- Back to Home »
- MiniStory »
- Mini Story: "Kehilangan atau Kematian" (Part 5)
Posted by : Airayase Shiina
5 Mar 2015
Cornela Rahwana
“…………...Cewek
korban insiden setahun yang lalu. Itu Jennifer.”,
APA??
Perasaan
kagetku ini lebih parah dari sekadar patah hati. Aku sangat tidak menyangka,
Kakakku mengetahui keberadaan Jennifer. Disini, di sebuah rumah kosong bergaya
Belanda. Oh Tuhan…. Mungkin sudah
sejak lama Kak Davin berusaha menyembunyikan RAHASIA misterius ini! Saat
mendengar nama ‘Jennifer’ disebut
oleh suara pekat dan pahit milik Kak Davin, ada perasaan kosong dan sakit yang
menjalar di seluruh tubuhku. Dilihat darimanapun, sorot mata Kak Davin
menunjukkan kalau Jennifer adalah orang yang berharga baginya—fakta yang
kuingat adalah mereka memang saling menyukai.
Tapi mengapa
Kakakku bertindak sebegini bodoh? Maksudku, jika Jennifer memang seseorang yang
berharga baginya, mengapa Kak Davin tidak memberitahukan keberadaan Jennifer
pada pihak keluarga Jennifer ataupun pihak sekolah?? Tidakkah ada rasa kasihan
terhadap keluarganya yang kehilangan jejak kematian Jennifer? Tindakannya itu
bisa menjadikannya sebagai tertuduh kasus ini! Apalagi Kak Davin adalah ketua
OSIS SMA Pusaka, jika semua pihak sekolah tahu, pasti akan memudar rasa
kepercayaan padanya, atau bisa saja membenci Kakakku—sudah pasti nama baik
keluarga kami akan terbawa jeleknya.
Seluruh
tubuhku bergetar sekaligus kaku di tempat. Banyak sekali pertanyaan yang ingin
kutanyakan pada Kakakku. Apa dayaku, aku sudah tidak ada tenaga lagi bahkan
untuk membuka mulut atau menggerakkan salah satu jariku. Saat aku mengedipkan
mata, air mataku yang sedari tadi menggenang kini mengalir lagi. Dan bagaimana
soal penyakit jantungku?
“Nel,
Lo baik-baik aja kan?”, aku tidak berniat menjawab. Apa aku terlihat baik-baik
saja?! TIDAK. Jika aku memang baik-baik saja, pasti akan kujawab pertanyaan
meremehkannya itu!
Kak
Davin melepaskan topi pet hitam dari kepalanya. Lalu topi itu mendarat di
kepalaku. “Pulang yukk… Lupain tentang hari ini ya. Lo udah kecapean gitu Nel. Nanti
gue jelasin selengkapnya dirumah deh. Janji!”, Kak Davin menambahkan, “Tapi….
Umm… tolong rahasiain dari Ayah, Ibu, juga dari Ren. Oke?”,
Aku yakin
sekali, janjinya tadi itu hanya untuk menghiburku. Kak Davin hanya ingin membuatku
pulang lalu melupakan tentang kejadian ini. Kemudian dia tidak memenuhi
janjinya untuk menjelaskan semua ini padaku, karena ini memang RAHASIA untuk
dirinya sendiri! Tapi aku tidak (terlalu) bisa dibodohi. Aku akan membuat Kak
Davin menjelaskannya saat ini juga bagaimanapun caranya.
Kak Davin
menarik tanganku yang baru kusadari, ternyata tanganku tengah memegang wajah mayat
Jennifer. Dingin sekali. Aku sungguh
merasa tak tega melihat mayat berbaring seperti ini—terlihat sangat menderita—dengan
banyak bekas goresan di kedua lengannya. Seharusnya Jennifer dikuburkan dengan
cara yang wajar seperti jenazah pada umumnya. Tapi mengapa dibiarkan begini hingga
setahun lamanya? Lebih penting lagi, siapa pelakunya dan seperti apa modus
pembunuhan ini?
“Ng-nggak!”,
akhirnya aku berhasil mengumpulkan tenaga di dalam suaraku. Meski masih dalam
posisiku yang terpaku dan memandang kosong ke arah pinggiran peti mati.
“Nggak
apanya?”, jawab Kak Davin
“Nggak
mau pulang! Nggak usah pake janji mau jelasin di rumah! Emangnya Ibu dan Ayah
nggak akan curiga?! Tolong ya, jangan seenaknya memerintah gue buat lupain
kejadian hari ini!”, aku memuntahkan kekesalanku pada Kakakku ini. Bagaimana
tidak? Aku bisa sampai ke tempat ini—dengan kelelahan tingkat tinggi—semua
karena salahnya telah kabur dari rumah, mengendap-endap dan mencurigakan. Dan
kini setelah aku mengetahui RAHASIA PRIBADINYA, aku diajak pulang begitu saja??
Ini bisa disebut ‘Kerja keras yang tidak
membuahkan hasil’. Jelas aku tidak terima!
“Tapi
Dek, sakit jantung lo kambuh! Dan keadaan lo bisa makin parah kalo disini
terlalu lama!!”, balas Kak Davin kencang.
“Keadaan
mayat Jennifer juga udah makin parah disini karena terlalu lama!”, aku tak mau
kalah meniru intonasi suaranya yang ngotot
sekali. ”Masa bodo’ dengan
keadaanku!”, lanjutku.
“Gue
juga tau! Gue lebih tau!”, suara Kakakku jadi terdengar pesimis dan lemah.
Aku
mengatakan kalimat ini dengan nada menantang. “Nah kalo gitu jelasin aja!
Gampang kan jelasin doang?”,
“Gampang?!
HAHA. Jangan menyebut hal yang paling gue sembunyiin sesulit dan se-mengerikan
ini dengan kata ‘gampang’, Dek!”,
harus kuakui, aku memang salah, telah menyebut hal ini tidak sulit untuk dijelaskan. Pasti berat bagi Kak Davin
untuk menjelaskannya padaku—juga pada
orang lain. Tapi mau tidak mau, dia memang harus menjelaskannya disini. Kalau
menjelaskan di rumah, dalam sekejap pasti akan terbongkar dan akan bertambah
rumit. Karena ayah kami sangat tidak suka bila anak-anaknya membuat kesalahan
yang fatal, seperti yang saat ini Kak Davin lakukan misalnya.
“Oh”, aku sengaja hanya menjawab dengan ‘oh’ dengan nada datar seolah aku marah
sekali padanya, untuk memancing orang
di sebelahku ini. Biasanya, jika aku mengatakan kata keramat tadi, Kak Davin dengan cepat akan menjelaskan apapun itu
dengan berusaha membuatku tidak marah lagi. Namun kali ini, Kakakku sedang
keras kepala. Dia malah berjalan menuju pintu ruangan ini. Berniat pulang tanpaku, kah?
Kak
Davin berkata dan membuatku tersentak, “Sebaiknya lo mengangkat telepon masuk
di handphone lo, Nel. Siapa tahu dari Ibu atau Ayah…. Gue mau ke lantai 1 dulu,
nyari anak kecil yang tadi lo bilang”, aku bahkan tidak mendengar suara telepon
dari kantung celana olahragaku.
“Terus
lo niat ninggalin gue sendiri disini, Kak?”,
“Sebentar
doang kok. Abis itu gue jelasin semuanya. Tunggu disini ya! Jangan keluar
selangkahpun dari ruangan ini pokoknya! Oke?”, Akhirnya Kak Davin akan menjelaskan
semua misteri ini padaku! Ada sedikit kelegaan yang aku rasakan saat ini....
“Iya
deh. Nggak boleh keluar, emang kena….pa?”, sebelum aku selesai mengucapkan
pertanyaanku, kakakku pergi dan merapatkan pintu—untung ruangan ini tidak
terlalu gelap, di setiap sudut ruangan ada sebuah lilin yang menyala yang
membuatku tidak terlalu takut lagi. Sepertinya aku memang harus mengangkat
panggilan teleponku dulu. Lumayan kan, ada teman mengobrol. Ya kalaupun dari Ibu,
aku mungkin akan dimarahi habis-habisan.
“Halo?”
“……….”,
tidak ada suara maupun jawaban.
“Siapa
ya?”, tanyaku pada sang penelepon bernomor rahasia—private number, itu kira-kira bahasa inggrisnya.
Yang
kudengar hanya sebuah rekaman lagu. Arti liriknya tentang sebuah drama
percintaan. Hanya saja, lagu yang dinyanyikan sang penyanyi lokal ini sungguh
mengerikan, meskipun yang kutahu tidak melebihi seramnya lagu ini di dalam film
layar lebar…. Kuntilanak.
“Lingsir wengi… Lingsir wengi sepi durung
biso nendro… Kagodho mring wewayang… Kang ngreridhu ati… Kawitane… Mung
sembrono njur kulino… Ra ngiro yen bakal nuwuhke tresno”
Seketika
aku melemparkan ponselku. Siapa orang iseng dibalik panggilan telepon ini?! Tubuhku
terasa bergetar, gemetar, dan semakin memaku. Bulu kudukku berdiri tegak.
Sendirian di dalam ruangan gelap, di depanku ada seorang mayat beku, kemudian
ditinggal oleh Kakakku, dan tiba-tiba ada lagu horor dari penelepon misterius!!
Aku
buru-buru berlari ke arah pintu ruangan pengap ini. Aku membuka gagang pintu.
Dan tidak bisa terbuka. Pintunya terkunci? Aku menggebrak-gebrakkan pintu
dengan kedua tanganku.
Bruk Brukk!!!
Aku
berteriak minta tolong pada Kakakku, “Kak
Davin! Bukain pintunya!! Kak!! Jangan tinggalin gue di sini pliss!”, Gawat,
aku ketakutan sekali. Apa yang dilakukan Kak Davin di bawah, sih?
Aku
kehabisan tenaga dan semakin merasa lelah, kini aku duduk bersandar pada pintu.
Lalu kudengar suara ponselku berdering. Anehnya, mengapa ponselku masih sanggup
berdering lagi setelah kulempar sekeras mungkin. Padahal kukira ponselku rusak
seketika, atau minimal isi ponselku terlepas semua. Aku mencari arah suara
ponselku karena aku tidak tahu kemana arah ponsel itu mendarat. Aku menelusuri
lantai. Di pojok ruanganlah suara itu berasal. Saat aku memegang ponselku dalam
jarak aman (aku takut kalau harus mendengar lagu yang tadi lagi), tapi
panggilan itu malah berhenti. Oh Tuhan,
syukurlah bukan nomor pribadi lagi. Satu panggilan tak terjawab dari Ayah.
Baru saja
aku menekan tombol buka kunci ponselku, benda itu berdering lagi. Membuatku kaget
dan hampir melemparkan ponselku lagi. Kali ini dari Ibu.
“Halo,
Bu?”, aku memulai percakapan dengan suara tertahan.
“Nela?
Kamu dimana sih? Ibu khawatir sama kamu… Udah makan?”, ibuku langsung menjawab
dengan cemas sekali.
“Sebentar
lagi Nela pulang kok. Belom makan hehe”
“Iya,
tapi kamu pergi kemana? Temen aja nggak punya, kan? Kamu juga nggak ikut ekskul
apa-apa. Kamu nggak boleh kecapekan lho!”, sakit sekali rasanya jika ibuku
berkata aku tidak memiliki teman. Tapi memang kenyataannya begitu. Dan memang
benar aku tidak ikut ekskul apapun. Aku tidak punya alasan lain. Dan untuk
beberapa alasan, aku tidak bisa mengatakan dimana aku saat ini.
“Hmm……
Itu Bu… Aku…”, sungguh aku tidak berbakat bohong. Namun ada sesuatu hal yang ingin ku ketahui.
“Kamu
kenapa gagap begitu Nel? Kamu belom jawab pertanyaan Ibu, lho! Kamu dimana?”,
aku mengabaikan pertanyaan dari Ibu.
Lalu
aku membalas bertanya, “Aku….Ingin Ibu memberitahuku tentang ini. Emangnya aku
memiliki penyakit jantung ya, Bu? Seberapa parah?”, aku mendengar ibuku
tersedak mendengar pertanyaanku.
“Ibu… Ibu
kenapa? Lagi minum terus tersedak ya?”,tanyaku lagi.
“Kamu
sudah tahu rupanya…. Ya, Jantung koroner. Sangat parah.”, Ibuku menjawab lumayan
singkat dan aku mendengar sedikit isak tangis Ibu di seberang panggilanku. Lalu
sambungan telepon dimatikan. Jadi memang benar semua orang merahasiakan tentang
penyakitku! Pantas saja, aku sudah tidak diizinkan lagi ikut lomba lari
marathon sejak beberapa tahun lalu. Aku selalu bertanya-tanya mengapa pada saat
jam olahraga di sekolah, napasku selalu tersengal-sengal, dadaku berdebar
sakit, berkeringat dingin, hingga merasa ingin pingsan—kukira hanya kelelahan
biasa, ternyata aku mengidap penyakit jantung.
Air mataku
tak bisa berhenti begitu saja setelah mendengar pernyataan dari Ibu. Bukankah
menyakitkan jika menjadi satu-satunya orang yang PALING TIDAK MENGETAHUI
kelemahan pada kesehatan diri kita sendiri?! Menyedihkan sekali diriku ini,
sampai aku harus menangis berkali-kali dan membuat Ibu menangis. Aku menyeka
air mataku menggunakan punggung tangan. Aku berdiri, lalu mendekati peti mati
tempat mayat Jennifer tertidur selamanya.
Ya, saat ini aku harus fokus pada misiku untuk
mengungkap misteri tentang gadis ini. Sang korban sendiri sudah berhasil ditemukan
oleh sang detektif! Dan kini sudah berada di hadapanku.
Pasti ada
beberapa petunjuk jika aku memeriksa tubuh Jennifer! Aku harus melakukan ini
sendiri tanpa ketahuan Kak Davin, karena bagaimanapun, seorang detektif
profesional tetap harus mewaspadai orang di sekitarnya agar semua misinya
sukses. Tapi aku bukanlah detektif sesungguhnya—jadi tentu saja aku butuh orang
lain yang membantuku. Hmm, biar aku mencari kandidat siapa yang akan mau
membantuku dan dapat dipercaya?
Tunggu
dulu, jika dipikir-pikir, apa sejak awal aku sendirilah yang ingin mengetahui
semua rahasia dibalik insiden ini? Sepertinya tidak. Biar kuingat-ingat lagi.
Aku tidak pernah berniat menyelidiki tentang ini, jangankan menyelidiki, niat
mencari tahu (walau sedikit) saja aku tidak punya. Lalu karena siapa aku
melakukan hingga sejauh ini? Karena Kak Davin? Mungkin. Tapi rasanya bukan.
Karena….Ren? Ya! Pasti sejak kejadian pertengkaran
kami (awalnya karena Ren mengaku dirinya telah lama mengenalku dan aku
marah padanya) di halaman belakang sekolah, yang mengakibatkan aku memiliki
tekad baja untuk mencari tahu seorang diri—tanpa bantuan Ren—tentang pelaku
dibalik surat ancaman loker, ancaman cermin, dan mayat kucing mutilasi. Serta
membuktikan kalau Kak Davin tidak bersalah.
Tidak,
tidak, bukan begitu alasan secara tepatnya. Tentu saja yang paling mendasar yang
membuatku mulai tergiur untuk menyelidiki hal
ini adalah syarat kedua Ren untuk memintaku untuk membantunya mengungkapkan insiden setahun lalu. Bukannya aku mudah
tergiur lho, tapi kurasa memang ada
benang merah antara ancaman yang aku dan Kak Davin terima dengan insiden ini. Dugaanku
saat ini adalah: Ren juga memiliki beberapa bukti akurat, yang membuatnya ingin
menyelidiki kasus ini. Mungkin selanjutnya kami harus bertukar bukti.
Kembali
pada kenyataan di depan mata. Aku mengusap kening Jennifer yang tertutup
beberapa bunga mawar hitam, terlihatlah beberapa bekas goresan—seperti bekas sayatan
pisau atau bekas benda tajam lainnya. Berhubung Jennifer memakai long dress hitam berlengan pendek
sehingga dengan jelas aku bisa melihat luka lebam berwarna biru dan mungkin
bekas cambukan yang sangat parah, kini membeku.
Aku
mengangkat sedikit (sungguh, cuma sedikit kok!) ujung gaun yang dipakai Jennifer,
ada sebuah tulisan dari tinta hitam di betisnya. Bodohnya, aku tidak bisa
membaca tulisan itu karena menyerupai kode-kode aneh. Yang bisa ku mengerti
hanyalah ada angka. 12154. Angka
macam apa itu? Bisa saja format tanggal. Bukankah biasanya minimal ada 6 digit
angka pada format tanggal dan lengkapnya ada 8 digit, ya, kan? Karena takut
lupa, aku berinisiatif mencatat kode-kode itu di buku tulisku dengan cara aku
menirukan gaya penulisannya. Aku mengambil sebuah lilin besar di pojok ruangan
untuk penerangan. Lalu aku mulai menulis.
Demi semua raja kegelapan, belum selesai aku menulis
semua kode aneh itu, kepalaku tiba-tiba gelap, pusing dan dadaku terasa
tertekan, nyeri sekali………..
---000---
Aku mencium aroma bau rumah sakit. Siapa yang
sakit? Perlahan aku membuka mata. Silau sekali. Kini aku menyadari tubuhku
terbaring di sebuah kasur putih. Ah, aku
lah orang sakitnya. Ya, tentu sakit jantung yang parah. Di sebelah kiriku
ada seorang perawat yang tengah memeriksa kondisiku. Di tangan kiriku telah
menempel selang infus. Kapan aku dibawa kesini? Aku langsung bangun dan hendak
berdiri, tapi aku terjatuh kembali ke kasurku. Rasanya aku sangat tak berdaya
dan itu sungguh tak enak. Baru kali ini aku harus dirawat di rumah sakit—aku
selalu takut dan menolak, setiap kali diajak pergi ke rumah sakit.
Ohiya! Tadi aku sedang meneliti mayat
Jennifer. Aku juga harus meminta semua penjelasan dari Kak Davin. Tapi sekarang
apa yang kualami? Aku dirawat di rumah sakit entah di daerah mana. Penyelidikanku
yang hampir sukses jadi gagal begini.
“Udah sadar
ya?”, tanya sebuah suara dari arah bawah tempat tidur besi yang menopang
tubuhku.
“Mungkin”,
jawabku lemah. Sambil menggerak-gerakkan tubuhku seperti gerakan pemanasan
olahraga.
“Jangan
bergerak banyak, Corn!”, hanya satu orang yang selalu memanggilku begitu.
Setelah perawat pergi, aku menjulurkan kepalaku ke bawah kasur.
Ada
seorang disebelah kanan kasurku. Sedang menggelar karpet, lalu duduk diatasnya.
“Ren?!”,
“Yap.
Berharap orang lain, ya?”, tanya cowok itu
meledek.
“Enggak
terlalu sih. Tapi kenapa mesti kamu?”,
“Karena
gue dapet telepon dari seorang cewek bernama Cornela”, aku terkejut mendengar
ucapannya.
“Hah?!
Aku yang menelepon?! Kamu yang membawaku kesini? Bagaimana bisa? Padahal kan
tadi aku ada di….….”, lalu orang ini memotong pembicaraan.
“Jangan bahas hal itu disini!”
Ups. Benar juga. Tidak aman membahas
hal itu di tempat umum begini.
“Lewat sms?”, tanyaku padanya. Ren
hanya mengangguk. Aku langsung mengirim pesan.
Ceritakan sejak aku pingsan!
Ren
membaca sms dariku. Lalu mengetik jawaban. Satu menit kemudian ada sms masuk ke
ponselku.
Gue nggak
tau apa yang lo lakuin di rumah kosong itu. Saat gue dateng, gue menemukan lo
pingsan di depan pintu masuk rumah no.729. Lengkap dengan tas dan plastik
berisi seragam lo. Gue membuka pintu rumah itu, tapi terkunci. Karena khawatir
banget sama keadaan lo, tanpa pikir panjang gue langsung membawa lo ke RS ini.
Oh Tuhan,
bagaimana bisa? Aku di depan
pintu masuk rumah Belanda itu? Yang benar saja! Aku jadi tidak tahu harus
percaya pada Ren atau tidak. Bisa saja dia mengarangnya. Dan Kak Davin? Dimana
Kak Davin saat itu? Haruskah aku menanyakan Kakakku pada Ren?
Tanganku
bergetar mengetik sms ini.
Apa saat itu
ada Kak Davin?
Sms
masuk lagi.
Jadi saat
itu lo sama Kakak lo??!! Maksud lo, yang kemarinan lo menyuruh gue meriksa
kamar Davin ternyata dia melarikan diri ke tempat itu?
Oke,
sudah jelas Ren tidak tahu disana aku sedang bersama Kakakku. Seratus poin
untuk Ren karena sangat jeli mengobservasi situasi.
“Ya.”, jawabku tanpa mengirim sms
lagi.
“Tapi
tadi Davin kesini dan bertingkah seperti biasa. Seolah dia nggak tahu apa-apa
yang terjadi sama lo. Sebaiknya sekarang lo istirahat aja. Nggak usah dipikirin
dulu untuk saat ini. Oke?”, Ren menyaranku untuk berisitirahat. Padahal, otakku
sangat sulit untuk berhenti bertanya ‘Kemana
Kakakku saat aku pingsan? Menelantarkanku di depan pintu masuk? Keterlaluan
jika memang dia tega padaku.’
“Ohiya, kemarin lo dapet surat sanksi karena
pergi ke kantin Kamis sore.”, ini semakin tidak lucu. Siapa yang melaporkanku
telah melanggar peraturan aneh itu?? “Kan udah gue bilang, jangan jauh-jauh
dari gue kalo di sekolah!”, tambahnya.
“Memang ini hari apa, Ren?”,
“Hari Sabtu pagi…”, berarti sudah dua
hari aku di rawat disini. Setelah mendengar jawabannya itu aku langsung
berbaring lemas. Aku hanya bisa menatap ke arah piyama putih khas rumah sakit
ini. Lalu kupejamkan mataku.
Sebaiknya
aku tidur saja.
---000---
Syukurlah
aku sudah sehat lagi. Baru tadi
pagi aku terbebas dari rumah sakit menyebalkan itu. Hari ini adalah hari
minggu. Saatnya aku berlibur! Ya, tentu saja aku sedang menjalani liburan…….di rumah!
Habis, mau liburan kemana dengan keadaan lemah jantung seperti ini? Lagipula,
besok aku harus menerima sanksi untuk membersihkan toilet sekolah. Hanya
membayangkannya saja, membuatku malas melakukan pekerjaan kotor itu.
“Nela! Sini!”, dari arah kamarnya, Kak Davin
memanggilku. Aku langsung menurutinya dan berjalan menuju ke kamarnya.
“Kenapa Kak?”, tanyaku polos. Seketika aku
ingat utangnya untuk menjelaskan semuanya padaku. “Mau bayar utang penjelasan,
kan?”, tanyaku lagi.
“Iya. Buruan makanya!”, perintahnya. Aku duduk
di bangku belajarnya yang menghadap ke arah jendela.
Kak Davin berkata lagi, “Langsung aja ya, mumpung
Ayah, Ibu dan Ena lagi pergi ke Indomaret.”, “Sebelumnya gue minta maaf karena
nggak tahu lo ada di depan pintu rumah itu dalam keadaan pingsan karena jantung
lo kambuh. Gue baru tahu dari Ren semalem. Bener deh hari itu, pas gue ke
lantai 1 rumah itu, ada yang memukul gue kencang dari belakang. Gue pingsan
seketika. Sebelum gue pingsan seratus persen, gue denger lo gebuk-gebuk pintu
di lantai 3 sambil teriak manggil nama gue, kan? Nah niat gue mau langsung
kesana, ternyata tenaga gue abis duluan. Gue terkapar. Dan gue nggak tahu lagi
keadaan lo di lantai 3.”
“Hmmm”, aku hanya bisa menjawab itu.
“Baru tadi malem di kamar rumah sakit tempat
lo di rawat, Ren menginterogasi gue secara langsung. Dia nanya banyak banget ke
gue.”
“Oke, nanti gue konfirmasi ke Ren gimana
jawaban lo ke Ren, siapa tahu aja lo bohong dan nggak sinkron cerita di gue dan
di dia! Coba ceritain tentang Jennifer!”, tanyaku penasaran.
“Silakan aja tanya sama Ren. Jawabannya sama
kok. Jennifer ya..….”, jawab Kak Davin ragu-ragu. “Apa gue harus menceritakan
tentang Jenni?”
Aku semakin geregetan mendengar Kakakku memanggil nama pendek Jennifer menjadi Jenni. “Yaiyalah harus banget!!”, sebelum
Kak Davin bercerita, aku mengikat rambutku.
“Hari itu kami akan merayakan ulang tahun
Jenni yang ke 16 tahun. Jenni dan sahabatnya pergi ke mall untuk membeli
beberapa makanan. Gue disuruh nunggu di rumah Jenni. Tapi mereka lama banget ke
mall sampe 8jam! Nggak wajar ‘kan sampe selama itu? Gue telepon ke nomor mereka
berdua, nggak aktif. Saat itu gue takut banget mereka kenapa-napa. Gue nggak
beranjak sedikitpun dari rumah Jenni, karena keluarganya juga nggak terlalu
peduli sama Jenni serta keberadaan gue. Dan esok paginya, gue dapet sms dari Jenni
begini….”, Kak Davin menunjukkan sebuah sms padaku.
Dav, maaf lama. Soalnya belanjaannya
banyak hehe. Aku lagi di sekolah, ada barang ketinggalan soalnya. Kita nggak
jadi pesta aja ya? Kamu pulang gih, udah malem.
Aku hanya
bisa mendengarkan cerita yang selama ini Kak Davin simpan sendiri. “Jenni memang
cantik banget, tapi sifatnya jauh dari kata cantik dan perkataannya agak kasar
dan hobbynya nyuruh-nyuruh orang disekitarnya tapi hatinya lembut banget. Dalam
sms itu, kata-katanya lumayan sopan. Jadi, aneh banget kalo itu sms dari Jenni.
Pasti dari orang lain. Dan……”
Ouwwhh! Sakit sekali mendengar deskripsi sifat Jennifer dari Kak Davin langsung.
Mereka memang memiliki hubungan khusus!
“Dan?”,
tanyaku dengan tampang bodoh.
Kak
Davin menegaskan, “Dan dalam sms ini ada kata ‘udah malem’, padahal sms
itu baru gue terima esok paginya!”, ohiya itu suatu kejanggalan!
“Kok
bisa smsnya baru sampe? Hape lo atau hapenya dia nih yang nggak ada sinyal?
haha”, aku mencoba mencairkan suasana, karena di ujung mata Kak Davin hampir
menetes air mata.
“Setelah
mendapat sms itu, gue dengan perasaan campur aduk langsung dateng ke sekolah.
Saat itu hari Sabtu dan kebetulan lagi nggak ada kegiatan ekskul, gue cari ke
semua ruangan di sekolah, nggak ketemu. Gue nggak nyerah gitu aja, berhari-hari
gue terus mencari. Di hari kelima, hari Kamis. Gue ketemu bercak darah di
selokan depan ruang Klub Jurnalistik, gedung A lantai 1. Meskipun gue ngilu
banget kalo ngeliat darah, gue tetap ikutin jejaknya itu. Bercak itu berhenti
di depan warung Bu Tuti. Terus gue…..”, dan inilah batasnya Kak Davin. Ia
menangis sambil terus bercerita.
“Duh,
lo jangan nangis dong Kak! Gue jadi mau nangis nih”, hiburku.
Kak
Davin menghela nafas, lalu kembali bercerita. “Gue nemuin surat bertuliskan kode-kode
diselipan pintu kecil di warung Bu Tuti.”, lagi-lagi Kak Davin menunjukkan selembar
surat, bukti insiden saat itu.
J.G-Tewas-Blk.19729
Jika
dibaca, aku juga mengerti maksud kode itu. Jennifer. G-Tewas-Blok.19 no 729.
Begitulah kira-kira (Yah Aku kan tidak tahu nama lengkap Jennifer).
“Gue mencari
rumah di blok 19 nomor 729. Gue mencari-cari lokasi itu tanpa bertanya pada
siapapun. Malemnya, gue baru berhasil menemukan rumah kosong itu. Tepat malem
jum’at. Gue menggeledah seluruh rumah itu, rumah yang nggak dikunci dari luar.
Di lantai 3, di gudang nggak terpake…… Gue….. Gue melihat peti mati…. Saat gue
lihat isinya, ITU JENNIFER! Masih memakai gaun warna hitamnya sejak dia pergi
ke mall. Jennifer terbujur kaku dan banyak luka lebam.... Di pinggir peti
banyak bongkahan es batu dan bunga mawar hitam.”, Kak Davin menangis sepuasnya
di hadapanku.
“Nama
panjang Jennifer siapa, Kak? Sahabatnya itu namanya….Risa bukan?”, aku dengan
hati-hati menyebut nama Risa. Yang menurutku sangat mencurigakan. Kemana Risa
saat itu? Kalau memang mereka sahabat, pastinya sang pembunuh akan membuat
kedua korbannya itu mati saat itu juga, kan? Mengapa hanya ada mayat beku
Jennifer disana? Lalu kemana mayat Risa? Yah, kemungkinan lainnya adalah Risa
bisa menyelamatkan dirinya. Ah! Aku
semakin tidak mengerti arti persahabatan kalau dihadapkan cerita begini.
“Jennifer Gunawan nama lengkapnya. Dari mana
lo tahu nama sahabatnya, Nel?”,
“Rahasia dong!”, jawabku sekenanya.
“Oke kalo rahasia. Sorry gue jadi nangis di
depan lo gini”, Kak Davin mengusap matanya yang merah.
“No
problem. Wajar kok lo nangis, Kak! Gue boleh nyimpen surat kode itu nggak?”,
Aku mengambil kertas itu dari tangan Kakakku.
“Nih simpen aja. Lo mau jadi detektif bareng
Ren, kan? Hahaha cieee ciee”, Aku tidak menjawabnya dan hanya bisa tersenyum. Disitulah
akhir penjelasan dari Kakakku. Misiku hampir sukses!
---000---
Aku berjalan menelusuri sebuah lorong di dalam
rumah paling besar di komplek Belanda, J. P. Coen. Blok 1 nomor 111. Rumah yang
satu ini sangat-sangat menyerupai istana! Dan menurutku rumah paling besar
(juga bernomor rumah istimewa) di antara rumah lainnya di komplek ini—kesamaannya
dengan rumah nomor 729 adalah rumah ini juga sudah tidak terpakai. Hanya saja,
rumah nomor 111 ini berlantai lima dan semua lantainya berkarpet merah—mungkin pengecualian
untuk toilet, yah aku belum melihat toilet disini sih.
Dua hari lalu, tepatnya hari Senin lagi-lagi
aku mendapat surat ancaman. Berbeda dari sebelumnya, surat yang kuterima Senin
sore itu tepat di atas mejaku di kelas. Dan semakin parah ancamannya. Ditulis dengan
darah segar dan ada menu kematian untukku serta ancaman berbau dendam. Juga ada
mayat kaki kucing (lagi)—dan aku harus membereskan itu sendirian, sebelumnya
kan aku dibantu oleh Ren. Sambil melangkahkan kaki di lorong panjang, aku membuka
lagi kertas itu.
Rabu,
23 Oktober 2013. Blok 1. No 111. Ini hanya permainan; “Lost or Death”. Jemputlah
kematianmu! Beling, benang, cambuk, pisau, pedang, peluru atau tambang,
pilihlah yang akan menghabiskan darahmu……………
NB: Rahasiakan surat ini dari siapapun. Atau mereka yang
mengetahuinya akan mati sia-sia karena salahmu!!
-Ttd, AKU-
Semakin ku baca, semakin merinding. Gila,
bukan? Pertanyaanku adalah; Siapa saja yang menerima surat seperti ini, selain
aku?! Apa hanya aku? Pasti ada orang lain. Bukan orang lain, sebut saja ‘pemain
lain’, jika di dalam surat itu disebutkan bahwa ‘Ini hanya permainan’. Kematian
bukanlah permainan! Yang membuat permainan ini—maksudku, yang membuat semua ini
seperti permainan—pasti sudah sinting, gila dan otaknya miring!
Dari kejauhan aku mendengar suara langkah
nyaring. Terdengar seperti suara sepatu ber-heels,
mungkin seorang wanita (ya, tentu hanya wanita yang memakai heels!). Sedangkan aku, hanya memakai
sepatu hitam dengan short dress berlengan
pendek serta cardigan lengan buntung
berwarna biru muda. Kali ini rambut panjangku lupa ku ikat dengan karet
tersayangku. Alhasil, rambut bergelombangku menjuntai panjang.
Saat aku mendekati sebuah tangga kayu di ujung
lorong ini (tangga yang terlihat sudah rapuh tanpa pegangan di pinggirnya), ada
suara dari speaker yang entah dari mana asalnya. Dan suara orang di speaker
seperti di samarkan dan mungkin agak di edit oleh ahli multimedia.
“Selamat datang
para pemain game Lost or Death. Semua pintu rumah ini sudah terkunci.
Perhatikan sekeliling anda jika tidak mau tersesat. Banyak jebakan yang
tersebar secara tersembunyi. Setengah jam lagi akan ada pemberitahuan seputar
cara bermain. Thank you!”,
Oh Tuhan! Seharusnya aku tidak datang ke tempat ini.
bagaimana jika aku melarikan diri saja? Tapi katanya semua pintu telah
terkunci. Lewat jendela atau ventilasi, pasti ada beberapa ventilasi yang
terbuka. Ya, benar!
Ketika aku mulai melangkah menaiki tangga kayu
di depanku, aku melihat sebuah kalung mutiara menempel pada dinding tepat di atas
anak tangga kesembilan. Perlahan aku menaiki satu-persatu anak tangga menuju
anak tangga kesembilan. Aku mulai meraihnya sambil berjinjit. Dapat! Aku berhasil menggapai kalung
itu, dan memegangnya di tangan kananku.
Kreekkk!
Suara apa itu? Kaki ku kehilangan
keseimbangan. Karena baru kusadari anak tangga yang tengah kupijak sudah lapuk
dan rapuh. Di atas anak tangga kesepuluh, ada sebuah roda kayu yang memiliki
banyak jari-jari—seperti roda pada kereta kuda zaman dulu. Tidak ada pegangan
lain, aku berusaha sekuat tenaga untuk memperkecil gerakanku. Tapi, aku juga
harus bergerak cepat dan meloncat ke anak tangga kesepuluh agar bisa meraih
roda kayu itu dan berpegangan disitu.
Hap! Dapat!
Tapi roda kayu itu tidak mampu menopang berat
tubuhku. Jemariku terus meraih pinggiran jari-jari pada roda itu. Sehingga roda
itu berputar kencang, dan kini tubuhku melayang di udara. Karena…..
Brukkk!
Kesembilan anak tangga dibawahku sudah roboh.
Baru kusadari ada beberapa benang yang melilit jemari kananku. Sakitnya bukan
main. Benang-benang putih itu terus berputar mengikuti arus roda kayu. Tubuhku pun
ikut berputar bagai ayunan.
Oh Tuhan… Sakit
sekali jariku…..
Seketika roda itu merenggang dari dinding. Hampir
menimpaku. Bukannya aku takut ketinggian, tapi jarak antara satu anak tangga ke
anak tangga yang lain sangat jauh. Jadi kira-kira aku berdiri menggelantung
sambil memegang roda ini dari ketinggian 3 meter. Roda ini semakin lama semakin
miring.
Brukkk!
Prang!
Aku jatuh dan tertimpa roda itu. Dan jari tanganku
mengeluarkan banyak sekali darah yang mengakibatkan daging di tanganku menimbul
keluar karena terlalu bergesekan dengan benang…………
------------------------------------------------------------------------------------------------
Hai
hai haiiiiiiii kalian!!!! Huaaawww rasanya lega banget udah bisa sampe sejauh ini
mengarangnya *dancing* hehehe :D
Lagi-lagi
maaf ya, aku perlu waktu lamaaaaaaaaaa banget untuk nyelesaiin part 5 ini.
Nggak apa-apa kan? Mana nih yang kepo?? Hohohoho
Capek loh nulisnya sampe mata rabun -_-
Selamat
membaca! Semoga bertambah kepo! Karena masih ada part 6 dan Epilog! ^o^
See you next time! Yeaaayy ^o^
Sincerely,
Airayase Shiina^^
Lingsir wengi =="
BalasHapus12154 = risa, ganti jadi sandi morse aja :v