. Haruskah aku pulang atau melanjutkan misi yang kepalang tanggung ini? Aku mengetik balasan sms secepat kilat.
            Jangan mengkhawatirkanku. Setelah maghrib aku pulang.
            Baiklah, aku akan terus mencari Kak Davin, lalu pulang bersamanya. Tak jauh dari tempatku berdiri, ada sebuah supermarket mini. Aku ingin membeli air putih mineral. Aku berlari-lari kecil menuju kesana. Tebak siapa yang kulihat saat ini di pintu masuk supermarket itu? TERE, LIA DAN RANI!
            Sedang bermain dirumah Tere, kah? ATAU MEREKA BERTIGA MELAKUKAN PERTEMUAN RAHASIA DENGAN KAK DAVIN, BUKAN HANYA TERE?? MUNGKINKAH?? Sembunyi. Sembunyi, aku harus sembunyi. Gawat! Rani memergokiku. Apa yang harus kulakukan??
            Rani meneriakiku kencang sekali. “Nelaaa! Nelaaaaa!!”, aku pura-pura tidak menjawabnya dan malah berlari menjauh dari mereka. Aku sudah tidak tahu lagi dimana aku berada saat ini. Sepertinya sudah cukup jauh dari supermarket tadi. Juga sudah terlalu jauh dari pintu rahasia sekolahku, tentu saja.
            Hah hah hah… Ampun Ya Tuhan, aku sudah capek lari begini. Jantungku jadi sakit. Aku yakin wajahku juga kusut, jangan lupa badanku lengket bekas tercebur kolam.
Aku berdiri tepat disamping tulisan ‘Perumahan Jan Pieterszoon Coen-Blok 29’. Sebanyak inikah blok-blok di komplek elite? Berdirilah sebuah rumah bernomor 729. Menurutku rumah ini sangat mencolok dan kelewat besar bagai istana sungguhan. Rasanya ada yang mengamatiku dari jauh. Aku memalingkan wajah dengan cepat ke segala arah. Tidak ada siapa-siapa. Horror!
Karena aku terlalu kagum dengan bangunan elegan ala Belanda, aku mendekati rumah ini. Dari pintu gerbang yang besar, tepat di depanku, ada taman luas penuh bunga mawar merah, kuning dan hitam. Di dekat taman, ada sebuah tangga besar dengan karpet merah diatasnya. Tanpa sadar, aku sudah berjalan mendekat ke pintu masuk. Aku memegang gagang pintu. Lalu aku terperangah! Pintunya tidak terkunci sama sekali. Hebat sekali orang kaya, rumah sebesar ini namun tidak dikunci sedikitpun! Mengundang pencuri-pencuri berbakat dengan sukarela memasuki rumah mereka, lalu mencuri segala benda mewah yang ada!
Sebelum masuk ke dalam, aku melihat jam tanganku. Gila, cepat sekali sih sudah jam enam sore saja!
Ibu pasti khawatir kuadrat! Bagaimana tidak? Kedua anaknya terlambat pulang tanpa alasan yang jelas—bedanya, aku lebih mulia. Soalnya kakakku kan patut disebut ‘melarikan diri’. Ibu maaf aku harus pulang telat. Sesekali kan tidak apa-apa jadi anak yang kurang menurut orang tua. Hehehe…
Aku membuka pintu rumah besar ini. WOW! Berantakan sekali! Lantainya kotor dan berkerak (kira-kira jika diukur, kerak itu bisa setebal buku paket matematika ku yang tebal!). Pantas saja pintunya tidak terkunci. Ternyata rumah kosong.
“Permisi-permisi... Saya cuma mau lihat-lihat aja kok”, meski aku tahu tak akan ada yang menjawab, aku tetap meminta izin. Ada ruang tamu dengan sofa yang besar berwarna coklat. Jendela serta gorden bergaya eropa. Di dinding berjajar patung seni berkepala rusa, harimau, badak dan kerbau. Sebuah televisi seukuran tubuh orang dewasa di pojok ruang keluarga.
Tubuhku merinding. Aku semakin merasa ada yang mengamatiku dari balik dinding disana. Dinding berlubang dengan ukiran indah yang membatasi ruang makan dengan ruang keluarga. Aku berjalan ke arah orang itu. Jantungku berdegup kaget saat melihat rambut panjang terurai yang menyembul dari lubang dinding itu. Hantu, kah? Oh Tuhan, sungguh itu makhluk apa!
WAAAAAAAAAAAA!!!!! Spontan aku berlari.
“Hai! What are you doing here?”, seorang perempuan berambut pirang mengajakku berbicara. Hanya anak kecil ternyata.
“Hah? No, no. Yes, yes. Maaf aku nggak ngerti kamu bicara apa.”,
“Oh, maaf. Saya Eline. Kamu siapa?”, tanya anak itu.
“Aku Nela. Ini rumahmu?”,
“Ya. Aku sedang menunggu keluargaku pulang malam ini. Mereka pergi meninggalkanku sendiri disini, sudah enam bulan.”, kasihan sekali anak ini dia pasti kesepian.
“Malam ini? Sebaiknya aku pulang…”, Eline menarik baju olahragaku.
“Jangan pulang dulu! Coba naik ke lantai 3. Disana ada tempat tidurku. Tapi sedang ditempati oleh seorang gadis seusiamu. Tolong suruh dia pulang juga.”, seorang gadis? Apa sih maksud anak ini?
“Baiklah. Kamu mau ikut naik bersamaku?”, anak itu hanya menggelengkan kepala tanpa menjawab. “Oke. Tunggu disini ya, Eline…”,
Anak itu tersenyum padaku, aku membalas senyumnya. Kemudian aku langsung bergegas naik melewati tangga yang lantainya terbentang karpet merah. Tepat di atas kepalaku ada sebuah lampu besar dan mengkilau. Mewah sekali. Aku menaiki tangga sambil memegang pegangan tangganya. Kini aku sampai di lantai 2. Disini lebih kotor dan bau daripada lantai 1. Lantai 2 hanya terdiri dari 3 buah kamar, kamar mandi dan ada ruang olahraga beserta alat-alat fitness. Aku harus cepat pulang. Disini semakin mencekam. Aku memegang leherku yang tengah merinding disko.
Aku menaiki tangga lagi, dengan mempercepat langkahku. Dan benar saja dugaanku! Lantai 3 jauh lebih kotor, bau, pengap, serta semua perabotan rumah berantakan. Ada sebagian perabotan yang justru seperti puing-puing. Contoh: ada sebuah meja kayu jati yang retak dan patah. Tinggal separuh bagian. Pasti bagian lainnya yang sedang kuinjak. Aku berjongkok. Memungut puing-puing meja kayu itu. Mengapa ada bunga mawar hitam? Bukan hanya 1, tapi banyak! Anehnya bunga mawar itu berjajar setiap 1 meter bagai sebuah jejak. Aku memungut semua bunga mawar hitam itu hingga bunga mawar hitam yang terakhir. Bunga mawar hitam yang berada tepat di depan sebuah pintu. Oh tentu saja pasti ini ruangan yang dimaksud anak kecil tadi, Eline!
Aku menarik napas, lalu kuhembuskan. Aku mengencangkan kuncir ekor kudaku. Ancang-ancang yang terlalu banyak. Tapi persiapan memang yang terpenting. Siapkan dirimu dengan apa yang ada di dalam sana, Nela! Perlahan aku membuka pintu dihadapanku.
Kreeeeekk!
Tidak biasanya sebuah pintu di rumah gedong seperti ini mengernyit kencang. Aku mengintip sedikit. Aku mengusap mataku, jika saja yang kulihat kini hanya ilusi. Demi semua keajaiban dunia, tidakkah aku salah melihat?! Di depan mataku duduklah seorang cowok sambil memunggungiku. Ia duduk di atas sebuah kursi plastik (seperti kursi abang-abang bakso). Itu Kak Davin! Tidak diragukan lagi. Itu pasti Kakakku! Aku yakin karena dia memang memakai pakaian serba hitam, dan topi pet hitam punyaku. Apa yang dia lakukan di dalam ruangan gelap itu? Terlebih, apa yang ada di depannya itu? Sebuah meja panjang? Oh! Pasti tempat tidur Eline!
Bukankah aneh, sebuah tempat tidur bisa terhalang hanya dengan seorang Kakakakku? Sekecil apa tempat tidur si Eline? Sebesar apa tubuh Kakakku? Aku semakin menenggelamkan kepalaku ke sela-sela pintu. Kebetulan kakakku menggeser posisi kursinya. Oh Tuhan! Itu peti mati! Bagaimana bisa Eline tidur didalam peti mati?
AKU BARU INGAT INI MALAM JUM'AT!
Seketika kakiku jadi melemas. Jantungku semakin kencang berlari di dalam rongganya. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Ini pasti mimpi buruk. Ayo, Nela bangun dari tidurmu! Aku mencubit pipiku, sakit. Aku menampar pipiku, sakit. Ini kenyataan. Eline bukan lagi seorang manusia yang masih hidup. Lalu siapa gadis seusiaku yang berada di dalam peti itu sekarang? Pikiranku kacau dan tak bisa berpikir jernih. Aku mau pulang. Aku harus pulang. Tapi sudah gelap. Bagaimana ini?
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa aku mau pulang!
Lagi-lagi suara teriakan hatiku menjerit dengan keras. Tiba-tiba ada yang berdiri dihadapanku. Memegang kepalaku.
“Nela?? Kok bisa sampe kesini??”, suara yang sangat kukenali. Suara Kak Davin.
“Gue ngikutin elo, Kak! Lo ngapain sih pake acara ngabur dari rumah? Lo lagi demam kak, tau diri dong!”,
“Gue begini juga karena gue tau diri kok, Nel. Yuk pulang.”, enak sekali dia langsung mengajakku pulang! Aku masih shock dan kepo dengan peti mati disana!
“Enak aja! Gue mau liat ruangan itu! Gue punya misi penting dari anak kecil di lantai 1”, kataku dengan lantang menatap tajam penuh dendam pada Kak Davin.
“Please, Nel jangan liat peti itu.”, kakakku memohon dengan wajah mengenaskan. Dasar bodoh! Tingkahnya membuatku semakin tambah kepo saja! “Anak kecil di lantai 1? Emang ada anak kecil ya? Gue kesini nggak ada tuh.”, sumpah aku juga tak yakin dengan pertanyaan ini.
“Ada kok! Namanya Eline. Dia nyuruh gue melihat tempat tidurnya ini…..”, aku berkata sambil melangkah masuk ke dalam ruangan gelap dan pengap itu. Aku berada tepat di hadapan sebuah peti yang tadi terhalang tubuh kakakku. Aku bisa melihat peti itu dengan jelas sekarang. AKU TIDAK PERCAYA INI. SUNGGUH. SUMPAH. Ada seorang gadis berambut hitam panjang terbaring di dalamnya! Gadis itu tidur sangat manis dengan baju long dress hitam. Kedua tangannya berada rapih tepat di atas perutnya. Wajahnya pucat pasi. Di sekeliling peti itu banyak bunga mawar hitam, dan kepingan es batu. Hah? Es batu? Mayat!
 “Nela? Lo nggak apa-apa kan?”,
“Bisa jelasin soal semua ini?”, seketika aku jatuh bersamaan dengan air mataku yang mengalir dingin.
“Lo siap kan sama semua hal yang akan gue kasih tau? Kayaknya lo nggak siap deh. Mau minum dulu?”, harusnya sedari tadi dia menawarkanku minum!
“Iya. Gue haus banget.”, Kak Davin menyodorkan sebuah air mineral botol, masih tersegel. Syukurlah aku merasa sedikit bertenaga.
“Nel, bibir lo pucet banget. Warna biru gitu… Jangan-jangan sakit jantung lo kumat ya?”, Kak Davin mengamati wajahku. Aku sungguh baru tahu kalau aku punya penyakit jantung. Apa Ibu selalu merahasiakan soal ini dariku? Kenapa sih semua orang hebat bisa main rahasia-rahasia segala! Sedangkan aku tidak bisa menyimpan rahasia, karena sifatku yang terlalu jujur dan terus terang.
“Tujuan lo apa dateng kesini, Kak?”, tidak ada jawaban.
“Untuk apa main rahasia-rahasiaan begini?! Enggak cuma elo, tapi ibu juga keliatan menyimpan rahasia dari gue. Kalian nyimpen rahasia dibelakang gue!” ,“Siapa cewek di dalem peti itu??”,  “Apa maksudnya gue punya sakit jantung??!”, aku tak tahan lagi. Aku menangis juga.
“Maaf, Nela. Gue keceplosan soal sakit jantung lo.”, jadi yang tadi itu hanya keceplosan? Itu bahkan lebih menyakitkan. “Cewek itu adalah……..”,
“Siapa?!”, tanyaku sambil memukul lengan kakakku. Aku kesal bukan main. Dia mengambil jeda panjang yang lumayan lama. Kalimatnya dilanjutkan.
“…………...Cewek korban insiden setahun yang lalu. Itu Jennifer.”,
APA??

~Bersambung~
----------------------------------------------------------------------------------------------
Hai para readers! Senang bisa menyapa kalian lagi disni!
Maaf seribu maaf buat kalian nih, naskah part 4 baru dirilis (halah dirilis, bahasamu ra :v). Karena banyak kesibukan yang aku alamin, terus juga karena baru selesai berduka cita hehehe :D Maaf lagi kalo ceritanya kepanjangan! Btw kalo ada typo sedikit, harap maklum pffttt :v
Selamat membaca! Enjoy it! Semakin penasaran ya sama lanjutannya, HARUS penasaran!
See you next time! Yeaaayy! ^o^

Sincerely,
Airayase Shiina ^^

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 Rain Fairy's Words - Airayase - Modified by BioSphere - Designed by Djogzs -