- Back to Home »
- Cerpen »
- Batas Waktu
Posted by : Airayase Shiina
8 Jan 2015
PROLOG
Hilman
Rahardian
Kamis,
22-09-2022. Pkl. 15:50 WIB.
Hidup memang selalu ada kejutan dan
misteri. Tentu saja aku sangat menikmati semua misteriku—sebutanku pada hidupku.
Tiba-tiba dihadapanku lewat seorang makhluk mungil. Malaikat. Dress putih gading selutut, rambutnya
yang pendek sebahu, sepatu high heels dengan
warna yang senada, wajahnya yang kecil, serta matanya menatapku dengan lurus
membuatnya semakin berkilauan dimataku. Kesadaranku sedang dirayu oleh makhluk
ini. Aku akan membalasnya dengan tatapan tajamku.Ternyata malaikat ini sangat
berani pada tatapanku. Oke, sebelumnya tidak ada satu orangpun yang berani
menatap serta mengamatiku sedekat ini apalagi dengan mata melotot seraya
berbinar-binar sepertinya. Tunggu dulu, rasanya aku pernah mengalami situasi
ini. Dan sepertinya aku pernah bertemu dengan sosok ini. Untuk kesekian kalinya
aku mengalami hal ini. Hanya dugaanku saja kah?
Aku sangat yakin seribu persen. Bukannya
aku terlalu percaya diri atau tidak punya kemungkinan lain. Namun, semua fakta
sangat mengarah pada dugaanku. Belakangan ini aku mengalami Dejavu yang sering diperbincangkan orang.
Rasanya seperti mengalami situasi yang pernah kita lakukan atau kita lihat
sebelumnya. Mungkin dalam mimpi? Atau memang aku pernah setidaknya satu kali
berada di tengah situasi yang sama seperti sekarang ini? Kalau benar, dimana
aku mengalaminya? Kapan? Ingatanku termasuk kuat. Tapi saat ini aku tidak bisa
mengingat apapun. Tambahan lagi, semakin aku mencoba mengingat, malah semakin
tidak menemukan titik terang. Bahkan aku lupa dimana aku sekarang. Apa yang aku
lakukan saat ini? Aku sama sekali tidak tahu. Efek samping dari tatapan lurusnya
mungkin penyebab aku jadi linglung begini.
Raut wajahku pasti tampak bodoh dimatanya.
Hanya 20
sentimeter. Malaikat mungil itu masih dihadapanku. Masih menatap lurus ke dalam
mataku dengan tatapan bertanya-tanya. Sekali lagi aku dikejutkan oleh sosok
ini. Dia berhenti menatapku. Perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya. Lalu dia
mendekatkan tubuhnya ke arahku. Semakin mendekat dan mendekat. Kepalanya yang
menunduk dibenturkan ke bahu kananku. Basah. Dia menangis. Tanpa suara dan
kata-kata ia menangis di bahuku. Apa ia sedang ada masalah? “Terima kasih
pernah menyelamatkanku. Tolong selamanya jadi penyelamatku!”, akhirnya malaikat
ini mengeluarkan suaranya yang agak serak. Walau dengan nada lirih aku dapat
mendengarnya. “Aku ada dimana? Kamu siapa? Seorang malaikat yang turun dari
langit?”, aku bertanya padanya. “Kamu ada di halaman belakang SMA-mu. Kamu lupa
padaku? Padahal Aku selalu mengingatmu. Aku selalu menunggu hari ini tiba,
Hilman.. Ini ponselmu.”, ia berkata dengan senyum yang menurutku senyum termanis
yang pernah kulihat—walaupun air matanya masih mengalir di pipinya—sambil
menyerahkan ponsel lamaku yang hilang entah ia temukan dimana. Oh, aku ingat.
Aku sedang menunggu seseorang di halaman mantan
sekolah SMA-ku.
Ia tahu namaku. Ia juga tahu aku pernah
bersekolah disini. Tapi aku sungguh tidak mengenalinya. Siapa gadis ini?
---000---
CERITA INTI
Malika Maharani
Malika Maharani
Rabu,
16-05-2012. Pkl. 22:00 WIB.
Harusnya aku tahu diri. Ini bukan
apartemenku tapi aku bertingkah seperti apartemen ini adalah milikku. Aku
berlagak seperti akulah yang bayar lengkap dari harga sewanya hingga jasa pelayan
pencuci baju. Jangan bilang pada si Hilman yang pelit itu ya kalau aku
lagi-lagi menghabiskan isi kulkasnya untuk perutku sendiri! Semua adalah
salahnya membuatku tersiksa karena dibelenggu oleh perasaan berutang budi
begini. Sebagai cicilan utang budiku padanya, sudah dua hari aku menyapu,
mengepel dan mencuci piring di apartemennya yang tidak terlalu besar ini. Tapi
dia malah menyuruhku melakukan itu setiap hari. Memang aku pembantunya? Apa
tidak cukup aku melakukannya selama dua hari?
Dia bahkan membuatku
meraih julukan “Si nona yang menumpang di rumah orang asing”, lebih parah lagi
aku juga mendapat gelar yang sangat menjengkelkan “Malika sudah bersuami”. Gila
bukan? Reputasi masa-masa SMA-ku (By the
way, kata kebanyakan orang adalah masa-masa terindah seumur hidup) menjadi
jelek karena keberadaannya. Aku bahkan tak tahu orang itu dari mana asalnya.
Tiba-tiba saja dia muncul disaat aku butuh seorang penyelamat. Disaat aku
sedang dikejar-kejar oleh dua orang penculik yang ingin menjualku ke panti asuhan
luar negeri 3 bulan lalu. Dua penculik itu—mungkin juga adalah mata-mata yang
sudah lama mengincarku—mengira aku anak kecil dan seorang yatim piatu. Enak
saja mereka, aku sudah SMA (sudah bisa mengurus diriku sendiri) dan masih punya
orang tua! Hanya saja orang tuaku sedang bertugas di Prancis sejak 4 tahun yang
lalu (Papaku seorang pianis dan Mamaku pelukis) dan selama itu aku tinggal di rumah seorang diri. Hari itu, Hilman
menarik tanganku dari arah sebuah gang tikus. Lebih tepatnya adalah gang
pembuangan saluran air yang sangat kecil dan bau. Cowok tinggi, dan keren
dengan rambut shaggy yang memakai
seragam SMA itu—dengan dasi yang sama denganku—masih memegang tanganku,
menatapku tajam dan bertanya apa aku ingin tinggal bersamanya atau tidak. “Ini
demi keselamatanmu. Siapa namamu?”,
katanya. “Malika Maharani. Panggil aja aku Lii.”, jawabku masih ketakutan pada
cowok yang baru kutemui. “Aku Hilman Rahardian. Panggil Hilman aja. Jadi, mau
nggak tinggal denganku?”, tanyanya lagi. Orang ini baik juga, pikirku waktu
itu. Aku mengangguk setuju. Kemudian ketika penculik itu lelah mengejar kami
dan sudah pergi, aku diajak ke apartemennya. Aku sempat takut kalau orang tuanya
akan bertanya apa tujuanku tinggal di rumahnya. Ternyata dia tinggal sendirian
sama sepertiku. Usianya 16 tahun—beda setahun. Aku kelas sepuluh, dia kelas
sebelas. Dan kami satu sekolah! Bagaimana bisa? Aku belum pernah bertemu
dengannya sebelumnya.
Sudah 3 bulan
sejak ia menyelamatkanku, aku aman dari pengejaran dua penculik tak jelas itu. Karena
rumahku jauh dari sini. Ajaib sekali, padahal aku selalu membuat cowok pelit
itu kelaparan di tengah malam (seperti yang kukatakan tadi, aku menghabiskan
semua makanan di kulkasnya hehe) tapi dia masih mengizinkanku tinggal satu atap
dengannya—dia memang pelit lho! Aku mengintip sedikit saja dari luar pintu
kamarnya dia sudah marah. Memangnya apa sih yang ia sembunyikan di kamarnya? Membuatku
semakin penasaran akan identitasnya. Tapi sebaiknya aku tidak mencari tahu
tentangnya. Ya, semua orang punya rahasia, kan? Ia masih punya sisi baik. Ia
membelikanku pakaian juga ponsel baru (ponselku berhasil diambil para penculik
itu). Sekarang sudah larut malam tapi dia membuatku menunggu belakangan ini.
Kemana sih si pelit itu? Meskipun satu sekolah, aku tidak mau pulang
bersamanya. Jadi aku tidak tahu dia dimana sekarang atau apapun yang ia lakukan
setelah pulang sekolah. Aku bukannya mengkhawatirkannya—kalau dia tak pulangpun
aku bebas melakukan apa saja di apartemennya tanpa harus takut dimarahi. Hanya
saja perutku lapar. Aku butuh asupan nutrisi lebih banyak untuk tubuh kecilku
yang selalu ia sebut “boncel”. Oleh karena itu, aku butuh dia cepat pulang
dengan harapan membawa makanan yang banyak.
“Lii, aku
pulang”, teriak si pelit dari luar pintu. “Iya tunggu sebentar aku bukain
pintunya. Apa kamu membawa makanan yang banyak?”, balasku setengah berteriak
dari ruang makan mendekat ke pintu masuk. Tidak ada jawaban. Biasanya dia
selalu balas berteriak atau mengoceh kalau aku hanya memikirkan makanan. Aku
membuka pintu. Sungguh aku terkejut dengan yang kulihat saat ini. Bruk! Hilman terjatuh tepat dikakiku. Oh
Tuhan apa yang terjadi padanya? Pada pergelangan tangannya ada luka memar
berwarna biru. Di mata kirinya menempel sebuah perban.
“HIL KAMU KENAPA?
BANGUN HIL! BANGUN!! Jangan tidur di luar gini dong. Jangan bercanda Hil, aku
ngga kuat menggendongmu.”, tanyaku seraya menjerit. Sekali lagi tak ada
jawaban. Aku sangat ketakutan kalau ia mati secepat ini. Aku belum mengucapkan
sepatah kata “Terima kasih” padanya. Syukurlah,
Ia belum mati. Ia masih bernapas. Setelah susah payah aku membopong tubuh
tak berdayanya, aku berhasil meletakkannya ke atas ranjangnya. Berat sekali
orang ini. Di samping tangannya yang memar ada sebuah jam saku yang sangat
klasik. Aku duduk di sofa sebelah ranjangnya sambil melihat putaran jarum jam
itu cukup lama. Sudah malam, aku mulai mengantuk. Aku sudah tak kuat lagi
terjaga sepanjang malam untuk merawat cowok ini.
Rabu,
19-05-2012. Pkl. 16:30 WIB.
Wuusshh! Aku terbawa angin. Di sekelilingku
banyak jam klasik melayang di udara. Seperti dunia khayalan. Aku terbawa arus
ke pusaran jarum milik jam saku yang
paling besar. Lalu aku menembus masuk ke dalam mesin jamnya. Tiba-tiba
saja……….
Ini waktu aku
pulang sekolah. Aku sedang di jalan menuju apartemennya Hilman. Setiap pulang
sekolah uangku sudah habis saja. Dasar boros. Aku mencari-cari lagi ke dalam
saku rokku. Bukannya menemukan uang untuk naik angkot, aku menemukan jam saku
kecil yang klasik. Milik siapa ini?
“Bocah sialan! Akhirnya
lo nongol juga! Dimana lo nyembunyiin gadis kecil yang bakal kita jual 3 bulan
lalu?!”, Oh Tuhan! Penculik itu lagi! Siapa cowok yang membelakangiku ini?
Cowok yang disebut ‘Bocah sialan’ oleh salah satu penculik tengik itu seperti
kukenali. Apa dia Hilman? “Oh, maksud
kalian Malika? Kalian mau apa kalo Gue kasih tau keberadaannya?”, Hilman
langsung mendapat bogem super di pergelangan tangannya dan pukulan di matanya—ternyata
ini yang membuat Hilman terkapar. Hilman tak hanya diam berpasrah saja
melainkan juga membalas kedua penculik tengik itu bertubi-tubi.
“Banyak bacot lo
coy! Dia itu aset Gue.”, kata penculik yang gendut. “Heh ndut, aset berdua kaleee. Serakah amat lo!”,
protes penculik yang kurus. “Lii bukan aset! Dia manusia! Kalian bego ya nggak
bisa membedakan mana aset dan manusia?!”, balas Hilman.
Aku mulai
penasaran dengan percakapan mereka. Aku mendengarkan lagi dari balik pohon di
samping lokasi mereka—tidak terlalu dekat. Ini masih di dekat sekolahku.
“Emang aset kok.
Aset Gue sama si ceking. Gadis itu sumber uang kita. Orang tuanya dulu punya
utang bejibun sama kita. Sebagai gantinya, mereka bilang kalo anaknya udah
remaja boleh kita ambil kapan aja. Kita boleh menjual anak itu.”, lanjut si
gendut yang perkataannya membuatku ingin berteriak. Aku membekap mulutku agar
tidak ketahuan. Perasaanku hancur berkeping-keping mengetahui orang tuaku lah
yang menyerahkanku dengan sukarela. Aku menahan air mataku agar tidak menetes.
Aku tak sanggup. Akhirnya aku menangis juga karena ini terlalu mengejutkan. Banyak
pertanyaan dalam pikiranku.
Apa aku seharga uang? Apa aku tidak bernilai
sebagai yang lebih berharga daripada uang? Apa seluruh orang tua menganggap
anaknya seperti Papa dan Mamaku menganggapku?! TIDAK, kan? TENTU TIDAK!! HANYA
ORANG TUA KU YANG SEPERTI ITU! Apa sejak dulu mereka tidak memiliki rasa sayang
kepadaku?Apa selama 4 tahun ini mereka berbohong padaku kalau mereka bertugas
di Prancis? Mereka sudah tidak pernah mengirimku surat atau paket lagi. Apa
mereka tidak memedulikanku lagi? Aku sebegitu merepotkan mereka, ya?
Aku melihat
Hilman semakin marah mendengar perkataan mereka. Sungguh, apa alasan cowok
pelit itu membelaku seperti ini? Tanpa menjawab ucapan penculik itu, ia membabi
buta; menghajar, menendang serta membanting kedua lawannya. Aku tidak bisa
melihat adegan selanjutnya. Aku baru sadar kalau aku menjelajah waktu.
Bagaimana bisa aku memundurkan waktu?
Wusshh! Semua perasaan sedihku ikut
terbang oleh angin dan detak jam. Mesin jam yang terus berputar didepanku
membuatku lupa semua yang terjadi.
Kamis,
17-05-2012. Pkl. 06:00 WIB.
Aku kembali ke
apartemen Hilman. Aku berbaring di atas ranjang cowok pelit itu. Tanggal berapa sekarang? Jam berapa sekarang?
Entah apa yang membuatku jadi ingin mengetahui tanggal dan waktu. Tadi aku
seperti ada di balik pohon, bersembunyi dari sesuatu agar tidak ketahuan. Apa, ya? Lho, kenapa aku lupa? Kalau tidak
salah tadi aku menangis. Tapi menangis karena apa? Oh iya aku hanya bermimpi. Mungkin
itu hanya bunga tidur yang kudapat karena aku kelelahan akibat merawat Hilman
semalam.
“Hil? Hilman?? Kamu
dimana? Kamu udah berangkat sekolah? Kok aku ada di kasurmu?”, aku banyak
bertanya pada orang yang baru sadar dari pingsannya.
“Berisik amat sih
kamu! Aku sekuat tenaga mengangkatmu ke kasurku, tau!”, jawab Hilman yang masih
belum membuka matanya tapi bisa memarahiku. Dasar cowok pelit tak tahu diri!
Jelas-jelas semalam aku yang susah payah membopongnya! Dia di sofa? Bukannya aku
yang semalam disitu? Ternyata si pelit bisa peduli padaku juga dengan bertukar
tempat.
“Iyadeh makasih.
Kamu udah enakan? Mau berangkat sekolah?”, tanyaku.“Hari apa sekarang? Tanggal
berapa?”, tanyaku lagi.
“Kamu amnesia
atau apa sih, Lii? Hari Kamis, 17 Mei 2012. Aku lagi mau bolos. Kamu mending cepet
berangkat sekolah trus kasih surat izin sakitku ke wali kelasku…”, Hilman
menjawab dengan malas. Bolos tapi memberi surat ke sekolah? Bolos ya bolos saja
tak usah pakai surat.
“Oke, oke. Bilang
aja kamu malu ke sekolah takut malu sama wajahmu yang lebam kan jadi jelek.
Huahahaha”, aku tertawa puas. Tiba-tiba saja Hilman bangun dan memelototiku.
Aku langsung diam tanpa protes lagi. Menyeramkan! Preman sekolah memang selalu
menyeramkan seperti ini, ya?
“Aku nggak malu
kok sama wajahku. Ini ibarat penghargaan karena udah membela seorang gadis yang
aku sayangi. Jangan menyesal ya Lii kalo aku 7 sampai 10 tahun lagi menikah
dengannya!”, baiklah kenapa aku malah kesal sekali mendengar ledekannya itu?
Lagipula memang ada yang mau menikah dengan si cowok pelit apalagi preman
sekolah! Hiii aku sih tidak mau.
“Idih pede banget
kamu, Hil. Ngapain aku nyesel segala? Cowok tuh banyak, tinggal tunjuk aja
kayak mau naik angkot!”, jawabku sombong. “Hmm ngga nyesel, ya? Kalo julukan
jelekmu hilang gimana?”, pertanyaan yang bagus. “Tentu aku sangat senang.
Julukan bersuami sangat mencoreng reputasiku”, jawabku.
“Kalo aku
tiba-tiba hilang gimana?”, kali ini Hilman serius menatap mataku. “Hilang?
Maksudnya?”, tanyaku tidak mengerti apa maksudnya. Hening. Suasana menjadi
panas dan sesak sekali. Hilman berhenti menatapku.
“Nggak jadi deh.
Lupain aja. Sana berangkat! Surat izinku jangan lupa!”, tangannya seperti
mengusirku untuk cepat-cepat meninggalkannya sendirian.
“Siap. Aku
berangkat ya! Jangan bikin rumah berantakan!”, pamitku. “Li…..”, ia menahan
lenganku. “Ya?”, kenapa jantungku mendadak meloncat tak karuan?
“Aku sayang kamu.
Dan ada hal yang lebih penting yang aku pengen kasih tau. Jangan pulang telat
dari jam 4 sore, ya?”, duaarrr!!! Seperti
petir yang menjalar di dalam jantungku. Apa itu benar ia menyayangiku? Sejak
kapan? Kenapa aku tidak menyadarinya?
“Ya, akan
kuusahakan nggak telat”, jawabku tersipu. Ini pertama kalinya ada yang
menyatakan perasaan padaku. Aku harus bersikap seperti apa nanti sore?
Setelah mendengar
pengakuan cintanya, aku menghindarinya. Aku sengaja berlama-lama di sekolah. Tapi
sayangnya, aku tak bisa lari lagi. Kini aku sampai di apartemen. Sepi. Hilman
kemana? Apa ia sedang membeli makanan? Kira-kira apa yang akan dia katakan
nanti? Omaygaatt! Aku telat. Sekarang
sudah jam 5 sore! Kemana cowok pelit itu pergi? Aku mencari ke semua celah
apartemennya, tak ada tanda keberadaannya. Ponselnya juga tidak dibawa. Perasaanku
jadi tak enak. Aku berjalan ke kamarnya. Ada sepotong lembaran koran yang lusuh
dan sudah robek di atas meja belajarnya. Seketika kakiku lemas. Air mataku
mengalir. Hilman menyembunyikan ini dariku! Ternyata 2 tahun yang lalu Orang
tuaku….
…..Romy Setiawan sang pianist terkenal dan
istrinya Yana Maharani sang pelukis internasional meninggal kemarin, Selasa, 13
Januari 2010 dalam perjalanannya menuju…...
Aku mendapati
diriku menangis tersedu-sedu seraya berteriak. Inikah sebab orang tuaku
berhenti mengirimkan surat? Satu pertanyaan lagi; Apa Papa dan Mama benar ingin
menjualku? Masih misteri. Hatiku makin mencelus hancur saat membaca surat kecil
ini:
Maaf, aku pergi tanpa pamit padamu. Aku adalah
penjelajah waktu dari masa depan. Batas waktuku disini hanya sampai hari ini jam
4 sore. Saat kau membaca ini, mungkin aku sudah kembali ke periode waktuku. Semalam
ketika aku pingsan, kamu juga merasakan menjadi penjelajah waktu, ingat? Jam
sakuku adalah alat menembus waktu. Ada efeknya, setelah menjelajah waktu memori
di otak kita akan terhapus. Ohya, aku ngefans berat pada ayahmu, Pak. Romy.
Makanya aku datang ke era ini. Aku ingin mencari tahu sebab beliau meninggal. Tapi
aku justru bertemu denganmu, anaknya. Aku jatuh cinta padamu. Tolong jaga
apartemen dan ponselku. Aku akan menunggumu di masa depan, di hari ulang
tahunmu 10 tahun lagi di SMA kita. Berpakaianlah seperti malaikat ya! Ingatkan
aku kalau aku lupa siapa kamu! Kamu harus tegar ya. Jaga dirimu. Aku sayang
kamu, Lii. Dariku, Hilman.
Apa ini maksudmu
kau akan menghilang? Aku bahkan belum
berterima kasih padamu, Hil…
Hai hai pembaca!
^o^
Dimanapun kalian
berada, maaf soal telatnya mini story 4. Masih dalam pengetikan. Biar sekalian
nunggu mini story, mending baca cerpenku ini ya. Ohiya, cerpen ini adalah
naskahku lomba waktu itu. Lomba di UGM, bulan apa yaa aduh lupa! Pokoknya
enggak menang. Karena emang cacat banget naskah ini, trus ada typo. Beneran deh
bego banget aku ini hiks *maap curhat* T—T Selamat membaca aja deh ya :D
Sisipkan komentar kamu. Yeaayy thanks!
See you! ^o^
Sincerely,
Airayase Shiina ^^